Warung Makan dan Puasa Ramadan

- 20 Maret 2023, 22:15 WIB
Ilustrasi Kafe selama Ramadan.
Ilustrasi Kafe selama Ramadan. /hyattrestaurants.com

 

oleh: Asep Dudi S

Wakil Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Unisba

 

RAMADAN adalah bulan suci umat Islam. Di dalamnya kaum muslimin disyariatkan melaksanakan ibadah puasa sebagai ibadah utama. Tentu ada ibadah lainnya, baik yang khusus di bulan Ramadan, maupun peningkatan kualitas ibadah yang biasa dilaksanakan di luar bulan Ramadan. Hampir setiap tahun menjelang atau setelah masuk bulan puasa, selalu muncul wacana menghormati orang yang sedang berpuasa. Salah satunya dengan imbauan agar warung-warung makan tutup pada siang hari.

 

Menilai persoalan warung makan yang buka siang hari selama Ramadan, sebaiknya mempertimbangkan tiga hal. Pertama, kepentingan pihak yang membuka warung;  kedua, kepentingan mereka yang mendapatkan keringanan tidak berpuasa; ketiga, kepentingan orang-orang yang berpuasa. Untuk menghubungkan ketiga pihak ini dapat diambil landasan normatif sebagaimana diungkapkan ayat Alquran yang artinya,” saling tolong-menolonglah kalian dalam kebajikan dan takwa. Dan, janganlah kalian saling menolong dalam dosa dan permusuhan.” – qs. al-Maidah 2.

 

Mereka yang membuka warung berhajat mendapatkan penghasilan sebagai nafkah kehidupan keluarganya sebagaimana diwajibkan agama, ..dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya (qs. al-Baqarah 233). Sebagaimana pula dinyatakan dalam surah lainnya, hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya (qs. ath-Thalaq ayat 7). Dengan cara pandang yang tidak dikotomis, maka berdagang dan bentuk usaha halal lainnya merupakan bentuk pengamalan agama. 

 

Adapun berpuasa di bulan suci Ramadan adalah wajib hukumnya. Namun demikian, ada sejumlah kalangan yang mendapatkan keringanan (rukhshah) tidak menjalankannya. Mereka adalah orang-orang yang sedang melakukan perjalanan atau safar, perempuan yang haid, hamil atau menyusui, mereka yang udzur karena sakit, lanjut usia, masih kanak-kanak, juga pekerja berat yang harus menggarap pekerjaan yang tidak bisa ditunda atau dielakkan. Juga anggota masyarakat lainnya yang nonmuslim. Dalam situasi tertentu boleh jadi membutuhkan warung makan untuk memenuhi keperluan mereka.

 

Di pihak lain, mereka yang menjalankan ibadah puasa, tetapi tidak memungkinkan memasak sendiri, pastinya akan mencari keberadaan warung makan, baik ketika sudah masuk sahur atau berbuka, maupun di luar waktu tersebut, sebagai persiapan atau persediaan. Mahasiswa yang kost, para penunggu pasien di rumah sakit, di antara sebagian pihak yang memerlukan warung makan. 

 

Lalu, bagaimana dengan mereka yang muslim, tetapi memang tidak berpuasa, bukan karena mendapatkan rukhsah (dispensasi), dan bahkan tidak mempunyai udzur apapun. Mereka mencari warung makan semata karena ingin menutupi rasa laparnya, sebagaimana yang biasa dilakukannya di luar Ramadan? Maka, hal itu adalah tanggung jawab mereka di  hadapan Tuhan. Yang terbaik bagi mereka adalah perlunya memahami dan menyadari bahwa puasa adalah bagian syariat yang harus diamalkan. Pengabaian atau kesengajaan meninggalkan salah satu rukun terpenting ini, merupakan keingkaran dan dosa yang wajib dihindari.   

 

Etika Ramadan

Banyak alim ulama yang menyatakan bolehnya berdagang makanan siang hari pada bulan Ramadan untuk kepentingan sebagaimana diuraikan sebelumnya. Namun demikian, Ramadan tetaplah bulan suci umat Islam. Berbeda dengan bulan-bulan lainnya karena ada amalan puasa di dalamnya. Oleh karena itu, pertimbangan etis perlu menjadi perhatian setiap pihak.

 

Para pemilik warung makan selayaknya memperhatikan etika melayani kebutuhan pembeli. Membuka/menutup warung di waktu-waktu tepat, memasang tanda pengingat secara tertulis bahwa warungnya hanya melayani mereka yang tidak berpuasa karena rukhshah dan udzur, memasang tirai sehingga dagangannya tidak terlihat secara kontras, merupakan langkah-langkah etis menghormati syiar Ramadan. 

 

Etika bagi mereka yang memanfaatkan warung makan karena sedang memperoleh rukhshah atau udzur, hendaknya tidak demonstratif mengonsumsi makanan, sehingga dilihat oleh sebarang orang banyak. Namun, melakukan itu di tempat yang telah disediakan pemilik warung dan terlindung dari penglihatan khalayak.

 

Berdagang makanan tidak perlu dipandang sebagai modus menggoda orang yang sedang berpuasa. Tidak juga dipandang sebagai tidak menghormati orang yang sedang berpuasa. Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya bahwa itu adalah sebentuk ikhtiar menjalankan perintah agama, mencari sumber nafkah penghidupan keluarga.

 

Dengan demikian, ungkapan menghormati orang yang berpuasa bisa ditambah dengan ungkapan lainnya yang lebih lengkap, yaitu menghormati orang yang berpuasa, menghormati orang yang diizinkan agama untuk tidak berpuasa, dan menghormati orang yang sedang menjalankan perintah agama mencari rezeki sebagai kewajiban bagi keluarganya. 

 

Sebagaimana ayat muawanah (saling menolong) yang dikutip di depan, bahwa hendaknya melalui amalan-amalan agama ini setiap pihak saling menolong dan mendukung tegaknya nilai-nilai kebajikan dan ketakwaan. Jika sebuah amalan ibadah dipahami dan disikapi dengan perspektif yang parsial, yang muncul justru permusuhan, kezaliman dan dosa. Jika saling menolong dan menghormati dijalankan, maka akan dirasakan bahwa Ramadan adalah berkah bagi semua.*** 

Editor: Huminca Sinaga


Tags

Terkini

Orang Bijak Taat “Dibajak”

31 Maret 2023, 00:00 WIB

Meluruskan Niat Buka Bersama

29 Maret 2023, 21:00 WIB

Syahwat Pamer

29 Maret 2023, 20:54 WIB

Terpopuler

Kabar Daerah

x