Paradoks Senjata Nuklir

- 23 Maret 2023, 20:20 WIB
Ilustrasi senjata nuklir.
Ilustrasi senjata nuklir. /heritage.org

Belajar dari sejarah, pada dasarnya perang nuklir pernah hampir terjadi saat Krisis Rudal Kuba. Selain itu, simulasi komputer juga hampir memulai perang nuklir pada 1979, termasuk latihan Able Archer yang dilakukan NATO pada 1983. Rasa takut yang diciptakan dari kondisi lalu telah merubah peta keamanan politik dunia, apalagi nuklir memiliki kemampuan penghancur yang sangat besar seperti yang pernah terjadi di Hiroshima dan Nagasaki.

 

Dampak dari keberadaan senjata nuklir tidak hanya ketika senjata nuklir ini digunakan melainkan dimulai sejak senjata nuklir dikembangkan. Ancaman lain yang perlu diperhatikan adalah ancaman serangan siber terhadap Nuclear Weapon System yang memang menggunakan jaringan komputasi. Dengan pesatnya kemajuan dunia siber yang tidak berbanding lurus dengan kemampuan pengamanannya, maka dikhawatirkan ruang kosong tersebut akan mengancam kondisi keamanan dunia.

 

Kebijakan Indonesia  

Rezim dunia kemudian membuat seperangkat kebijakan kerja sama terkait dengan pembatasan nuklir seperti Treaty of the Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT) yang resmi berlaku sejak 1970, Comprehensive Nuclear Test Ban Treaty (CTBT) yang diadopsi sejak 1996, dan Southeast Asian Nuclear Weapon Free Zone (SEANWFZ) yang berlaku pada 1997. Selain itu Gerakan Non-Blok pada PBB juga memiliki kelompok kerja terkait dengan Pelucutan Senjata.  Terkini, muncul Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons (TPNW) pada tahun 2017 dan menjadi instrumen legal internasional yang mampu mengisi kekosongan aturan dari NPT yang dinilai menjadi legitimasi bagi pemilik senjata nuklir yang “sah” dalam membatasi ruang dari pengembangan senjata nuklir oleh negara yang tidak meratifikasi NPT. Namun, sayangnya Indonesia sampai saat ini memang belum meratifikasi TPNW. Entah karena nilai urgensi dari ratifikasi tersebut yang belum sesuai atau memang ada intensi lain yang sedang dipertimbangkan oleh Indonesia dalam hal pengembangan nuklir.

 

Hal yang menarik adalah bagaimana Indonesia bersikap terhadap kondisi yang diciptakan oleh senjata nuklir dalam mempromosikan stabilitas strategis dan mencegah perang skala besar. Meskipun memang keberadaan senjata nuklir tetap berpeluang untuk memantik konflik, tetapi intensitas yang ada justru lebih rendah jika dibandingkan dengan intensitas konflik dari perang konvensional. Hal tersebut dimaknai oleh Synder (1965) sebagai satu paradoks stabilitas-ketidakstabilan. Senjata nuklir dapat memunculkan dilema keamanan dalam strategi pertahanan karena mendorong terjadinya perlombaan senjata. Namun, senjata nuklir bisa menjadi penyeimbang dari agresivitas negara hegemon.

 

Indonesia pada dasarnya perlu melihat paradoks tersebut sebagai celah dari upaya diplomasi perdamaian dengan tidak hanya mengandalkan serangkaian ratifikasi atas perlawanan terhadap pengembangan senjata nuklir, melainkan juga mengambil peran maksimal dalam meningkatkan posisi tawar meski “anti senjata nuklir”. Hal itu dapat dilakukan melalui penguatan sistem pertahanan negara dan optimalisasi peran di kawasan. Indonesia perlu mempertimbangkan strategi terhadap kondisi perdamaian yang justru bisa muncul ketika negara dengan senjata nuklir terus memelihara status quo. Jika langkah Indonesia tepat, maka Indonesia semakin diperhitungkan secara global karena meski “anti senjata nuklir”, Indonesia tetap kuat dalam memainkan peran diplomasi dengan nilai tawar yang terakselerasi. ***

Halaman:

Editor: Huminca Sinaga


Tags

Terkini

Orang Bijak Taat “Dibajak”

31 Maret 2023, 00:00 WIB

Meluruskan Niat Buka Bersama

29 Maret 2023, 21:00 WIB

Syahwat Pamer

29 Maret 2023, 20:54 WIB
x