Hukum Bukan Matematika

- 16 Februari 2023, 19:00 WIB

 

KELIMA terdakwa kasus sambo baru saja divonis, mulai dari hukuman mati buat Ferdy Sambo, 20 tahun penjara buat Putri Candrawathi, 15 tahun buat Kuat Ma’ruf, 13 tahun buat Ricky Rizal, hingga 1,5 tahun buat Richard Eliezer. 

Majelis hakim tampaknya paham bahwa makna pesan bersifat kontekstual alih-alih pasti. Inilah penerapan teori interaksi simbolik dalam kasus hukum. Pendekatan ini berbeda dengan pendekatan deduktif-reduksionis  yang dianut tim jaksa dan sejumlah pengamat hukum  yang mengasumsikan bahwa perilaku manusia ditandai dengan hubungan sebab-akibat yang mutlak. 

Dalam perspektif interaksi simbolik, komunikasi manusia tidak sederhana seperti perilaku hewan atau peristiwa alam, melainkan ditafsirkan, dinegosiasikan, dan dikonstruksi. Penafsiran atasnya tak akan pernah sama, bukan hanya berbeda secara antarnegara, antarbudaya dan antarkomunitas, melainkan juga secara antarindividu di antara praktisi hukum. Faktor-faktor yang melekat pada para aktor pengadilan – sebagai manusia dan bukan robot - seperti pengalaman, pendidikan, jabatan, agama, budaya, kesukuan, keserakahan, kepentingan, pencitraan, keberanian, kebencian, ketakutan (ancaman pihak lain), akan memengaruhi ucapan dan tindakan mereka. 

Pembela tim yang diiming-imingi cuan yang besar akan membela klien mereka dengan segala cara. Dalam kasus Sambo, seorang profesor hukum pidana dari sebuah universitas sebagai saksi ahli jadi tampak “bodoh” dan menjadi tertawaan hadirin dengan mengartikan makna perintah "hajar" Sambo kepada Eliezer dengan menggunakan KBBI. Padahal saat mengucapkan “hajar” itu (kalau itu benar), Sambo menyerahkan sekotak peluru kepada Eliezer. 

Berdasarkan teori interaksi simbolik, semua kata, istilah, konsep, frasa, dan kalimat dalam dunia hukum seperti pengadilan, hakim, jaksa, pengacara, tersangka, terdakwa, terpidana, saksi, bukti, vonis, eksekutor, dan justice collaborator, adalah konstruksi manusia, atau “permainan bahasa”  (language game) menurut Ludwig Wittgestein. Pengadilan adalah arena pertarungan simbolik antara jaksa, penasihat hukum, terdakwa, dan saksi. Permainan kata-kata dari mulut para aktor di ruang pengadilan adalah lazim agar hakim dan khalayak mendefinisikan situasi yang berpihak kepada mereka. Bagi tim jaksa misalnya, Eliezer adalah eksekutor, tanpa menimbang relasi kuasa antara Eliezer dan Sambo, sehingga ia dituntut hukuman cukup berat. Padahal membunuh dapat diartikan berbeda, misalnya membunuh untuk merampok, membunuh untuk membela kehormatan istri yang diperkosa di depan mata, membunuh untuk membela diri dari serangan brutal seorang penjahat, dan membunuh karena tidak sengaja, seperti dalam kecelakaan.

Seperti dikatakan Murray Edelman (1985), setiap istilah, tentu termasuk dalam peradilan, dimaksudkan agar sesuai dengan yang diinginkan oleh penciptanya untuk memperteguh pandangan dan peran mereka. Konotasi yang diberikan ke dalam simbol-simbol verbal itu menjadi “realitas” yang membentuk dan mengekang tindakan dan pikiran para kreatornya seraya menafikan bahwa realitas tersebut merupakan konstruksi.

Menurut Edelman, realitas, tentu termasuk realitas hukum, paling baik dipahami sebagai fenomena intersubjektif yang tak dapat diuji oleh pendekatan positivistik (hubungan sebab-akibat yang pasti). Maka, meski tim pembela Sambo dan sebagian pengamat hukum mempermasalahkan istilah justice collaborator, kenyataannya peran itu ada pada diri Eliezer. Apa yang tampak riil bagi majelis hakim, maka riil pula  konsekuensinya, yakni vonis yang relatif ringan oleh majelis hakim bagi Eliezer. 

Dalam dunia hukum, para aktor pengadilan, terutama majelis hakim harus memperhatikan pesan verbal para aktor lainnya, sekaligus juga pesan nonverbal mereka. Kata-kata terdakwa atau saksi, seperti “lupa,” “tidak tahu” atau “tidak melihat” tetap merupakan pesan bermakna bagi majelis hakim. Misalnya, bagaimana mungkin Ricky Rizal tidak melihat Sambo menembak Yosua, sementara ia berada di ruang yang sama, hanya beberapa meter dari Sambo.

Selihai apa pun terdakwa, saksi, dan tim pembela bersilat lidah, makna yang sebenarnya boleh jadi terdapat dalam konteks peristiwa, dalam perilaku nonverbal terdakwa atau saksi, terutama ekspresi wajah, bahkan juga kebungkaman. Majelis hakim yang peka akan memperhatikan pengelolaan kesan yang dilakukan terdakwa bersama tim pembelanya. Salah satu taktik panggung depan yang dimainkan Sambo misalnya adalah “pembelaan si kutu buku” atau Nerd Defense, yang menjadi tren dalam sidang pengadilan, terutama di Amerika. Sambo mengenakan kacamata, kemungkinan atas nasihat para pengacaranya. Padahal sebelumnya ia hampir tidak pernah mengenakannya. Dengan berkaca mata, wajah Sambo - yang polisi banget menurut psikolog forensik Reza Indragiri Amriel - akan terlihat lebih lembut dan lebih santun oleh tim jaksa dan majelis hakim. Kalau saja majelis hakim tidak peka, bisa saja ujung-ujungnya adalah vonis yang rendah buat terdakwa (Mulyana, 2023).

Halaman:

Editor: Huminca Sinaga


Tags

Terkini

Orang Bijak Taat “Dibajak”

31 Maret 2023, 00:00 WIB

Meluruskan Niat Buka Bersama

29 Maret 2023, 21:00 WIB

Syahwat Pamer

29 Maret 2023, 20:54 WIB
x