Menuju Transisi Energi Bersih

- 27 Maret 2023, 20:13 WIB
 
 
Oleh: Aknolt Kristian Pakpahan
 
Dosen FISIP Universitas Katolik Parahyangan 
 
 
ISU transisi energi menarik perhatian masyarakat global terutama berkaitan dengan upaya untuk menyelamatkan bumi di masa depan dan menjaga keberlangsungan ekosistem makhluk hidup. Transisi energi adalah proses merubah penggunaan sumber energi berbasis fosil dan tidak ramah lingkungan menjadi penggunaan energi bersih dan ramah lingkungan seperti panel surya, air, panas bumi, dan angin. 
 
Pada pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 Bali 2022, isu transisi energi menjadi salah satu isu prioritas yang menghasilkan kesepakatan seperti tertuang pada Deklarasi Pemimpin terutama poin 11 dan 12. Dalam dua poin tersebut, dinyatakan pentingnya mencapai net zero emissions atau nol emisi karbon pada tahun 2060 dan mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 7 (Energi yang Terjangkau dan Bersih) untuk menyediakan stabilitas, transparansi, dan keterjangkauan energi bagi seluruh masyarakat. Nol emisi karbon adalah kondisi dimana jumlah emisi karbon yang dilepaskan ke atmosfer tidak melebihi jumlah emisi yang mampu diserap oleh bumi sehingga tidak ada emisi yang menguap ke atmosfer dan bisa memicu pemanasan global.
 
Transisi Energi di Indonesia
Dalam upaya menjalankan transisi energi bersih, Pemerintah Indonesia mengeluarkan seperangkat aturan mulai dari UU No. 30/2007 tentang Energi, PP No. 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, Perpres No. 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), dan Perpres No.112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, yang kemudian diikuti dengan seperangkat peraturan teknis pada tingkat kementerian/lembaga terkait misalnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Tidak hanya itu, untuk menunjukkan komitmen bersama dalam penanganan pemanasan global, terbit UU No. 16/2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to The United Nations Framework Convention on Climate Change. 
 
Dalam hal ini, Pemerintah Indonesia bersepakat menjalankan komitmen untuk membatasi suhu pemanasan bumi tidak lebih dari 2 derajat Celcius, yang kemudian direvisi pada Pakta Iklim Glasgow 2021 menjadi 1,5 derajat Celcius. Untuk menjaga komitmen bersama tersebut, Pemerintah Indonesia dalam RUEN membuat prioritas pengembangan energi bersih dengan menargetkan penggunaan energi bersih/energi baru terbarukan (EBT) paling sedikit 23 persen pada 2023 dan 31 persen pada 2050. 
 
Apa yang harus dilakukan?
Proses transisi energi bersih bukan hal yang mudah dijalankan. Merujuk data Kementerian ESDM, sampai tahun 2022, porsi penggunaan energi bersih (EBT) dalam bauran energi nasional baru mencapai 11,31 persen pada 2020, 12,2 persen pada 2021, dan 12,8 persen 2022. Persentase ini merupakan pekerjaan besar sekiranya hendak mencapai target bauran energi bersih 23 persen pada 2025.
 
Setidaknya ada dua cara yang dapat dilakukan Pemerintah Indonesia dalam upaya mencapai target bauran energi bersih 23 persen pada 2025 dan target nol emisi karbon pada 2060. Pertama, perlu adanya komitmen pemerintah untuk mendorong pembangunan infrastruktur energi bersih/EBT seperti pembangkit listrik tenaga (PLT) EBT seperti PLT Surya, PLT Air, PLT Panas Bumi, PLT Air, dan PLT Bio. Merujuk pada Neraca Energi Nasional 2021, produksi energi nasional pada 2020 sebesar 443,1 juta TOE (setara ton minyak) dimana produksi energi berbasis energi fosil seperti batubara, gas, dan minyak mencapai 94,9 persen sedangkan sisanya dihasilkan dari produksi EBT sebanyak 5,1 persen. Laporan International Renewable Energy Agency (IRENA) 2022 mencatat bahwa potensi EBT di Indonesia mencapai 3.692 GW dengan energi surya sebagai potensi terbesar sebanyak 2.898 GW. Sayangnya, sampai 2021, kapasitas terpasangnya baru mencapai 10,5 GW (atau sekitar 0,3 persen). Oleh karena itu, diperlukan optimalisasi pengembangan energi bersih, di antaranya mengundang investor yang dibarengi dengan penyederhanaan regulasi pengembangan EBT.
 
Kedua, kolaborasi dengan sektor swasta dan dunia internasional. Transisi menuju energi bersih membutuhkan dana besar. Di tengah keterbatasan anggaran pemerintah akibat pemulihan pasca pandemi Covid-19 dan dampak perang Rusia-Ukraina, pemerintah perlu menggandeng swasta dalam pendanaan pengembangan energi bersih. Bappenas menyebutkan dibutuhkan dana sebesar 127 milyar dollar untuk mencapai target bauran energi bersih 23 persen pada 2025. Ada beberapa skema yang dapat ditawarkan misalnya: penawaran green bond dan green sukuk dan kolaborasi dana filantropi perusahaan swasta.
 
Hasil dari KTT G20 Bali, Indonesia mendapatkan komitmen pendanaan transisi energi bersih sebesar 20 milyar dollar dalam skema Just Energy Transition Partnership (JETP) dan prioritas pertama pendanaan sebesar 500 juta dollar untuk mengimplementasikan program transisi energi dalam Kesepakatan Asia Zero Emission Community (AZEC).
 
Bukan hal yang mudah melakukan transisi energi bersih untuk mencapai target nol emisi karbon 2060. Akan tetapi, untuk menjaga keberlangsungan bumi dan makhluk hidup, komitmen dan kerja nyata bersama seluruh pihak harus diupayakan.***
 

Editor: Huminca Sinaga


Tags

Terkini

Orang Bijak Taat “Dibajak”

31 Maret 2023, 00:00 WIB

Meluruskan Niat Buka Bersama

29 Maret 2023, 21:00 WIB

Syahwat Pamer

29 Maret 2023, 20:54 WIB

Terpopuler

Kabar Daerah

x