Peluang Pertanian Regeneratif

15 Maret 2023, 21:50 WIB
 

Oleh: Dian Yuanita W

(Praktisi Agribisnis)



BEBERAPA waktu terakhir, praktik pertanian modern semakin marak dievaluasi. Meski memang praktik pertanian modern mampu meningkatkan produksi dan produktivitas pangan, namun pada taraf tertentu telah menimbulkan berbagai dampak negatif. 

Sistem pertanian modern pada dasarnya meliputi tiga aspek yaitu penggunaan benih unggul, adopsi teknologi yang canggih, dan penggunaan input agrokimia. Tentu tak ada yang salah dengan praktik pertanian modern. Namun, tak jarang kerap terjadi salah kaprah implementasi. Misalnya, persepsi yang menyebut semakin banyak penggunaan pupuk, maka hasil panen akan meningkat. Padahal tidaklah demikian. Setiap sumber daya memiliki batas minimum dan maksimum. Hal ini yang lantas mendorong banyak pihak mengevaluasi praktik pertanian modern.

Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) mencatat sektor pertanian merupakan sektor yang menyumbang 20% emisi gas rumah kaca global. FAO juga menyebutkan bahwa praktik pertanian yang tidak berkelanjutan telah menjadi penyebab utama degradasi lahan. Studi lain yang diterbitkan dalam jurnal Environmental Science & Technology memaparkan penggunaan pestisida dalam pertanian modern memiliki resiko terhadap kesehatan manusia, seperti kanker, gangguan saraf, hingga cacat lahir. Rentetan implikasi ini menimbulkan pertanyaan, apakah ada cara yang lebih berkelanjutan untuk memproduksi pangan?

Pertumbuhan populasi manusia diperkirakan akan mencapai 9,7 miliar pada tahun 2050. Pertumbuhan penduduk diprediksi akan sejalan dengan pertumbuhan pendapatan per kapitanya, dimana secara simultan akan meningkatkan permintaan pangan. Interval waktu tahun ini sampai pada tahun 2050 tidaklah lama, berkisar 25 tahun saja. Artinya, perlu aksi serius untuk memperbaiki paradigma dan praktik produksi pertanian. 

Dengan pertumbuhan populasi dan kekhawatiran yang meningkat tentang perubahan iklim, praktik pertanian berkelanjutan diyakini menjadi jawaban kunci. Namun, bagaimanakah itu?

Lebih dari Organik

Salah satu konsep pertanian yang mendapat banyak perhatian dalam beberapa tahun terakhir yaitu pertanian regeneratif. Pertanian regeneratif merupakan praktik pertanian yang mengedepankan keseimbangan di seluruh ekosistem. Prinsip pertanian regeneratif dipandang lebih holistik daripada praktik pertanian organik. 

Sebagai sebuah konsep, pertanian regeneratif menekankan prinsip “back to basic” atau kembali pada marwah sumber daya hayati. Beberapa contoh praktik pertanian regeneratif diantaranya pertanian tanpa olah tanah, peningkatan keanekaragaman tanaman, penerapan rotasi tanaman, pengomposan, dan pengelolaan hama terpadu secara alamiah. Jika dibandingkan dengan pertanian modern yang bergantung pada input agrokimia, maka pertanian regeneratif menawarkan opsi produksi dengan biaya minimal karena semua input dioptimalkan dari sumber daya hayati. 

Praktik pertanian regeneratif di berbagai belahan dunia terus berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Salah satunya, di Amerika Serikat, petani di Negara Bagian Illinois menerapkan praktik pertanian regeneratif di lebih dari 200.000 hektar lahan pertanian. Praktik ini telah menghasilkan rata-rata 79% peningkatan hasil panen seiring dengan peningkatan kesehatan tanah, peningkatan infiltrasi air, dan meminimalkan resiko erosi.

Selain itu berbagai perusahaan kenamaan global, seperti PepsiCo, Cargill, dan Walmart, belum lama ini mengumumkan rancangan adopsi praktik pertanian regeneratif di lahan pertanian yang mereka miliki.


Tantangan dan Peluang

Pertanian regeneratif merupakan konsep yang relatif baru di Indonesia. Hingga saat ini, petani kita lebih banyak menerapkan pertanian intensif dengan penggunaan agrokimia yang tinggi. Studi menunjukkan bahwa penggunaan rata-rata pupuk di Indonesia adalah sekitar 400 kilogram per hektar, jauh lebih tinggi dari ambang batas optimal 250 kilogram per hektar. Di sisi lain, petani tidak memiliki akses yang luas terhadap pupuk sintetis bersubsidi yang seringkali menempatkan mereka dalam situasi yang rumit. Dilematika ini belum termasuk keterbatasan akses petani terhadap modal dan pasar.

Ketergantungan petani terhadap input agrokimia, diperb dengan terbatasnya akses, menunjukkan adanya peluang untuk mengadopsi praktik pertanian regeneratif di Indonesia. Praktik pertanian regeneratif diyakini tidak hanya dapat membantu mengurangi beban keuangan petani tetapi juga meningkatkan produktivitas jangka panjang dan kelestarian ekosistem. Di sebagian besar negara, pertanian regeneratif telah menjadi opsi atraktif para pemangku kebijakan, industri pangan, juga petani. Apakah Indonesia siap mengembangkan pertanian regeneratif?

Petani adalah aktor utama sistem produksi pangan. Oleh sebab itu, langkah fundamental jika praktik pertanian regeneratif diadopsi tentu saja dengan melakukan transfer pengetahuan dan keahlian kepada petani. Praktik pertanian regeneratif bisa jadi tidak begitu sulit untuk petani karena pada dasarnya pertanian regeneratif menyangkut “back to basic” seperti yang telah diuraikan di awal. Hal yang mungkin jadi kerisauan bagi petani yaitu apakah pertanian regeneratif benar-benar dapat memberikan hasil produksi dan keuntungan finansial yang optimal. 

Disinilah kemitraan publik-swasta dapat memainkan peran kunci dalam pengembangan dan penerapan pertanian regeneratif. Bentuk kemitraan dapat berupa dukungan penelitian dan pengembangan pertanian regeneratif. Atau dalam bentuk skema kontrak antara petani dengan pihak swasta, dimana pihak swasta menyerap langsung hasil produksi, sehingga petani dapat menikmati kepastian pasar.***

Editor: Huminca Sinaga

Tags

Terkini

Orang Bijak Taat “Dibajak”

Meluruskan Niat Buka Bersama

Syahwat Pamer

Terpopuler