Syahwat Pamer

- 29 Maret 2023, 20:54 WIB
Ilustrasi flexing culture.
Ilustrasi flexing culture. /The Dispatch

Oleh : Asep Sumaryana

Kepala Departemen Administrasi Publik FISIP Unpad.

 

GARA-GARA anggota keluarganya pamer kemewahan, pejabat pun bisa terancam posisinya. Boleh jadi hal seperti itu tidak biasanya sebelum kasus keluarga pejabat Pajak terjadi. Bahkan sebelumnya, kebanggaan banyak orang atas sosok pejabat terbangun karena dapat berlimpah harta. Tidak heran jika perburuan untuk menduduki jabatan tinggi pun berkembang sehingga beragam upaya dilakukannya.

Agaknya persepsi mulai berubah. Menikmati hasil usaha menjadi pejabat mulai terancam. Dirinya ataupun keluarganya tidak bisa lagi pamer kendaraan, rumah, perhiasan ataupun outfit lainnya. Orientasi pengabdian tampak sedang dituntut dari pejabat publik. Bisa jadi orientasi pamer pun bisa bergeser dari pamer kemewahan menjadi pamer pengabdian serta kesuksesan melaksanakan tugasnya. 

 

Someah  

Pejabat memang harus someah, tidak hanya ke semah atau tamu yang mendatangkan proyek, namun juga ke somah atau rakyat jelata. Someah pun tidak hanya ramah, tetapi harus dimaknai cermat dan teliti untuk dilanjutkan aksi. Dengan cara seperti itu, kemampuan meminimalkan kasamaran tingali bisa semakin sedikit. Bisa saja ”proyektor” tidak patut dibanggai tatkala ujungnya membawa petaka bagi rakyat dan negara. Kalkulasi cermat pun perlu dilakukan agar kerugian jangka panjang tidak dialami.

 Bisa jadi banyak cara dilakukan agar suatu proyek bisa sukses berjalan. Boleh jadi jadi kemasan maslahat diumbarnya untuk menutupi aspek mudharatnya. Tidak heran jika beragam upaya mensukseskannya dilakukan. Boleh jadi efek material bisa terjadi sehingga membuat sejumlah oknum hidup gemerlap. Syahwat pamer bisa mendesak dilakukan dengan sejumlah kemasan sebagai kebutuhan seperti Dananjaya (1986) tuliskan.  Dampaknya hidup sederhana dan tepo seliro pun terabaikan.

Bisa saja sang pelayan publik dapat mengekang syahwat pamernya karena memahami cara mendapatkan dananya yang tidak thoyyib. Namun, sekelilingnya belum tentu menjiwai hal seperti itu. Lingkungan bisa mendorongnya untuk menjadi sosok yang berbeda yang kemudian mejeng di medsos agar menuai decak kagum. Sayangnya, tidak semua orang akan mengaguminya, dan bisa berbuntut hujatan dan petaka.

Tidak berlebihan jika Kast (1981) memandang aspek lingkungan seperti diatas. Tidak hanya dalam kehidupan organisasi, namun dalam pergaulan pun perlu disikapi cerdas. Mengelola lingkungan bisa menuntut kecerdasan emosi dan juga sosial agar lingkungan tersebut tidak mengarahkan untuk sombong serta menguatkan syahwat pamer seperti Goleman (2003) tuliskan. Bargaining akan terjadi dengan lingkungan sehingga ketidakmampuan mengendalikannya menunjukkan kelemahan aspek kepemimpinannya.

Mungkin saja pengaruh lingkungan mental tatkala berhadapan dengan sosok pejabatnya. Namun boleh jadi kelemahan sejumlah pejabat ada pada keluarganya. Tidak menutup kemungkinan kelompok lingkungan seperti itu akan menjadi sasaran tembak agar tujuan kelompok kepentingan berhasil tembus melalui otoritas pejabat tertentu. Kondisi ini bisa semakin mengental sejalan dengan kehidupan materialistis yang semakin berkembang serta autisme sosial semakin kuat. 

 

Kesingeran 

Membentuk kesalehan sosial harus diperjuangkan untuk menandingi semangat matre. Kemaslahatan bagi sesama perlu terus dipompakan dalam lingkungan masyarakat. Pendidikan pun jangan diiming-imingi dengan sejumlah kemudahan memperoleh pekerjaan yang mentereng, karena pendidikan membentuk karakter yang bisa bermanfaat bagi masyarakat dan bangsanya. Dengan demikian kesingeran dapat berkembang sehingga terampil dalam memanusiakan sesama secara ikhlas.

Upaya diatas menjadi tidak mudah akibat kemudahan memperoleh sejumlah materi yang branded dan diidolai banyak orang. Bisa saja syahwat pamer tersebut berkembang akibat penciptaan barang seperti itu sehingga syahwat memilikinya menjadi besar. Hal seperti itu menjadi tidak bijaksana dalam kehidupan masyarakat yang masih susah memenuhi kehidupan dasarnya. Untuk itu amalan solihan perlu dibranded agar orang berada gemar beramal solihan ketimbang pamer barang mewah.

Untuk mendorong hal seperti itu, pendidikan menjadi pilar penting untuk digarap. Jika pilar pendidikan terdiri dari sekolah, masyarakat dan keluarga, maka pendidikan anak jangan semuanya diserahkan kepada pihak lain. Tokoh masyarakat yang terdiri dari pemuka agama dan budaya perlu menuntun cara hidup yang ikhlas dan mencintai sesama serta alamnya.

Pemerintah pun perlu mengontrol perilaku birokratnya agar tidak terjebak hedonistik. Dengan sejumlah reward dan sanksi, boleh jadi sudah harus dijalankan reward bagi birokrat dan keluarganya yang maslahat bagi sesama, demikian sebaliknya. Dengan cara seperti itu, kekompakan pemerintah dengan masyarakat akan menghasilkan kontrol untuk menekan syahwat pamer kemewahan, tetapi berubah menjadi syahwat pamer kebajikan agar banyak orang menikmati manfaatnya.

Mungkin semua perlu merenung untuk kemudian beraksi agar makna kesalehan sosial bisa berkembang. Dengan upaya seperti itu, keteladanan elite negeri menjadi utama seperti utamanya tuntunan pemuka agama dan budaya agar apa yang disabdakan berangkat dari apa yang diamalkan. Dimulai dari bulan penuh berkah, shaum, semua bisa dimulai untuk melakukan revisi perilaku agar syahwat pamer kemewahan berubah menjadi pamer kebajikan dengan rezeki yang halalan-toyyiban. ***

 

 

Editor: Huminca Sinaga


Tags

Terkini

Orang Bijak Taat “Dibajak”

31 Maret 2023, 00:00 WIB

Meluruskan Niat Buka Bersama

29 Maret 2023, 21:00 WIB

Syahwat Pamer

29 Maret 2023, 20:54 WIB
x