Homo Socius vs Homo Roboticus

14 Maret 2023, 22:38 WIB
 

 

Oleh: Ade Sudaryat

Penulis Lepas / Blogger


SUDAH sejak lama para filsuf dan para antropolog mengelompokkan manusia sebagai homo socius,  makhluk sosial. Hal ini bermakna, manusia merupakan makhluk yang senang berkumpul, berperasaan, memiliki ketergantungan kepada yang lain, dan senang berkomunikasi satu sama lainnya. Karena nilai kesosialannya ini, tidaklah mengherankan jika pada kehidupan manusia melekat perbuatan yang diawali dengan kata “saling”, saling membantu, saling menyayangi, saling mengasihi, dan lain sebagainya. Demikian pula ketika terjadi perselisihan dan gesekan dalam kehidupan lahir pula perbuatan “saling”, saling membenci, saling bermusuhan, dan saling mencari kesalahan satu sama lainnya.

Dalam ajaran Islam pun manusia itu tergolong makhluk sosial. Manusia tak bisa hidup berdiri sendiri. Ia harus dapat hidup berdampingan antara satu dengan yang lainnya, saling tolong menolong dalam kebaikan, dan saling mengingatkan agar tidak terjerumus kepada perbuatan nista dan tercela (Q. S. Al Maidah : 2).

Seiring dengan kemajuan teknologi, status homo socius sering tergerus dan tergeser. Pada satu sisi kehadiran teknologi yang semakin canggih memudahkan setiap orang dalam melakukan aktivitas, namun pada sisi lainnya terkadang berdampak negatif terhadap nilai-nilai sosial-spiritual dan kemanusiaan.

Tegur sapa antar tetangga, bahkan antar anggota keluarga yang dahulu harus dilakukan secara tatap muka penuh kehangatan, saling memperhatikan raut muka ketika berbicara, memperhatikan kesehatan fisik orang yang diajak bicara, kini cukup diwakili dengan teknologi komunikasi, smartphone misalnya. Benar, smartphone bisa dipakai melakukan silaturahmi via video call yang dapat saling melihat raut wajah. Namun, tetap saja nilainya jauh berbeda dengan saat bertemu langsung. Dalam hal melakukan pekerjaan pun demikian. Suatu pekerjaan yang dahulu harus dilakukan banyak orang, misalnya mengolah sawah atau kebun, kini cukup diwakili mesin traktor dan seorang operator. Benar pekerjaan bisa cepat selesai, tetapi nilai-nilai sosial kehidupan menjadi hilang.

Kehadiran smartphone dan berbagai mesin yang mengganti tenaga manusia secara tidak langsung telah mengantarkan kehidupan kita memasuki dunia robot. Kita menjadi tergantung kepada kehadiran berbagai kemudahan yang ditawarkan teknologi baik dalam berkomunikasi maupun menyelesaikan suatu pekerjaan.  Ketergantungan terhadap teknologi inilah yang lambat laun menggeser karakter kehidupan manusia dari homo socius menjadi homo roboticus, makhluk yang tergantung kepada kehidupan serba robot, serba cepat, dan serba mudah. Demikian pula halnya dengan kemajuan dunia digital dan kecerdasasan buatan (artificial intelligence/AI).

Kehidupan kita pada saat ini mau tidak mau dipaksa masuk ke dunia digital yang serba “cerdas” dan serba online. Lagi-lagi nilai-nilai sosial mulai tergeser. Tegur sapa antar manusia tergantikan seonggok mesin komputer yang dapat menjawab otomatis setiap sapaan atau pertanyaan orang yang tengah menggunakan suatu aplikasi digital baik melalui smartphone maupun program komputer. Kita tak mungkin kembali lagi ke zaman dahulu sebelum era robot dan era digital. Jika pun kita dapat melakukannya, kita akan benar-benar kuno dan ketinggalan langkah. Hal ini berarti segala aktivitas kehidupan kita akan ketinggalan dan terkalahkan langkah-langkah manusia modern.

 

Kearifan

Satu hal yang dapat kita lakukan adalah memanfaatkan perangkat teknologi yang serba robot dan pintar seperti sekarang ini seraya menjauhi segala dampak negatifnya. Dalam bahasa ushul fiqih (filsafat hukum Islam) disebutkan, kita selayaknya mengambil sesuatu yang baru untuk meraih kehidupan yang lebih maslahat seraya tidak meninggalkan nilai-nilai baik dari tatanan kehidupan yang sudah ada sebelumnya. Kata kunci yang harus kita pegang pada kehidupan seperti sekarang ini adalah kemaslahatan dan  tidak meninggalkan kearifan yang sudah ada sebelumnya. Dengan kata lain, kehadiran robot dan kecerdasan era digital pada saat ini jangan sampai mengotori dan mengorbankan nilai-nilai sosial-spiritual kehidupan, sebaliknya harus menjadi sarana memperbaiki kualitas kehidupan sosial-spiritual dan kemanusiaan.

Bukan rahasia lagi sejak kehadiran beragam teknologi kecerdasan buatan, banyak orang yang terlena dalam menggunakannya dan secara tidak sadar telah merubah dirinya menjadi manusia robot, homo roboticus. Manusia yang hanya mengandalkan kepintaran, kecepatan, seraya sering menggeser perasaan kemanusiaan. Para pembaca boleh tidak setuju dengan pendapat yang penulis kemukakan ini, namun ini suatu kenyataan yang kita hadapi pada saat ini, misalnya dalam dunia media sosial. Bukankah ketika seseorang berkomentar atau mengemukakan suatu pendapat sering mengenyampingkan perasaan diri sendiri, orang lain, serta akibat dari pernyataan yang ia kemukakan?  

Kita tak jauh berbeda dengan robot yang hanya bisa mengerjakan program komputer yang ada di tubuhnya, tapi sang robot nihil dari perasaan dan bayangan akibat hukum, sosial, dan spiritual yang akan terjadi dari perbuatannya. Pada saat ini, orang baru sadar akan kekeliruannya tatkala pernyataan, komentar, atau perkataannya membuat gaduh kehidupan. 

Kita harus mewaspadai jangan sampai kemajuan teknologi yang serba robot dan  serba pintar ini merubah homo socius menjadi homo roboticus dan homo digitalis. Manusia canggih, pintar, serba cepat dalam melaksanakan suatu pekerjaan, tetapi jiwanya hampa dari perasaan dan nilai-nilai sebagai manusia, makhluk termulia di bumi ini. ***

 

Editor: Huminca Sinaga

Sumber: Pikiran Rakyat

Tags

Terkini

Orang Bijak Taat “Dibajak”

Meluruskan Niat Buka Bersama

Syahwat Pamer

Terpopuler