Tafsir Sosial Kasus Sambo

- 19 Februari 2023, 19:37 WIB
Kasus Sambo telah mengubah wajah Polri
Kasus Sambo telah mengubah wajah Polri /T Sutanto
 

ARTIKEL tentang Hukum Bukan Matematika yang ditulis Prof. Deddy Mulyana, PhD. (Pikiran Rakyat, 17 Februari  2023) perlu mendapat apresiasi khusus. Pasalnya, beliau menegaskan sebagai seorang Ilmuwan komunikasi kualitatif, betapa komunikasi hukum dalam panggung peradilan tidak bisa lepas dari faktor subyektif para aktor di pengadilan. Layaknya sebuah drama yang menarik banyak perhatian publik dan atau netizen.  Bahkan ada beberapa media massa yang mengawal langsung jalannya sidang kasus Sambo. Terlepas dari motif para pengelola media, putusan majelis hakim banyak menuai tanggapan yang beragam, termasuk  artikel di atas. Ada sedikit catatan yang perlu mendapat perhatian  dari artikel tentang Hukum bukan matematika, dengan mengutip Edelman, bahwa realitas hukum paling baik dipahami sebagai realitas intersubjektif yang tak dapat diuji dengan pendekatan positivistik (hubungan sebab-akibat yang pasti). 


Dalam konteks ini, seolah menampikkan dan menegaskan bahwa berbagai fakta dan atau bukti ribuan halaman pada kasus Sambo dengan berbagai simbol verbal dan non-verbal persidangan menjadi antiklimaks, dan hanya berujung pada konstruksi subyektif majelis hakim. Bahkan menjadi sebuah drama atau sandiwara belaka. Tentunya hal ini seolah menegaskan betapa hukum sangat tergantung dari interpretasi  para aktor di pengadilan dan menihilkan bukti-bukti pendukung. Alih-alih praktik hukum kita masih diwarnai dengan fenomena tebang pilih, pilih tebang. 


Tafsir Sosial

Kasus Sambo benar-benar menarik perhatian publik dari awal sampai akhir persidangan, walaupun Sebagian warga atau netizen sudah bosan dan pesimis. Dampak yang  berkembang di masyarakat  sangat beragam, ada yang positif dan negatif. Sebagai pembelajaran sosial dan hukum, tentunya kasus Sambo dianggap “lebay” dengan berbagai narasi dan atau pemberitaannya. Kalaulah  dilihat dampak negatifnya, jelas bahwa lembaga kepolisian semakin terpuruk citra dan reputasinya, bahkan melalui isu “kerajaan Sambo” menegaskan adanya persaingan kepentingan antar elite Polri di belakang layar. Dalam keseharian, warga masyarakat melihat polisi di jalan raya “ awas ada sambo”, atau dalam pertandingan olah raga- pun, kalau  “nilai sama”, mereka bilang “ sambo”, dan banyak lagi anekdot sosial yang berkembang. 


Meminjam pikiran Peter L. Berger (Sosiolog), bahwa Sambo sebagai manusia merupakan representasi produk masyarakat, manusia sebagai pencipta kenyataan sosial yang obyektif melalui proses eksternalisasi dan internalisasi. 


Deretan fakta-fakta yang terkait Sambo sejak awal kasus ini merebak sampai di pengadilan, benar-benar menarik perhatian banyak pihak, alih-alih nada sinis dan pesimis. Bahkan kasus Sambo hanyalah bagian kecil dari banyak persoalan besar dan laten yang ada di lembaga ini. Jika meminjam pemikiran kaum hermeneutis (al. Schleirmacher; Wilhelm Dilthey; Gadamer; Emilio Bettie; Paul Ricouer dan Jorge J.E Gracia), bahwa warga/netizen, ataupun para aktor hukum di pengadilan memiliki hak penuh untuk menafsirkan kasus Sambo sesuai dengan persepsi dan pengalamannya. Termasuk media yang mengawalnya. 


Keputusan majelis hakim atas kasus Sambo dan kawan-kawan, dianggap sebagian warga sebagai keputusan yang “berani” dan objektif.  Deretan bukti-bukti (verbal dan nonverbal) dalam persidangan menjadi variabel penyebab untuk majelis hakim dalam mengambil keputusan karena adanya sebab-akibat.   

Di sisi lain,  persoalan hukum dan atau penegakkannya akan sangat tergantung dari komitmen, pemahaman, pengalaman serta referensi subyektif dan objektif para aktor hukum yang terlibat di dalamnya, bukan karena  faktor subjektif majelis hakim. Bukti empirik menjadi andalan utama yang tak bisa dikesampingkan dalam kasus Sambo. 

 
Produk bahasa

Pelajaran yang bisa dipetik dari kasus ini, tentunya terkait dengan bagaimana hukum positif menjadi acuan dan pedoman yang ditaati semua warga tanpa kecuali. Sejauh mana dan bagaimana  kesadaran warga atau alite birokrasi dan para aktor hukum  mengawal dan menjalannya dalam keseharian. Alih-alih penegakkan hukum sebagai pintu masuk perubahan negara yang lebih baik, damai dan menyejahterakan warganya. Alih-alih hukum yang menyeramkan dan atau menakutkan. Apalagi banyak warga yang sangat “alergi” berbicara yang berkaitan dengan implementasi hukum.  


Bagi kaum positivis, melihat hukum sebagai produk bahasa (kumpulan peraturan) seakan tak lagi memiliki kekuatan, dan  tak lagi memadai untuk menjadi bagian penting dan utama dalam  membangun kesadaran manusia sebagai subjek untuk menaatinya. Bahkan dianggap menjadi satu ‘bongkahan” di atas kertas semata yang jauh terpisah dengan realitas yang sesungguhnya. Hukum tak lagi  mampu menjangkau kedalaman perilaku manusia secara utuh (sebagai objek semata).  

Halaman:

Editor: Huminca Sinaga


Tags

Terkini

Orang Bijak Taat “Dibajak”

31 Maret 2023, 00:00 WIB

Meluruskan Niat Buka Bersama

29 Maret 2023, 21:00 WIB

Syahwat Pamer

29 Maret 2023, 20:54 WIB