Oleh : Yayan Hadiyan
Peneliti Madya Konservasi dan Pengaruh Hutan
Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi – BRIN
“HARIWANG” (bahasa Sunda) dapat diartikan “khawatir” dalam Bahasa Indonesia. Ungkapan ini spontan muncul saat penulis bersama tim peneliti Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi-BRIN, Desember lalu, melakukan studi di kaki Gunung Papandayan yang lokasinya sebagian berada di Kabupaten Garut dan sebagian lagi masuk Kabupaten Bandung.
Menyaksikan kondisi tutupan hutan, praktek pertanian dan indikasi ancaman bencana adalah diantara fakta yang memicu rasa “hariwang” itu menyeruak. Idealnya, bentang alam dataran tinggi dengan topografi bergelombang dan berbukit memiliki kondisi fisik dan fungsi ekologis yang sehat atau normal. Soalnya, hutan adalah pelindung dan pengatur terbaik beragam jasa ekosistem, seperti: penyimpan air, penyerap karbon dioksida, sumber plasma nutfah, pabrik oksigen, sumber mata pencaharian dan habitat aneka satwa.
Problem lingkungan
Namun demikian, selama pengamatan dilakukan, ternyata banyak lantai dan kanopi hutan yang sudah terbuka, terkoyak tak beraturan. Terlebih saat dilihat menggunakan peta citra satelit, perubahan tutupan hutannya ”hariwang”. Kerapatan tegakan hutannya tak normal lagi, rawan erosi dan potensial memicu banjir. Secara kasat mata, faktor penyebabnya adalah tekanan aktivitas manusia (anthropogenic).
Pada dataran lebih rendah, ditemukan praktek pertanian intensif dengan aplikasi pupuk kimia dan pestisida yang kurang terkontrol dan bisa membahayakan jika melebihi ambang batas. Sebagian teknik pengolahan lahannya tak sesuai kaidah konservasi, dimana banyak terasering yang tidak sesuai kontur lahan. Kondisi ini sangat rapuh jika menghadapi hujan lebat. Pola tanam sayurannya monokultur dan minim jenis berkayu. Sehingga daya dukung dan daya tampung kawasan penyangga di kaki Gunung Papandayan itupun ’hariwang”.
Sementara itu, studi pada tiga desa yang rentan terdampak bencana: Desa Padaawas, Desa Karyamekar dan Desa Cihawuk terkesan rentan. Desa-desa itu perlu bekerja keras membangun referensi mitigasi dan kesiapsiagaan hadapi bencana.
Potensi Bencana
Menilik kerapuhan bentang alam di Kaki G. Papandayan tersebut, maka bencana yang dipicu ketidakramahan cuaca dan curah hujan (hidrometeorologi) dan erupsi, adalah jenis bencana yang perlu menjadi perhatian. Sejarah mengkonfirmasi, bahwa erupsi Gunung Papandayan tercatat beberapa kali sejak tahun 1772, dan terakhir meletus tahun 2002 (https://vsi.esdm.go.id) dengan korban yang tidak sedikit.
Apalagi bencana tanah longsor dan banjir, sangat berhubungan dengan curah hujan tinggi di sekitar kawasan itu. Pada tahun 2022 terjadi tanah longsor sebanyak 255 kali (47%) dan banjir 181 kali (34%), 20 kejadian di antaranya di Kecamatan Pasirwangi, lokasi beradanya Desa Padaawas dan Karyamekar tempat kami studi di Kabupaten Garut (https://infolaras.bpbd.
Bahaya dan kerentanan
Dinamika perubahan tutupan hutan, praktek pertanian yang tidak ramah lingkungan dan kerentanan masyarakat desa di kaki Gunung Papandayan, adalah persoalan kompleks, yang membutuhkan pendekatan inklusif. Budaya bertani yang cenderung resisten terhadap perubahan. Ancaman curah hujan yang tinggi dan perubahan iklim. Ditambah sumberdaya yang terbatas dan indikasi saling bersilangnya arah kebijakan pembangunan, membuat masyarakat dan daerah itu kian rentan.
Pemerintah harus lebih gencar sosialisasikan potensi ancaman dan bahaya bencana di sana. Dilanjutkan dengan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia dalam mengurangi resiko, menghindari, bahkan menghadapi bencana. Masyarakat desa-desa yang potensial terdampak harus menjadi prioritas.
Lalu, evaluasi penataan dan pemanfaatan kawasan hutan di wilayah itu juga perlu segera dilakukan. Diikuti dengan koordinasi para pihak dan promosi praktek bertanam yang ramah lingkungan dan produktif seperti agroforestry (kombinasi tanaman pertanian dan kehutanan).
Peran para penyuluh, akademisi/peneliti, LSM dan kalangan swasta sangat diperlukan dalam sosialisasi ini. Demikian juga media massa dan media sosial, karena kekuatan, jangkauan dan kecepatan dalam menyebarluaskan informasi.
Pendekatan penyelesaian masalah
Sudah saatnya, keselamatan dan kenyamanan hidup masyarakat kaki Gunung Papandayan itu menjadi prioritas di tengah deru roda ekonomi yang mengepung kawasan itu. Penegakan hukum tentu menjadi salah satu perangkat kunci. Arah pembangunan di Kaki Gunung Papandayan tersebut perlu diharmonisasi. Kebijakan ekonomi, konservasi lingkungan, perkembangan sosial, budaya, dan agama di tingkat desa harus menjadi bagian terpadu. Bahkan dinamika politik lokal pun jangan diremehkan.
Akar masalah terhadap gangguan keseimbangan ekosistem kawasan hutan, lahan pertanian dan kerentanan masyarakat, perlu diidentifikasi lebih komprehensif. Koordinasi antar pihak perlu ditingkatkan. Termasuk antara lain dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian PUPR, Kementerian ESDM dan Perhutani (BUMN). Bahkan dengan kalangan legislatif, oleh sebab mereka akan terkait dengan perumusan dan pengawasan berbagai kebijakan yang relevan.***