Ujaran Kebencian Identitas

- 7 Maret 2023, 17:49 WIB

 

Oleh :Atwar Bajari

Dosen Ilmu Komunikasi Fikom Unpad

 

UJARAN kebencian dalam media sosial makin memprihatinkan. Kompilasi Facebook tiga tahun terakhir menunjukkan tren peningkatan. Sejak Oktober 2017 hingga Maret 2020 data ujaran kebencian fluktuatif namun terus meningkat. Angka tertinggi muncul pada triwulan I-2020 sebanyak 9,6 juta ujaran kebencian. Demikian pula dalam ruang Twitter, kecenderungan “perang” ujaran kebencian jumlahnya tertinggi dibandingkan media sosial lain (Pusparisa, 2020).

Lewat pendekatan Etnografi Virtual terhadap beberapa akun terpilih dalam Facebook dan Twitter selama Pilpres 2019, dilanjut pengamatan saat pandemi Covid 19 serta pasca pandemi Covid 19, Penulis menemukan ujaran kebencian yang bertebaran dengan berbagai frasa kunci khas dan kontekstual. Pada Pilpres 2019 konflik kebencian terjadi antara pendukung Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandiaga. Perang ujaran terus berlangsung pasca Pilpres 2019 sampai masa pandemi. Bangsa ini seolah terbelah dalam kelompok “kecebong” dan “kampret”. Dalam penanganan pandemi, pernyataan apapun dari pemerintah atau oposisi selalu memicu kebencian. Status netral sekalipun dalam akun media sosial pendukung tetap memicu komentar kebencian.

Penggunaan frasa kunci dalam ujaran selalu menggambarkan kelompok lain itu bodoh, menjijikan, menyedihkan, serakah, berbahaya, serta terbelakang. Sedangkan bentuk-bentuk ujaran dapat dikelompokkan menjadi; hinaan, tuduhan, umpatan, intimidasi dan mendorong kekerasan.

Media sosial telah menjadi saluran pengonstruksi loyalitas pendukung sekaligus merendahkan lawan melalui ujaran kebencian. Menurut Pohjonen dan Udupa (2017), media sosial dituduh sebagai penyebab perang status yang menjembatani kebencian antar kelompok. Permainan bahasa sarkastik telah mewakili hasrat untuk “membunuh” atau ”memukul” pihak lawan tanpa mencederai fisiknya.

Menurut Klein (2018), “penyuka” ujaran kebencian modern mengadopsi pendekatan inovatif dalam strategi “perangnya” demi kepentingan agenda politik dan pembentukan opini. Klein menyebutkan, bahwa mereka memakai strategi “pencucian informasi”. Ruang media sosial menjadi sistem untuk merubah fitnah menjadi informasi yang dianggap logis. Kelompok ini memproduksi narasi kebencian yang seolah didukung pengetahuan dan data ilmiah. Di balik itu, mereka sebenarnya telah memilih, mengedit, serta mengolah dengan menambahkan atau menyembunyikan fakta demi menciptakan keyakinan yang seperti benar adanya.

 

Halaman:

Editor: Huminca Sinaga

Sumber: Pikiran Rakyat


Tags

Terkini

Orang Bijak Taat “Dibajak”

31 Maret 2023, 00:00 WIB

Meluruskan Niat Buka Bersama

29 Maret 2023, 21:00 WIB

Syahwat Pamer

29 Maret 2023, 20:54 WIB