Salah Asuhan

- 6 Maret 2023, 17:05 WIB
 
 
Oleh: M Ilmi Hatta
Dosen Fakultas Psikologi Unisba
 
 
 
MASYARAKAT kembali dikejutkan berita kekerasan. Kali ini mahasiswa berinsial MDS, putra pejabat, menganiaya anak bernama David, yang sampai hari ini masih dirawat dan belum sadarkan diri. Hal yang membuat banyak orang tercengang. Ketika polisi melakukan konprensi pers, dan menampilkan tersangka, MDS tak terlihat menunduk. Dia terlihat tetap tegak dengan wajah menatap para pewarta yang ada di hadapannya. Tidak terbersit canggung, atau takut. Raut mukanya tidak menunjukkan rasa penyesalan. 
 
Ada apa dengan MDS? Menilik gaya hidup, pola perilaku MDS, dari medsosnya, dan cerita di media masa, MDS tumbuh dan berkembang dari keluarga berada, dan merupakan anak laki-laki satu-satunya. Meminjam teori kepribadian klasik psikoanalisa Sigmund Freud,  kemungkinan MDS mempunyai Super Ego yang lemah. Super Ego dalam teori Freud adalah bagian kepribadian yang merupakan komponen moral. Gaya hidup masa kecil diprediksi tidak pernah susah yang menyebabkan MDS berkembang menjadi pribadi yang selalu memuaskan impulsnya, egosentris dan cenderung narsistis. 
 
Menurut Freud, pola kepribadian sudah bisa diprediksi dengan melihat tahap perkembangan dari 0 sampai 5 tahun. Dalam setiap perkembangan individu, peran ibu menentukan, terutama pada fase oral atau fase menyusui anak di usia 0 sampai 2 tahun. Peran ibu memang sangat penting dalam pola asuh dan membentuk akhlak anak, karena ibulah yang memberikan dan mengajarkan afeksi (kasih sayang). Agar afeksi dapat berkembang dengan adekuat, diperlukan attachment (kelekatan). Istilah attachment untuk kali pertama dikemukakan psikolog Inggris, John Bowlby pada 1958, yang formulasinya kemudian dilengkapi oleh Mary Ainsworth. Bowlby menjelaskan bahwa maternal deprivation atau kekurangan kasih sayang ibu bisa menyebabkan anxiety, kemarahan, delinquency, dan depresi. 
 

 

 Attachment merupakan suatu ikatan emosional yang kuat, dikembangkan anak melalui interaksinya dengan orang yang mempunyai arti khusus dalam kehidupannya, biasanya orang tua.  Bowlby  menyatakan bahwa hubungan ini akan bertahan cukup lama dalam rentang kehidupan manusia yang diawali dengan attachment anak pada ibu. 
 
Peran ibu
 
Islam sebenarnya banyak mencontohkan bagaimana mendidik anak menjadi anak soleh. Contohnya, dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir (1992), dijelaskan Nabi Ibrahim tidak memiliki anak dalam perkawinannya dengan Siti Sarah. Sang istri menganjurkan Ibrahim agar menikahi budak mereka, Siti Hajar, supaya memperoleh keturunan. Dari hasil pernikahan Ibrahim dengan Siti Hajar lahirlah Ismail. Beberapa saat setelah kelahiran Ismail, Allah memerintahkan Ibrahim, memindahkan Siti Hajar dan Ismail ke Mekkah, daerah padang pasir dan tandus. Ibrahim pun diperintahkan meninggalkan Siti Hajar dan anaknya Ismail. Siti Hajar pun menangis dan sedih tak sanggup ia harus ditinggalkan suaminya. Ibrahim tak bisa berbuat apapun karena itu perintah Allah. Berat hati Ibrahim meninggalkan anak istrinya di Padang pasir yang gersang. Ia lalu melanjutkan perjalanannya menuju Palestina.
 

 

Singkat cerita, diperkirakan Nabi Ibrahim kembali menemui Siti Hajar ketika Ismail berusia  10 tahun. Hal ini didasarkan kepada perbedaan usia antara Nabi Ismail dan Nabi Ishak 11 tahun. Artinya setelah sekitar 10 tahun, Nabi Ibrahim kembali lagi menuju Mekah, kemudian diperintahkan menyembelih Ismail dan tahun berikutnya lahir Ishak.
 
 
Hikmah apa yang bisa diambil? Ketika Nabi Ibrahim baru saja kembali dan menemui Siti Hajar dan Ismail, Nabi Ibrahim mendapat perintah dari Allah, untuk menyembelih anak yang sangat dicintainya Ismail. Nabi Ibrahim pun membawa Ismail, dan Ismail menurut ajakan ayahnya yang baru ditemui, tanpa protes ataupun melawan. Nabi Ibrahim, menyampaikan maksudnya kepada Ismail, dengan berkata; “Wahai anakku, aku diperintahkan oleh Allah, untuk menyembelihmu, bagaimana pendapatmu”, dan apa jawaban Ismail? Ismail menjawab; “wahai ayahku, bila itu perintah Allah, laksanakanlah”. Jawaban yang mengagumkan dari anak berumur 10 tahun. Pertanyaannya, siapakah yang menjadikan Ismail, begitu soleh, tidak memberontak ketika dibawa untuk disembelih, malah siap disembelih untuk menjalankan perintah Allah. Hampir 10 tahun ayahnya meningalkannya, sehingga bisa dipastikan yang menjadikan Ismail soleh adalah peran ibunya, Siti Hajar. Ismail, diasuh dan didik Siti Hajar penuh kasih sayang dan menginformasikan tentang ayahnya yang sedang menyiarkan Islam, pemahaman tentang Allah, ajaran Islam, berhasil ditanamkan Siti Hajar, tanpa ada peran dari ayahnya. 
 
 
Hikmah kedua yang bisa diambil, adalah dialog, Nabi Ibrahim akan menyembelih Ismail, ia minta pendapat Ismail. Dari sini Islam mengajarkan, seorang ayah hendaknya tidak otoriter, memaksakan segala kehendak ayah. Berkomunikasilah dengan anak secara santun, dengar pendapat anak.
Dalam pengasuhan anak, ibu sangat memegang peranan penting. Di era medsos, peran ibu banyak hilang, tergantikan oleh figur lain, seperti asisten rumah tangga, atau nenek dari anak. Ibu pun disibukan untuk membantu ekonomi keluarga. Bukan hal yang salah, tapi harus diingat peran ibu sangat menentukan karakter pribadi anak. *****

Editor: Huminca Sinaga


Tags

Terkini

Orang Bijak Taat “Dibajak”

31 Maret 2023, 00:00 WIB

Meluruskan Niat Buka Bersama

29 Maret 2023, 21:00 WIB

Syahwat Pamer

29 Maret 2023, 20:54 WIB

Terpopuler

Kabar Daerah