Penundaan Pemilu Langgar UUD

- 6 Maret 2023, 17:13 WIB
 
 
Oleh: Tugiman
(Ketua Pusat Kajian Hukum dan Politik Unpas)                               
 
 PENGADILAN Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) telah mengabulkan gugatan Partai Prima terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan menghukum KPU untuk “menunda Pemilu”.  Gugatan perdata tersebut diputuskan pada Kamis (2/3/2023), yang substansi putusannya menghukum KPU untuk menunda pemilu selama lebih-kurang 2 tahun 4 bulan dan 7 hari sejak putusan dibacakan.  
 
Putusan  tersebut dinilai tidak memiliki kerangka yuridis yang memadai, tidak layak dan tidak patut, serta melampaui batas kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang, bahkan “melanggar konstitusi”.  
Beberapa indikator  dapat mengarah  abuse of power dan pelanggaran konstitusi terhadap putusan tersebut.
 
 
Pertama,  batas kewenangan pengadilan.  Dalam teori hukum, literasi maupun peraturan perundang-undangan, kewenangan pengadilan secara substansi meliputi dua hal, yaitu kewenangan absolut dan kewenangan relatif. Kewenangan absolut artinya kewenangan pengadilan untuk memutus perkara sesuai dengan wewenang yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan kewenangan relatif pengadilan mengadili perkara sesuai daerah hukumnya.  Dalam kaitan dengan persoalan tersebut,  bahwa gugatan yang diajukan oleh partai Prima adalah gugatan perdata, khususnya terkait dengan tidak lolosnya Partai Prima menjadi peserta pemilu 2024. Namun demikian PN Jakarta Pusat dalam Putusannya telah melampaui batas kewenangan yaitu menghukum KPU untuk  menunda pemilu selama 2 Tahun, 2 Bulan, 7 hari sejak putusan dibacakan. Sementara itu, sesuai undang-undang, kewenangan mengadili proses pemilu itu hanya ada pada Pengadilan Tata Usaha Negara maupun Bawaslu yang memiliki legitimasi  untuk hal tersebut. Dengan begitu, putusan penundaan pemilu oleh PN Jakarta Pusat tersebut, selain berlebihan,  dinilai tidak patut dan tidak layak dikeluarkan oleh lembaga hukum. Lainnya, juga dinilai telah melampaui batas wewenang dan mengarah kepada “abuse of power”, atau bahkan  “melanggar konstitusi” yang mengamanatkan pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali, sebagaimana diatur dalam Pasal 22 E ayat (1) UUD 1945.
 
 
Kedua, penundaan pemilu di luar kewenangan PN. Berbagai regulasi tentang kepemiluan telah mengamanatkan bahwa persoalan hukum terkait proses pemilu menjadi kewenangan Bawaslu dan PTUN, sedangkan sengketa mengenai hasil pemilu menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.  Dalam persoalan tersebut, sebenarnya Partai Prima telah menempuh jalur hukum baik ke Bawaslu maupun PTUN. Namun, kedua lembaga tersebut dalam putusannya menolak gugatan Partai Prima.   Gugatan perdata yang diajukan oleh Partai Prima kepada PN Jakarta Pusat merupakan hak hukum Partai Prima  Akan tetapi, yang menjadi pokok persoalan utama adalah ketika gugatan perdata tersebut oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kemudian dikabulkan yang salah satu amar putusannya memerintahkan kepada KPU untuk menunda pemilu selama 2 (dua ) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari.  Putusan ini dinilai berlebihan, tidak elok dan dan diluar kewenangan, mengingat putusan dimaksud sebenarnya masuk dalam ranah “hukum administrasi negara” yang menjadi kewenangan PTUN atau Bawaslu. Soalnya, persoalan sengketa proses administrasi dalam tahapan pemilu itu menjadi kewenangan Bawaslu, sedangkan keputusan mengenai kepesertaan pemilu  menjadi kewenangan PTUN. Terlebih sebelumnya PTUN telah mengeluarkan putusan perkara tersebut dan menolak gugatan Partai Prima.
 
 
Ketiga,  vonis PN atas penundaan pemilu tidak berkekuatan hukum. Bertolak dari kerangka pemikiran dan kerangka yuridis sebagaimana diuraikan di atas, maka jelas tidak ada kompetensi pengadilan umum, (dalam hal ini Pengadilan Negeri Jakarta Selatan), untuk membuat keputusan penundaan pemilu.  Oleh karena itu, putusan  PN Jakarta Pusat tersebut “merupakan perbuatan melawan hukum”. Alasannya, sejatinya perkara perdata tidak bisa dijadikan objek terhadap KPU dalam pelaksanaan pemilu, terlebih terkait penundaan pemilu.   Perlu disadari bahwa hukuman penundaan pemilu atau semua prosesnya tidak bisa dijatuhkan oleh PN sebagai kasus perdata. Terlebih regulasi telah menggariskan bahwa penundaan pemungutan suara dalam pemilu hanya bisa diberlakukan oleh KPU untuk daerah-daerah tertentu yang bermasalah sebagai alasan spesifik, bukan untuk seluruh Indonesia. Misalnya, di daerah yang sedang ditimpa bencana alam yang menyebabkan pemungutan suara tak bisa dilakukan.  Dengan demikian, “tidak memiliki kekuatan hukum apabila penundaan pemilu diputuskan melalui vonis pengadilan negeri”. Soalnya, secara yuridis penundaan pemilu menjadi wewenang KPU, sebagaimana diatur dalam Pasal 431 s.d 433 Undang-undang Nomor : 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
 
 
Keempat, banding KPU adalah langkah tepat. Terhadap putusan tersebut l, KPU  akan banding, yang dinilai tepat dan sekaligus sebagai representasi penghormatan terhadap putusan pengadilan. 
 
Kelima, berpotensi ciptakan kegaduhan. Terlepas dari persoalan sah tidaknya putusan PN Jakarta Pusat terkait penundaan Pemilu,  yang pasti putusan tersebut akan memancing reaksi pro dan kontra di masyarakat. Ujung-ujungnya ini dapat membuat kegaduhan dan meningkatkan tensi politik.  Selain itu, pentingnya para hakim yang mengadili perkara tersebut untuk segera dimintai pertanggungjawaban hukum, terutama terkait “dugaan pelanggaran kode etik”. ****
 

Editor: Huminca Sinaga

Sumber: Pikiran Rakyat


Tags

Terkini

Orang Bijak Taat “Dibajak”

31 Maret 2023, 00:00 WIB

Meluruskan Niat Buka Bersama

29 Maret 2023, 21:00 WIB

Syahwat Pamer

29 Maret 2023, 20:54 WIB

Terpopuler

Kabar Daerah

x