Kata Pengamat, Permenaker No.5 Tahun 2023 Tidak Akan Turunkan Angka PHK

- 19 Maret 2023, 18:59 WIB
Ilustrasi industri padat karya.**
Ilustrasi industri padat karya.** /Freepik

KORAN PR - Pengamat ketenagakerjaan Timboel Siregar menyatakan, Kementerian Ketenagakerjaan beralasan lahirnya Permenaker Nomor 5 tahun 2023 adalah untuk menghambat angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Namun sebenarnya, nilai pemotongan upah maksimal 25 persen di Permenaker No. 5/2023 tidak berdampak pada penurunan PHK.

Menurut Timboel, saat ini mayoritas hubungan kerja di perusahaan padat karya termasuk orientasi ekspor adalah pekeja kontrak (PKWT) dan outsourcing (alihdaya). Jadi dengan status PKWT dan outsourcing maka PHK akan tetap mudah dilakukan.

Dikatakan Timboel, Permenaker 5 tidak akan menurunkan angka PHK tapi hanya sebatas melegitimasi penurunan upah pekerja saja dan pembayaran upah di bawah ketentuan upah minimum.

Baca Juga: Permenaker No 5 Tahun 2023 Diterbitkan Pemerintah untuk Cegah PHK di Industri Padat Karya Berbasis Ekspor

"Saya menduga kuat, Permenaker No. 5 tahun 2023 adalah kompensasi dari lahirnya Permenaker No. 18 tahun 2022. Dugaan saya ada transaksi regulasi yang dimainkan di sini," ujarnya.

Seperti kita ketahui, Permenaker No. 18 tahun 2022 mengatur formula kenaikan upah minimum yang berbeda dari formula kenaikan upah minimum di PP No. 36 tahun 2021, yang nilai kenaikannya lebih baik yaitu rata-rata di atas 5 persen. Kalau kenaikan upah minimum dengan formula di PP No. 36 tahun 2021 nilainya rata-rata sekitar 1-2 persen.

Dikatakan Timboel, angka inflasi di dunia sudah semakin terkendali dan resesi pun sudah mulai mereda. Ini artinya permintaan dari luar negeri terhadap produk dari Indonesia akan semakin pulih dan meningkat sehingga ekspor akan kembali normal.

Baca Juga: Pengamat Bilang Permenaker Nomor 5 Tahun 2023 Malah Berpotensi Memotong Upah Pekerja sehingga Harus Dicabut

Artinya perusahaan berorientasi ekspor seharusnya sudah pulih dan membaik, jadi tidak ada alasan kesulitan cash flow perusahaan berorientasi ekspor.

Apalagi mata uang asing seperti dolar Amerika terus menguat. Ini artinya pendapatan mata uang asing lebih besar dan bila ditukarkan ke rupiah maka pendapatan dalam bentuk rupiah akan semakin besar.

Baca Juga: Pentingnya Padat Karya dan Bansos untuk Atasi Pengangguran di Jawa Barat

Secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia Januari–Februari 2023 mencapai 43,72 miliar dolar atau naik 10,28 persen dibanding periode yang sama tahun 2022. Sementara ekspor nonmigas mencapai 41,05 miliar dolar atau naik 8,73 persen. Ini data BPS.

Dengan kondisi ini artinya alasan lahirnya Permenaker No. 5 terkait PHK menjadi tidak obyektif lagi. "Permenaker No. 5 tahun 2023 akan menurunkan daya beli pekerja, yang akan berdampak pada konsumsi agregat dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Pemerintah harus adil terhadap pekerja," tambah Timboel.

Cegah PHK

Sebelumnya, Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemnaker, Indah Anggoro Putri, mengatakan, peraturan itu diterbitkan untuk mencegah pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri padat karya berbasis ekspor.

Permenaker ini bertujuan untuk memberikan pelindungan dan mempertahankan kelangsungan bekerja buruh, serta menjaga kelangsungan usaha perusahaan industri padat karya yang berorientasi ekspor dari dampak perubahan ekonomi global yang mengakibatkan penurunan permintaan pasar,” kata Indah.

Permenaker itu berisi tentang penyesuaian waktu kerja dan pengupahan pada industri padat karya berorientasi ekspor yang terdampak perubahan ekonomi global.

Baca Juga: Angka Pengangguran di Garut Masih Tinggi

Industri padat karya berorientasi ekspor yang dimaksud meliputi industri tekstil, industri pakaian jadi, industri alas kaki, industri kulit, industri barang kulit, industri furniture dan industri mainan anak.

Dalam aturan itu, industri memungkinkan memotong upah buruh sampai 25 persen sebagai dampak perubahan ekonomi global.

Putri menjelaskan, kriteria perusahaan industri padat karya tertentu berorientasi ekspor tersebut adalah memiliki pekerja/buruh paling sedikit 200 orang; persentase biaya tenaga kerja dalam biaya produksi paling sedikit sebesar 15 persen.

Baca Juga: Tim Penanggulangan Dibentuk, Jumlah Pengangguran Malah Naik

Selain itu, industri juga bergantung pada permintaan pesanan dari negara Amerika Serikat dan negara-negara di benua Eropa.

“Agar tidak terjadi dampak yang tidak kita inginkan seperti Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), maka industri padat karya sesuai kriteria-kriteria tersebut dapat melakukan pembatasan kegiatan usaha dengan menyesuaikan waktu kerja dan pembayaran upah,” katanya.

Penyesuaian upah tersebut hanya berlaku selama 6 bulan sejak Permenaker Nomor 5 Tahun 2023 berlaku, serta harus dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama antara pengusaha dan pekerja/buruh.***

Editor: Kismi Dwi Astuti


Tags

Terkini

x