Orang Bijak Taat “Dibajak”

- 31 Maret 2023, 00:00 WIB
Ilustrasi bayar pajak perorangan, paling lambat tanggal 31 Maret 2023
Ilustrasi bayar pajak perorangan, paling lambat tanggal 31 Maret 2023 /Antara
Oleh: Suwandi Sumartias

Dosen Komunikasi Politik dan Perburuhan Fikom Unpad


JAGAT perpajakan kembali dihebohkan terkait dengan salah seorang pejabat pajak yang dipecat Menteri Keuangan, dan bahkan kini resmi dijadikan tersangka oleh KPK. Ditjen Pajak Suryo Utomo pun merasa khawatir semakin tergerusnya kepercayaan  masyarakat terhadap Direktorat Jenderal Pajak dan mencoreng 45 ribu ASN-nya. Urusan pajak  memajak yang dikelola secara resmi  (pemerintah) dan  tidak (masyarakat) seakan menjadi masalah nasional yang tak habis-habisnya, seperti halnya  fenomena  korupsi di lingkaran birokrasi yang  sangat sulit diberantas, bahkan layaknya lingkaran setan. Dari hulu sampai hilir,  persoalan pajak  yang mengemuka hanyalah  riak ombak kecil dari gelombang samudera  dan syarat dengan misteri. 


Pajak dengan berbagai jenis dan tipenya benar-benar “ada dan memaksa” (ada pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak kendaraan, bumi dan bangunan, dan lain sebagainya), mayoritas warga sudah paham dan sadar akan kewajiban, terutama yang berkaitan dengan pajak bumi dan bangunan. Tanpa prasangka negatif apapun. Namun di lain pihak, terdapat segelintir manusia dan atau elite birokrasi pajak yang senantiasa melakukan berbagai rekayasa dan melanggar peraturan perundang-undangan pajak untuk kepentingan dan keuntungan individu dan atau kelompok. Dan ironisnya, kini kasus yang mengemuka dilakukan oleh orang internal perpajakan. Tentu,  dampak negatifnya, warga dan atau para netizen semakin ragu dan kurang percaya bahwa pajak yang dibayarkannya hanya untuk “memperkaya” aparat perpajakan. Inilah salah satu bentuk kegagalan reformasi birokrasi  sepanjang rezim kekuasaan yang terus silih berganti. Alih-alih revolusi mental. Makanya, muncul wacana Orang Bijak Taat “Dibajak” (Alias diambil paksa). 


Slogan Pajak   

Praktek “kongkalikong” uang pajak oleh aparat pajak tentunya bukanlah hal yang aneh dan baru di masyarakat. Perilaku Tahu Sama Tahu dan saling menguntungkan antara wajib pajak dan petugas pajak tidak hanya melanda wajib pajak individu (perseorangan), namun juga di banyak lembaga atau perusahaan dari pusat sampai daerah. Namun sayangnya, belum ada data resmi  sejak dahulu sampai sekarang, siapa yang “memainkan” dan “mengemplang” pajak, alih-alih mengakuinya baik di internal birokrasi maupun di masyarakat.  


Negara jelas perlu pajak sebagai salah satu pendapatannya untuk keberlangsungan mengurus dan mengelola jalannya roda pemerintahan yang lebih baik, profesional, menyejahterakan dan  membahagiakan seluruh warganya,  bukan para elite birokrasi dan atau pejabat semata.

Pemerintah melakukan berbagai upaya  kampanye perpajakan dengan gencar dan masif melalui berbagai media/saluran, agar warga masyarakat sadar dan patuh akan bayar pajak. Di sisi lain, berbagai peraturan/perundang-undangan tentang perpajakan dibuat sedemikian rupa sesuai peruntukannya, di antaranya UU No 16 tahun 2009. 


Melalui kampanye di atas, jelas bahwa pemerintah menyadari pentingnya pajak bagi keberlangsungan dan kemajuan pembangunan negara dengan segala kebutuhan dan dimensinya, termasuk kepentingan warga secara umum, berkeadilan  dan merata. 

Bayar pajak bagi sebagian warga benar disadari dan atau terpaksa karena kebutuhan yang mendasarinya. Namun, dengan fakta-fakta yang ada, menjadi kontra produktif, di saat para aparat  pajak memperlakukan diri  untuk jadi “perompak” pajak.  


Meminjam pemikiran ahli hukum, Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, S.H., MPA, dalam buku ”Dialektika Pembaruan Sistem Hukum Indonesia (2012). Mengapa hukum yang Tak Kunjung Tegak: Apa yang Salah dengan Kerja Penegakan Hukum di Negeri Ini? Beliau menyebutkan, manakala hukum dan layanan hukum  menjadi sekadar komoditas dan hanya bisa didayagunakan untuk mereka yang bisa membayar harganya, sedangkan yang tidak kuat bayar akan berada di luar perlindungan, maka yang akan terjadi adalah suatu disintegrasi dan datangnya bencana sosial (social disaster). Masyarakat bukan lagi merupakan suatu sistem kehidupan yang terintegrasi berkat otoritas normatif yang beresensi moral pengontrol melainkan cuma merupakan suatu aktivitas kompetitif berebut kekuasaan demi tujuan jangka pendek yang diistilahi goal seeking oleh Talcott Parsons (1948).

Halaman:

Editor: Huminca Sinaga


Tags

Terkini

Orang Bijak Taat “Dibajak”

31 Maret 2023, 00:00 WIB

Meluruskan Niat Buka Bersama

29 Maret 2023, 21:00 WIB

Syahwat Pamer

29 Maret 2023, 20:54 WIB
x