Paradoks Keadilan Sosial dalam Lintas Agama

- 24 Februari 2023, 08:33 WIB
 

BEBERAPA waktu silam di tahun 2023, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi), pernah mengeluarkan pernyataan terkait situasi hubungan lintas agama yang nampak memburuk, terutama yang berhubungan dengan kegiatan dan rumah ibadah agama lainnya yang dianggap minoritas. Seperti di Cilegon, di mana Wali Kota Cilegon dalam Surat Keputusan Wali Kota memerintahkan Kepala Kantor Pertanahan Kota Cilegon untuk mencabut dan membatalkan Surat Sertifikat Hak Guna Bangunanan (SHGB) untuk Gereja HKBP Maranatha. Keputusan ini merupakan bagian desakan dari elemen masyarakat bernama Komite Penyelamat Kearifan Lokal Kota Cilegon.

Terbaru adalah insiden yang dilakukan sejumlah warga, termasuk ketua RT setempat yang melarang dan membubarkan ibadah jemaat Gereja Kristen Kemah Daud (GKKD) di Jalan Soekarno Hatta, Kelurahan Rajabasa Jaya, Kecamatan Rajabasa, Bandar Lampung. 

Ironisnya, Presiden Jokowi mengeluarkan pernyataan tersebut dalam satu acara yang justru melibatkan kepala-kepala daerah ataupun jajaran Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkompimda), yaitu rapat koordinasi Forkopimda di Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, bulan Januari 2023. Pernyataannya sendiri sudah terdengar di mana-mana, berisi : ”Konstitusi tidak boleh kalah oleh kesepakatan. Ada rapat FKUB, misalnya, sepakat tidak membolehkan membangun tempat ibadah, hati-hati lho, konstitusi kita menjamin itu. Ada peraturan wali kota atau instruksi bupati, hati-hati lo, konstitusi menjamin kebebasan beribadah”. 

Sudah jelas bahwa konstitusi yang dimaksud adalah Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) dalam Pasal 28E ayat (1), yang menegaskan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” Konstitusi juga menggarisbawahi peran negara dalam menjaga hak beragama dan beribadah melalui Pasal 29 Ayat (2), yakni “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama”.


Kenyataan berupa paradoks

Dalam kenyataannya, tindakan intoleransi dan tidak menghormati hak beragama dan beribadah umat beragama lainnya, masih saja terjadi. Ini menjadi suatu anomali saat mengetahui bahwa masih terdapat aparat pemerintahan terlibat dalam tindakan tersebut, di mana mereka seharusnya melindungi hak beragama dan beribadah warga negaranya, sesuai amanat UUD 1945 tanpa terkecuali.

Terkait hak beragama dan beribadah warga negara Indonesia, penekanan tambahan juga ditegaskan dalam UU No.12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights atau Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, dalam pasal 18 ayat 1 “Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, bernurani dan beragama. Hal ini mencakup kebebasan untuk menganut atau memilih agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk mengejawantahkan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, penataan, pengamatan dan pengajaran.

Akan tetapi, konflik yang berujung pada disharmoni hubungan lintas agama di Indonesia semakin memuncak. Apalagi, sebentar lagi menuju tahun politik 2024 ketika risiko polarisasi isu akan semakin tinggi eskalasinya. Khususnya terkait politik identitas yang menyeret agama dan kepercayaan. Ketika konflik antar agama terjadi, maka sebenarnya persoalan kemanusiaan seharusnya menjadi kunci penting dari berbagai umat beragama untuk dapat memecahkannya (Syafiq Mughni).

Keadilan Sosial dalam Lintas Agama

Indonesia memiliki Pancasila sebagai dasar negara. Penguatan prinsip keadilan sosial juga terdapat dalam sila ke 5 Pancasila. Keadilan sosial di sini tidak hanya mengusung keadilan dan kesetaraan untuk kualitas hidup secara ekonomi, namun dalam capaian sosial, budaya, dan politik. Ketiga unsur terakhir ini melibatkan unsur hubungan lintas agama, terutama dalam konteks Indonesia yang masih sangat rentan terhadap polarisasi yang mengarah kepada perpecahan antar umat beragama. Ditambah lagi, dunia memperingati hari Keadilan Sosial, atau World Day of Social Justice setiap tanggal 20 Februari. Perserikatan Bangsa-Bangsa kala itu di tahun 2007 mengangkat keadilan sosial lewat salah satu resolusinya sebagai upaya mencapai perdamaian dan pembangunan berkelanjutan berbasis prinsip kesetaraan, keadilan, dan penghormatan hak asasi manusia. 

Keadilan dalam lintas agama di Indonesia sebenarnya mutlak mengingat pluralisme merupakan hal yang sudah tidak dapat ditawar. Konstitusi Negara tidak melihat hubungan lintas agama dalam kacamata mayoritas-minoritas, karena semuanya adalah bagian dari kehidupan bernegara, dan hanya melihat kita semua adalah warga negara Indonesia dengan hak dan kewajiban yang sudah ditentukan oleh Negara. Maka, ketika satu unsur Konstitusi terkait lintas agama tercemar hanya karena aparat pemerintah malah berjalan bersama suatu kelompok untuk menentang keberadaan umat beragama lainnya, sudah sepatutnya kita mempertanyakan capaian keadilan sosial yang ada dalam Pancasila, karena dalam kenyataannya masih sebatas angan ideal di Negara tercinta ini. ***

Halaman:

Editor: Huminca Sinaga

Sumber: Pikiran Rakyat


Tags

Terkini

Orang Bijak Taat “Dibajak”

31 Maret 2023, 00:00 WIB

Meluruskan Niat Buka Bersama

29 Maret 2023, 21:00 WIB

Syahwat Pamer

29 Maret 2023, 20:54 WIB