Oleh : Cece Sobarna
KATA manéh beberapa hari ini menjadi kata yang populer dan paling dicari orang sejak munculnya komentar seorang netizen pada salah satu unggahan instagram Ridwan Kamil, @ridwankamil. Netizen tersebut menyapa Gubernur Jawa Barat dengan manéh. Sontak saja postingan tersebut trending, menjadi perbincangan riuh di kalangan netizen. Banyak yang tersentak, terheran-heran, bahkan penasaran dengan penggunaan kata manéh.
Padahal, manéh merupakan kata biasa yang sering terdengar dalam keseharian masyarakat Sunda. Penggunaannya pun cukup luas, terutama di kalangan generasi muda, untuk saling menyapa antarsesama teman, atau orangtua kepada anak.
Terlepas dari pro-kontra, manéh merupakan kata ganti orang/diri yang dalam keilmuan linguistik disebut pronomina persona (personal pronouns) kedua tunggal (jamak: maranéh). Setiap bahasa memiliki unsur ini dalam sistem penunjukannya (deiksis) untuk mengidentifikasi orang.
Dalam kajian yang memfokuskan diri pada penetapan kekerabatan bahasa beserta waktu pisahnya (Linguistik Historis Komparatif), kata ganti ini termasuk kosakata dasar yang wajib dimiliki oleh sebuah bahasa.
Klasik dan pelik
Kata ganti orang mencakup sistem tutur sapa dan acuan. Bahasa Sunda tidak seberuntung bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Belanda. Bahasa-bahasa tersebut memiliki kata sapaan egaliter untuk orang kedua: Anda (Indonesia), you (Inggris), dan U (Belanda).
Dalam bahasa Sunda persoalan sapa-menyapa ini cukup pelik saking banyaknya kata sapaan. Bahkan, Perdanakoesoemah (1957) menyinyalir ada seratusan lebih. Sebenarnya, keinginan masyarakat Sunda untuk memiliki kata sapaan yang bisa digunakan untuk semua kalangan sudah muncu lebih setengah abad lalu. Salah satunya disampaikan Aswin, seperti dimuat dalam majalah Warga (1957).
Hanya pada saat itu kebutuhannya belum begitu mendesak. Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan kepentingan berkomunikasi, masyarakat Sunda perlu mempertimbangkan kembali keinginan mulia tersebut.
Penggunaan manéh yang semestinya
Lalu, bagaimana sesungguhnya kata manéh ini digunakan? Dalam Kamus Basa Sunda karya R. Satjadibrata (1954), kata manéh diberi keterangan sebagai padanan dari kata halus manten dengan penjelasan gaganti ngaran jelema kadua atawa nuduhkeun diri pribadi ‘pengganti nama orang kedua atau menunjukkan diri pribadi’.
Juga, kata manéh dapat bersanding dengan kata lain, seperti dalam ungkapan ku mamanéh ‘bukan karena pertolongan orang lain’, mawa manéh ‘tidak mau mendengar nasihat orang lain’, nyoo manéh ‘tidak manja’, dan maéhan manéh ‘bunuh diri’.
Coolsma (1908) menegaskan manéh merupakan kata ganti orang kedua tunggal, digunakan baik kepada pria maupun wanita, di samping kata ganti orang kedua lainnya, seperti sia, (s)ilaing, kita, andika, hidep, sampéan, anjeun, dan gamparan. Menurutnya, manéh lebih banyak digunakan untuk menyapa bawahan, baik kepada laki-laki maupun perempuan, tua ataupun muda, terutama kepada mereka yang sudah dekat.
Kats & Soeriadiradja (1927) dalam membicarakan kata manéh mengaitkannya dengan tingkat tutur (speech levels). Pada masa lalu bahasa Sunda memiliki tingkat tutur atau undak-usuk basa, yang mencakup lima tingkatan: kasar pisan ‘kasar sekali’, kasar ‘kasar’, panengah ‘sedang’, lemes ‘halus’, dan lemes pisan ‘halus sekali’. Kata manéh termasuk pada tingkatan kasar untuk menyapa kawan bicara, sebagai imbangan sapaan untuk pembicara (orang pertama tunggal) déwék, urang, kami, atau kula.
Keluhuran budi
Begitu sulitkah menemukan kata sapaan yang dapat digunakan secara umum? Sebetulnya tidaklah demikian. Namun, dalam berkomunikasi, masyarakat Sunda sangat memperhatikan kawan bicara dan siapa yang dibicarakan, baik yang berkaiatan dengan strata sosial, usia, maupun kedudukan.
Dalam memilih sebuah kata untuk dijadikan sapaan umum, masyarakat Sunda berpegang teguh pada nilai-nilai kesopanan. Prinsipnya dalam bertutur sapa, masyarakat Sunda ingin ngagenahkeun haté batur ‘menyenangkan hati orang lain’. Tentu saja seyogianya ini menjadi nilai-nilai moral yang hakiki dalam kehidupan manusia di mana pun.
Untuk menentukan kata mana yang dapat digunakan sebagai bakal kata sapaan umum untuk orang kedua, hal penting yang harus dicermati adalah cakupan makna “umum” dan “demokratis”-nya, di samping tentu saja kata tersebut terdengar tidak asing di telinga masyarakat Sunda itu sendiri.
Dalam rentang kehidupan bahasa Sunda dikenal kata sapaan berikut, mulai dari yang paling kasar hingga ke yang paling halus: sia, manéh, (s)ilaing, di dinya, awak, anjeun, dulur, sadérék, hidep, andika, salira, sampéan, agan, juragan, gamparan, pangaulaan, dampal gamparan, dampal dalem, dan dampal gusti.
Dari senarai kata tersebut, Perdanakoesoemah (1957), dengan berbagai pertimbangan kritis, pernah mengusulkan penggunaan salira sebagai kata sapaan umum. Menurutnya, kata salira mencakupi rasa adil dan demokratis itu. Namun, tentu saja semua berpulang ke masyarakat Sunda kini sebagai pemiliknya. Atau mungkin juga ada kata lain dari basa wewengkon (dialek) yang memiliki muatan makna seperti yang diharapkan oleh semua pihak supaya peristiwa serupa tidak terulang lagi. Apalagi, sampai mengendurkan semangat menggunakan bahasa Sunda. Cag! ***