Paradoks Senjata Nuklir

23 Maret 2023, 20:20 WIB
Ilustrasi senjata nuklir. /heritage.org

 

 

Oleh: Samti Wira

Direktur Riset Forum Strategis Diplomasi Pertahanan Indonesia atau Defense Diplomacy

 

PERDAMAIAN dunia menjadi topik pembicaraan yang semakin hangat diperbincangkan. Tidak sampai disana, berbagai upaya menuju tercapainya stabilitas keamanan global juga dilakukan oleh berbagai negara. Perang Rusia dan Ukraina, Konflik Laut Cina Selatan, Konflik Cina dan Taiwan, Kondisi di Semenanjung Korea yang memanas, hingga keberadaan kerja sama keamanan kolektif yang bersifat binding seperti NATO, FPDA, dan AUKUS seakan menjadi bentuk manifestasi dari kekhawatiran dunia akan ketidakpastian rasa aman di masa depan. Terutama isu tentang pengembangan senjata nuklir yang dilakukan oleh Cina, Iran, India, Rusia, Korea Utara, dan Amerika Serikat (AS) semakin menguatkan upaya manifestasi dari tiap negara untuk menjamin keselamatan dan kelangsungan hidup dimasa depan.

 

Senjata nuklir bukan lagi hal yang baru, Korea Utara termasuk negara yang terbuka menunjukan intensinya terhadap pengembangan senjata nuklir dengan memamerkan 11 Hwasong-17 rudal balistik antar benua (ICBM) ketika parade malam hari peringatan 75 tahun berdirinya tentara Korea (DPRK). Rudal tersebut diketahui memiliki hulu ledak nuklir taktis terbesar. Sementara Rusia yang menjadi salah satu pemain besar dalam persenjataan nuklir baru saja menangguhkan perjanjian New START atau perjanjian AS-Rusia tentang pengurangan senjata nuklir. Sementara AS disinyalir memiliki banyak peluncur senjata nuklir seperti Cina. Di sisi lain, India dan Pakistan juga terindikasi melakukan kerja sama pengembangan senjata nuklir, dan Iran sedang memperkaya uranium sampai derajat kemurnian 60% yang jika sampai 80% maka Iran memiliki kemampuan membuat bom atom. 

 

Fobia nuklir

Belajar dari sejarah, pada dasarnya perang nuklir pernah hampir terjadi saat Krisis Rudal Kuba. Selain itu, simulasi komputer juga hampir memulai perang nuklir pada 1979, termasuk latihan Able Archer yang dilakukan NATO pada 1983. Rasa takut yang diciptakan dari kondisi lalu telah merubah peta keamanan politik dunia, apalagi nuklir memiliki kemampuan penghancur yang sangat besar seperti yang pernah terjadi di Hiroshima dan Nagasaki.

 

Dampak dari keberadaan senjata nuklir tidak hanya ketika senjata nuklir ini digunakan melainkan dimulai sejak senjata nuklir dikembangkan. Ancaman lain yang perlu diperhatikan adalah ancaman serangan siber terhadap Nuclear Weapon System yang memang menggunakan jaringan komputasi. Dengan pesatnya kemajuan dunia siber yang tidak berbanding lurus dengan kemampuan pengamanannya, maka dikhawatirkan ruang kosong tersebut akan mengancam kondisi keamanan dunia.

 

Kebijakan Indonesia  

Rezim dunia kemudian membuat seperangkat kebijakan kerja sama terkait dengan pembatasan nuklir seperti Treaty of the Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT) yang resmi berlaku sejak 1970, Comprehensive Nuclear Test Ban Treaty (CTBT) yang diadopsi sejak 1996, dan Southeast Asian Nuclear Weapon Free Zone (SEANWFZ) yang berlaku pada 1997. Selain itu Gerakan Non-Blok pada PBB juga memiliki kelompok kerja terkait dengan Pelucutan Senjata.  Terkini, muncul Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons (TPNW) pada tahun 2017 dan menjadi instrumen legal internasional yang mampu mengisi kekosongan aturan dari NPT yang dinilai menjadi legitimasi bagi pemilik senjata nuklir yang “sah” dalam membatasi ruang dari pengembangan senjata nuklir oleh negara yang tidak meratifikasi NPT. Namun, sayangnya Indonesia sampai saat ini memang belum meratifikasi TPNW. Entah karena nilai urgensi dari ratifikasi tersebut yang belum sesuai atau memang ada intensi lain yang sedang dipertimbangkan oleh Indonesia dalam hal pengembangan nuklir.

 

Hal yang menarik adalah bagaimana Indonesia bersikap terhadap kondisi yang diciptakan oleh senjata nuklir dalam mempromosikan stabilitas strategis dan mencegah perang skala besar. Meskipun memang keberadaan senjata nuklir tetap berpeluang untuk memantik konflik, tetapi intensitas yang ada justru lebih rendah jika dibandingkan dengan intensitas konflik dari perang konvensional. Hal tersebut dimaknai oleh Synder (1965) sebagai satu paradoks stabilitas-ketidakstabilan. Senjata nuklir dapat memunculkan dilema keamanan dalam strategi pertahanan karena mendorong terjadinya perlombaan senjata. Namun, senjata nuklir bisa menjadi penyeimbang dari agresivitas negara hegemon.

 

Indonesia pada dasarnya perlu melihat paradoks tersebut sebagai celah dari upaya diplomasi perdamaian dengan tidak hanya mengandalkan serangkaian ratifikasi atas perlawanan terhadap pengembangan senjata nuklir, melainkan juga mengambil peran maksimal dalam meningkatkan posisi tawar meski “anti senjata nuklir”. Hal itu dapat dilakukan melalui penguatan sistem pertahanan negara dan optimalisasi peran di kawasan. Indonesia perlu mempertimbangkan strategi terhadap kondisi perdamaian yang justru bisa muncul ketika negara dengan senjata nuklir terus memelihara status quo. Jika langkah Indonesia tepat, maka Indonesia semakin diperhitungkan secara global karena meski “anti senjata nuklir”, Indonesia tetap kuat dalam memainkan peran diplomasi dengan nilai tawar yang terakselerasi. ***

Editor: Huminca Sinaga

Tags

Terkini

Orang Bijak Taat “Dibajak”

Meluruskan Niat Buka Bersama

Syahwat Pamer

Terpopuler