Demokratisasi Komunikasi

- 7 Maret 2023, 17:51 WIB

 Oleh: Eni Maryani

Dosen Ilmu Komunikasi, Fikom Universitas Padjadjaran

 

TULISAN ini berbasis pada cara pandang kritis yang memahami bahwa realitas media tidak terkonstruksi secara alamiah akan tetapi dibentuk oleh nilai-nilai sosial, ekonomi, politik maupun budaya yang dominan (Craig, T.R.; Muller, 2007; Denzin & Lincoln, 2018; Fuchs, 2016). Selain itu kritik terhadap sistem media yang dilakukan adalah mengungkap kontribusi media terhadap demokratisasi komunikasi. Demokratisasi komunikasi sendiri mengacu pada proses produksi dan distribusi komunikasi sosial yang melibatkan partisipasi kreatif individu dan masyarakat, memahami adanya perbedaan, dan berbasis kesetaraan dalam mendapatkan pendidikan dan warisan budaya. (Szecskö, 1986). Teori Ekonomi Politik mengasumsikan bahwa kuasa ekonomi politik sangat mempengaruhi sistem produksi, distribusi dan konsumsi dalam proses komunikasi termasuk yang dimediasi (Mosco, 1998). Merujuk pada pandangan tersebut dan data-data riset terkait media serta analisis yang dilakukan ditemukan hal-hal penting yang harus kita sadari dan sikapi terkait keberadaan media terkait demokratisasi komunikasi.

 

Secara umum perlu dipahami adanya distorsi komunikasi yang terjadi secara sistematis melalui media dan bagaimana media beroperasi. Pertama, sistem rating, khususnya di media penyiaran menjadi kendala media untuk menjalankan fungsinya (sebagai media informatif, media pendidikan, memberi hiburan yang sehat, serta sebagai kontrol dan perekat sosial) seperti yang tercantum dalam UU No. 32/2002. Rating cenderung merendahkan kreatifitas, mengabaikan konten terkait kepentingan publik, dan mengkonstruksi selera khalayak saat prime-time dengan konten berkualitas rendah hasil produksi kejar tayang (striping). 

 

Selain itu, rating juga memarjinalkan konten terkait kepentingan publik. Kedua, berkembangnya kepemilikan media dan kebijakan yang melemahkan kehadiran konten lokal dan berkembangnya industri media lokal. UU Cipta Kerja tentang Penyiaran yang mengubah ketetapan tentang perizinan pada Pasal 33 dan menghapus Pasal 34 UU No. 32/2002 tentang masa berlaku izin siar larangan pengalihan kepemilikan izin siar semakin memperkuat kuasa para pemilik media dan melemahkan posisi publik dan upaya untuk mendorong terciptanya keragaman konten media dan keragaman kepemilikan media. Ketiga, dikeluarkannya aturan yang memungkinan media kembali bersiaran secara nasional sangat disayangkan. Sistem Penyiaran Nasional seharusnya tetap beroperasi melalui Stasiun Siaran Jaringan dan Lokal. Sistem penyiaran jaringan dan lokal dapat mendorong berkembangnya bisnis media di tingkat lokal dan tidak mengabaikan kebutuhan lokal. Berdasarkan sistem demokrasi dan otonomi daerah yang diberlakukan di Indonesia maka setiap daerah perlu memiliki saluran komunikasi politik dan publik yang sesuai dengan publik daerahnya masing-masing.

 

Merujuk pada beragam kendala yang terjadi maka diperlukan literasi media yang lebih masif pada publik terutama khalayak televisi. Selain itu diperlukan kontrol pada sistem rating dan model bisnis media yang berlaku serta implikasinya pada konten media, kreativitas pekerja media, atau idealisme jurnalis,  selera khalayak dan kebutuhan khalayak. Pekerja media perlu memperkuat asosiasinya untuk menghadapi tekanan pemilik yang sangat berorientasi pada keuntungan semata dan mengabaikan idealisme dan kompetensi yang mereka miliki. Masyarakat berhak memperoleh konten media yang lebih berkualitas atau sesuai dengan kebutuhan mereka, karena merekalah yang membayar biaya operasional media melalui produk-produk beriklan yang dibelinya.***

Halaman:

Editor: Huminca Sinaga

Sumber: Pikiran Rakyat


Tags

Terkini

Orang Bijak Taat “Dibajak”

31 Maret 2023, 00:00 WIB

Meluruskan Niat Buka Bersama

29 Maret 2023, 21:00 WIB

Syahwat Pamer

29 Maret 2023, 20:54 WIB