Meluruskan Niat Buka Bersama

29 Maret 2023, 21:00 WIB
Ilustrasi buka puasa bersama. /Daily Sabah
 

Oleh: Mahi M. Hikmat

Dosen UIN Sunan Gunung Djati, Pegiat ICMI


BULAN Ramadan memang menarik, dan insyaallah akan tetap asyik . Soalnya, dengan ibadah puasa sebulan penuh, Allah berjanji akan meningkatkan kualitas jiwa menjadi orang takwa (tattaquun), bahkan yattaqun (QS.2:183-187). Oleh karena itu, dengan rahmat Allah di sepuluh malam pertama, umat Islam berbondong-bondong tidak hanya untuk menjalankan ibadah puasa, tetapi melakukan berbagai kebaikan, meraih pahala besar atau menebus dosa di masa lalu.  

Terlebih bagi masyarakat muslim Indonesia, Ramadan berbumbu berbagai ritual keagamaan beriring dengan lahirnya tradisi-tradisi kreatif: pawai obor, buka bersama, safari tarawih, sahur bareng, bedug keliling, kirim tumis dan parsel, belah ketupat, opor ayam, mudik, baju baru lebaran, dan sebagainya.

Kendati sebagian tradisi tersebut tidak tersurat langsung dalam Alquran dan hadis, tetap tidak terlepas dari nilai-nilai Islami yang dalam. Wajar jika tradisi itu terus mengalir menjadi warna-warni Ramadan yang indah berjuta kenangan.

Puasa baru dimulai, tradisi-tradisi Islami pun terus menggelinding menjawab kerinduan sebelas bulan lalu. Rasulullah pun mencontohkan berbagai doa untuk memohon kepada Allah swt. agar dipertemukan dengan Ramadan. Bahkan, tiga bulan menjelang Ramadan, Rasulullah pun mencontoh doa, ”Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikanlah (umur) kami pada bulan Ramadhan.”(HR. Ahmad). 

 

Buka Bersama

Seusai tradisi pawai obor, dan tarawih keliling, mulai pertengahan sampai akhir Ramadhan, bisanya munculnya salah satu tradisi buka puasa bersama atau trend disebut bukber. Di dalam Alquran & hadis, tidak ditemukan kewajiban bagi umat Islam untuk berbuka puasa bersama. Setidaknya, dasar hukum kewajiban menjalankan ibadah puasa (QS.2:183-187) tidak tersurat perintah menjalankan buka bersama. 

Namun, tentang makan bersama merupakan salah satu sebab datangnya berkah. Banyak hadis Nabi dapat menjadi rujukan, walaupun sanad beberapa hadis tersebut pun masih perdebatan. Masih diperlukan kajian mendalam dari para ahli hadis yang kompeten terkait buka bersama.  

Realitasnya, sebagaimana tradisi halalbihalal, buka bersama  (ifthar jama'i) pun dalam masyarakat muslim seringkali bermakna menjalin ukhuwah islamiyah, menumbuhkan kebersamaan, silaturahmi, rasa syukur, interaksi langsung antar umat, bahkan berbagi rezeki kepada fakir miskin dan kaum dhuafa. Buka bersama seringkali menjadi momentum silaturahmi. Kendati realitas lainnya pun tidak bisa disangkal.  Ada saja pihak-pihak yang membumbui buka bersama dengan mempertontonkan kemewahan di antara warga yang kaya raya, para pejabat dengan menggunakan fasilitas negara, atau menjadi ajang lobi-lobi kolusi. Bahkan, menjelang Pemilu 2024, bukan hal tidak mungkin menjadi bagian dari strategi kampanye meraih simpati rakyat. 

Jika digebyah uyah (generalisasi), realitas tersebut dapat menjadi stereotip untuk lahirnya perspektif miring terhadap buka bersama. Manusia memang kadang terjebak pada pemikiran stereotip.

Dalam konteks inilah, seluruh masyarakat muslim harus arif dalam menyikapi kebijakan Pemerintah yang  ”melarang” buka bersama. Dalam perspektif positif, kata ”meniadakan” dalam kebijakan Pemerintah tersebut bermakna Pemerintah berupaya untuk mengendalikan realitas negatif dari buka bersama dengan harapan ifthar jama'i kembali on the tract.

 

Luruskan niat

Yang terpenting bagi kita, mari luruskan kembali niat berpuasa, termasuk niat menyelenggarakan berbagai tradisi Islami yang kaya nilai dan makna kebaikan sembari mengikis kemungkinan akibat negatifnya. Ifthar jama'i untuk memupuk tali silaturahmi karena dalam Sabdanya, Rasulullah dengan tegas menyebutkan, silaturahmi jalan kebaikan untuk menambah rezeki dan memperpanjang usia. 

Sejumlah ayat dalam Alquran pun dengan tegas menyuratkan pentingnya memupuk tali silaturahmi. Allah swt. sangat tidak menyukai umat manusia yang bercerai berai dan memerintahkan untuk tetap menjalin kesatuan yang harmonis melalui silaturahmi (QS.3:101-103). 

Yang harus menjadi catatan besar dalam ifthar jama'i adalah menghapus realitas-realitas negatif, seperti sikap terlalu eksklusif, silaturahmi hanya khusus kelompok pejabat, kelompok pengusaha, atau kelompok lainnya. Allah tidak menyukai sikap membeda-bedakan. Islam mengajarkan bahwa semua muslim saudara; semua manusia sama, lahir dari ”rahim” Hawa. Perbedaan yang ada justru sengaja diciptakan agar manusia saling mengenal, bersilaturahmi. 

Dalam perspektif komunikasi antarbudaya, Gudykunst & Kim (1984) menyebutkan, manusia yang berhasil dalam kehidupan adalah manusia antarbudaya. Adler (1982) menyebutnya, manusia multibudaya: orang yang identitas dan loyalitasnya melewati batas-batas kebangsaan;  orang yang intelektual dan emosionalnya terikat keyakinan fundamental, mengakui, menerima, dan menghargai perbedaan.

Manusia seperti itu sangat tepat hidup dalam khazanah Indonesia yang sangat majemuk, termasuk pada masyarakat muslim Indonesia. Berbagai kreativitas unik dan menarik mengiringi ritual Islami yang berbeda-beda sesuai budaya masing-masing akan terus hidup. Kegiatan-kegiatan bernuansa dan bermakna silaturahmi, seperti ifthar jama'i, justru akan menjadi agenda unggulan. Khilafiyah tetap hidup dan berjalan dengan indah berbumbu bunga silaturahmi tanpa pamrih, tanpa membedakan antara si kaya-si miskin, atasan-bawahan, golongan x golongan y, semua terikat dalam satu din: agama Allah. Wallahu a'lam biswahab.  ***

Editor: Huminca Sinaga

Tags

Terkini

Orang Bijak Taat “Dibajak”

Meluruskan Niat Buka Bersama

Syahwat Pamer

Terpopuler