Meluruskan Niat Buka Bersama

- 29 Maret 2023, 21:00 WIB
Ilustrasi buka puasa bersama.
Ilustrasi buka puasa bersama. /Daily Sabah

Realitasnya, sebagaimana tradisi halalbihalal, buka bersama  (ifthar jama'i) pun dalam masyarakat muslim seringkali bermakna menjalin ukhuwah islamiyah, menumbuhkan kebersamaan, silaturahmi, rasa syukur, interaksi langsung antar umat, bahkan berbagi rezeki kepada fakir miskin dan kaum dhuafa. Buka bersama seringkali menjadi momentum silaturahmi. Kendati realitas lainnya pun tidak bisa disangkal.  Ada saja pihak-pihak yang membumbui buka bersama dengan mempertontonkan kemewahan di antara warga yang kaya raya, para pejabat dengan menggunakan fasilitas negara, atau menjadi ajang lobi-lobi kolusi. Bahkan, menjelang Pemilu 2024, bukan hal tidak mungkin menjadi bagian dari strategi kampanye meraih simpati rakyat. 

Jika digebyah uyah (generalisasi), realitas tersebut dapat menjadi stereotip untuk lahirnya perspektif miring terhadap buka bersama. Manusia memang kadang terjebak pada pemikiran stereotip.

Dalam konteks inilah, seluruh masyarakat muslim harus arif dalam menyikapi kebijakan Pemerintah yang  ”melarang” buka bersama. Dalam perspektif positif, kata ”meniadakan” dalam kebijakan Pemerintah tersebut bermakna Pemerintah berupaya untuk mengendalikan realitas negatif dari buka bersama dengan harapan ifthar jama'i kembali on the tract.

 

Luruskan niat

Yang terpenting bagi kita, mari luruskan kembali niat berpuasa, termasuk niat menyelenggarakan berbagai tradisi Islami yang kaya nilai dan makna kebaikan sembari mengikis kemungkinan akibat negatifnya. Ifthar jama'i untuk memupuk tali silaturahmi karena dalam Sabdanya, Rasulullah dengan tegas menyebutkan, silaturahmi jalan kebaikan untuk menambah rezeki dan memperpanjang usia. 

Sejumlah ayat dalam Alquran pun dengan tegas menyuratkan pentingnya memupuk tali silaturahmi. Allah swt. sangat tidak menyukai umat manusia yang bercerai berai dan memerintahkan untuk tetap menjalin kesatuan yang harmonis melalui silaturahmi (QS.3:101-103). 

Yang harus menjadi catatan besar dalam ifthar jama'i adalah menghapus realitas-realitas negatif, seperti sikap terlalu eksklusif, silaturahmi hanya khusus kelompok pejabat, kelompok pengusaha, atau kelompok lainnya. Allah tidak menyukai sikap membeda-bedakan. Islam mengajarkan bahwa semua muslim saudara; semua manusia sama, lahir dari ”rahim” Hawa. Perbedaan yang ada justru sengaja diciptakan agar manusia saling mengenal, bersilaturahmi. 

Dalam perspektif komunikasi antarbudaya, Gudykunst & Kim (1984) menyebutkan, manusia yang berhasil dalam kehidupan adalah manusia antarbudaya. Adler (1982) menyebutnya, manusia multibudaya: orang yang identitas dan loyalitasnya melewati batas-batas kebangsaan;  orang yang intelektual dan emosionalnya terikat keyakinan fundamental, mengakui, menerima, dan menghargai perbedaan.

Manusia seperti itu sangat tepat hidup dalam khazanah Indonesia yang sangat majemuk, termasuk pada masyarakat muslim Indonesia. Berbagai kreativitas unik dan menarik mengiringi ritual Islami yang berbeda-beda sesuai budaya masing-masing akan terus hidup. Kegiatan-kegiatan bernuansa dan bermakna silaturahmi, seperti ifthar jama'i, justru akan menjadi agenda unggulan. Khilafiyah tetap hidup dan berjalan dengan indah berbumbu bunga silaturahmi tanpa pamrih, tanpa membedakan antara si kaya-si miskin, atasan-bawahan, golongan x golongan y, semua terikat dalam satu din: agama Allah. Wallahu a'lam biswahab.  ***

Halaman:

Editor: Huminca Sinaga


Tags

Terkini

Orang Bijak Taat “Dibajak”

31 Maret 2023, 00:00 WIB

Meluruskan Niat Buka Bersama

29 Maret 2023, 21:00 WIB

Syahwat Pamer

29 Maret 2023, 20:54 WIB
x