“Hariwang”  di Kaki Gunung Papandayan

- 23 Maret 2023, 20:22 WIB
Ilustrasi Gunung Papandayan.
Ilustrasi Gunung Papandayan. /jelajahgarut

 


Oleh : Yayan Hadiyan

Peneliti Madya Konservasi dan Pengaruh Hutan 

Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi – BRIN

 

“HARIWANG” (bahasa Sunda) dapat diartikan “khawatir” dalam Bahasa Indonesia. Ungkapan ini   spontan  muncul saat  penulis  bersama tim peneliti Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi-BRIN, Desember lalu, melakukan studi  di kaki Gunung Papandayan yang lokasinya  sebagian berada di Kabupaten Garut dan sebagian lagi masuk Kabupaten Bandung. 

Menyaksikan kondisi tutupan hutan, praktek pertanian dan indikasi ancaman bencana adalah diantara fakta yang memicu rasa “hariwang” itu menyeruak. Idealnya, bentang alam dataran tinggi dengan topografi  bergelombang dan berbukit memiliki kondisi fisik  dan fungsi ekologis yang sehat atau normal.  Soalnya, hutan adalah pelindung dan pengatur terbaik beragam jasa ekosistem, seperti: penyimpan air, penyerap karbon dioksida, sumber plasma nutfah, pabrik oksigen, sumber mata pencaharian  dan   habitat aneka satwa.

Problem lingkungan

Namun demikian, selama pengamatan dilakukan, ternyata banyak lantai dan kanopi hutan yang sudah terbuka, terkoyak tak beraturan.  Terlebih saat  dilihat menggunakan peta citra satelit, perubahan tutupan hutannya ”hariwang”. Kerapatan tegakan hutannya  tak normal lagi,  rawan erosi  dan potensial memicu banjir. Secara kasat mata, faktor penyebabnya  adalah tekanan aktivitas manusia (anthropogenic).  

Pada dataran  lebih rendah,  ditemukan  praktek pertanian  intensif dengan aplikasi pupuk kimia dan pestisida yang kurang terkontrol dan bisa membahayakan jika melebihi ambang batas.  Sebagian teknik pengolahan lahannya  tak  sesuai kaidah konservasi, dimana  banyak terasering yang tidak sesuai kontur lahan. Kondisi ini sangat rapuh jika menghadapi hujan lebat. Pola tanam sayurannya monokultur dan minim  jenis berkayu.  Sehingga daya dukung dan daya tampung  kawasan penyangga  di kaki Gunung Papandayan itupun ’hariwang”.

Sementara itu, studi pada tiga desa yang rentan terdampak  bencana: Desa Padaawas, Desa Karyamekar dan Desa Cihawuk terkesan rentan. Desa-desa itu perlu bekerja keras membangun referensi mitigasi dan kesiapsiagaan hadapi bencana.

Potensi Bencana

Menilik kerapuhan bentang alam di Kaki G. Papandayan tersebut, maka  bencana  yang dipicu ketidakramahan cuaca dan curah hujan  (hidrometeorologi) dan erupsi,  adalah jenis bencana yang perlu menjadi perhatian. Sejarah mengkonfirmasi, bahwa erupsi Gunung Papandayan tercatat beberapa kali sejak tahun 1772, dan terakhir meletus tahun 2002 (https://vsi.esdm.go.id) dengan korban yang tidak sedikit. 

Apalagi bencana tanah longsor dan banjir, sangat berhubungan dengan curah hujan tinggi di sekitar kawasan itu. Pada tahun 2022  terjadi tanah longsor sebanyak 255 kali (47%) dan banjir 181 kali (34%), 20 kejadian di antaranya di  Kecamatan Pasirwangi,  lokasi beradanya Desa Padaawas dan Karyamekar tempat kami studi di Kabupaten Garut  (https://infolaras.bpbd.garutkab.go.id). Sedangkan di Desa Cihawuk, Kabupaten Bandung,  longsor terakhir  terjadi  tahun 2022 lalu dan  menimbulkan  kerugian material yang signifikan. 


Bahaya dan kerentanan

Dinamika perubahan tutupan hutan, praktek pertanian yang tidak ramah lingkungan dan kerentanan masyarakat  desa  di kaki Gunung Papandayan, adalah  persoalan  kompleks, yang membutuhkan pendekatan inklusif. Budaya bertani yang cenderung resisten terhadap perubahan. Ancaman  curah hujan yang tinggi dan perubahan iklim. Ditambah sumberdaya yang terbatas dan indikasi saling bersilangnya arah kebijakan pembangunan, membuat   masyarakat dan daerah itu kian rentan.  

Pemerintah  harus lebih gencar sosialisasikan potensi ancaman dan bahaya bencana di sana. Dilanjutkan dengan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia dalam  mengurangi resiko, menghindari, bahkan menghadapi bencana. Masyarakat   desa-desa yang potensial terdampak harus menjadi prioritas.

Lalu,  evaluasi  penataan dan pemanfaatan kawasan hutan di wilayah itu juga perlu segera dilakukan.   Diikuti dengan koordinasi para pihak dan promosi  praktek bertanam yang ramah lingkungan dan produktif seperti  agroforestry  (kombinasi tanaman pertanian dan kehutanan).  

Peran para penyuluh, akademisi/peneliti, LSM dan kalangan swasta sangat diperlukan  dalam sosialisasi ini. Demikian juga media massa dan media sosial, karena  kekuatan,  jangkauan dan kecepatan dalam menyebarluaskan informasi.  

Pendekatan penyelesaian masalah

Sudah saatnya, keselamatan  dan kenyamanan hidup masyarakat  kaki Gunung Papandayan itu menjadi prioritas di tengah deru roda ekonomi yang mengepung kawasan itu. Penegakan hukum tentu  menjadi salah satu perangkat kunci. Arah pembangunan di Kaki Gunung Papandayan tersebut perlu diharmonisasi. Kebijakan ekonomi, konservasi lingkungan, perkembangan sosial,  budaya, dan agama di tingkat desa  harus menjadi bagian terpadu. Bahkan dinamika politik lokal pun  jangan diremehkan.   

Akar masalah terhadap gangguan keseimbangan ekosistem  kawasan hutan,  lahan pertanian dan kerentanan  masyarakat,  perlu diidentifikasi lebih komprehensif.  Koordinasi antar pihak perlu ditingkatkan. Termasuk antara lain dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian PUPR, Kementerian ESDM dan  Perhutani (BUMN).  Bahkan dengan kalangan legislatif,  oleh sebab  mereka akan terkait dengan  perumusan dan pengawasan berbagai kebijakan yang relevan.***

 
 
 
 

Editor: Huminca Sinaga


Tags

Terkini

Orang Bijak Taat “Dibajak”

31 Maret 2023, 00:00 WIB

Meluruskan Niat Buka Bersama

29 Maret 2023, 21:00 WIB

Syahwat Pamer

29 Maret 2023, 20:54 WIB
x