Memikirkan Ulang yang Kita Makan

- 16 Februari 2023, 09:55 WIB

 

SISTEM makanan global yang memungkinkan kita untuk membeli apapun makanan yang kita mau, kapanpun dan dimanapun kita berada. Perilaku tersebut seringkali berdampak buruk bagi lingkungan. Dapatkah kita untuk mengubah perilaku tersebut?

 

Beragam makanan yang kita konsumsi memiliki cerita tersendiri untuk sampai di tangan kita/Freepik
Beragam makanan yang kita konsumsi memiliki cerita tersendiri untuk sampai di tangan kita/Freepik Freepik

Buah pir dari Argentina, buah bluberi dari Peru dan kacang mede dari California merupakan beberapa contoh dari ribuan produk makanan yang dapat dibeli ketika berada di pasar swalayan.

Satu abad ke belakang, sepertinya para leluhur kita tidak pernah memikirkan tentang keanekaragaman makanan yang melimpah dan sekarang kita bisa memilih makanan apapun yang kita suka.

Satu pasar swalayan di Jerman menyediakan lebih dari 10.000 produk. Di Amerika Serikat, pasar swalayan rata-rata menjual lebih dari 30.000 produk menurut Asosiasi Industri Makanan Amerika. Konsumen atau pembeli mungkin akan sedikit kebingungan saat memilih produk atau makanan jenis apa yang akan mereka beli. Namun, apakah kalian tahu bahwa pembelian produk makanan tersebut memiliki dampak bagi lingkungan?

Menurut European Commission, konsumsi makanan adalah penyebab utama dari beberapa kerusakan lingkungan yang ada saat ini.

Masalah yang timbul akibat konsumsi berlebihan

Produksi makanan menghasilkan satu perempat dari emisi gas rumah kaca dunia. Kebanyakan dihasilkan dari daging sapi dan susu. Produksi daging sapi dan susu ini menyumbang hampir 15% dari emisi gas rumah kaca yang ada di seluruh dunia. Memproduksi makanan juga mengakibatkan masalah lain seperti polusi, hilangnya keanekaragaman hayati, kontaminasi tanah dan kelangkaan air.

Dilansir laman www.dw.com, konsumsi makanan di seluruh dunia meningkat selama beberapa dekade. Negara-negara berpenghasilan tinggi seperti Amerika Serikat dan Jerman menjadi negara yang paling banyak mengonsumsi makanan. Pada saat yang bersamaan, PBB memperkirakan rumah tangga di seluruh dunia membuang sebanyak 11% dari jumlah makanan yang tersedia (meskipun survei ini tidak mencakup negara-negara berpenghasilan rendah). Jadi, mengapa kita membeli makanan lebih banyak dari yang kita bisa konsumsi?

Menurut Chrzan, manusia, khususnya spesies kita saat ini secara tidak sadar memiliki ketakutan akan kelaparan. Rasa takut akan kelaparan ini berawal dari masa sulit untuk mendapatkan makanan berabad-abad lalu.

“Kita punya keinginan lahiriah atau keinginan bawaan sebagai manusia, sebagai makhluk hidup, untuk memastikan kita punya cukup makanan untuk kita dan untuk anak-anak kita,” ujar Chrzan.

“Jika Anda berpikir lingkungan Anda akan terancam, Anda khawatir tidak akan mendapatkan makanan atau Anda kehabisan makanan, maka Anda akan memiliki kecenderungan untuk menimbun makanan yang anda telah dapat.”

Bagaimana cara untuk memilih makanan?

Selain adanya fakta bahwa manusia butuh makanan untuk bertahan hidup, ada beberapa faktor lain yang memengaruhi manusia untuk memilih atau membeli makanan apa yang ada di pasar swalayan.

Seorang sosiolog makanan Bernama Stefan Wahlen dari University of Giessen di Jerman mengatakan meskipun ada masalah kecil, 95% orang akan cenderung memilih makanan yang sama.

“Anda makan setiap hari, walaupun Anda mungkin ingin mencoba makanan yang baru, supaya ada sedikit variasi dari apa yang biasanya kita makan,” katanya. Dia juga menambahkan rutinitas tersebut membantu kita untuk bisa mendapatkan makanan yang beragam sehari-hari.

Saat pembeli melihat begitu banyak pilihan makanan di pasar swalayan, konsumen atau pembeli akan memilih makanan dengan cepat sesuai dengan kebiasaan mereka. Kebiasaan konsumen sangat sulit untuk diubah karena pilihan makanan dan pola makan sangat melekat dalam hidup mereka.

Tetapi, ahli iklim mengatakan perubahan pola makan seperti melakukan diet adalah hal yang harus segera dilakukan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca yang ada. Jika kita sadar, kita akan lebih sedikit memakan daging sapi dan mulai makan makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan agar lebih ramah lingkungan.

Mungkinkah perubahan sikap terjadi?

Menurut Chrzan, harus ada usaha yang lebih keras untuk “mengedukasi orang-orang agar mulai memilih makanan yang lebih ramah lingkungan dan menjelaskan dampaknya bagi kehidupan di bumi ini.

Mungkin sulit bagi konsumen untuk mengetahui makanan mana yang berkelanjutan secara ekologis, mengingat sebagian besar produk tidak menampilkan ciri dari makanan yang berkelanjutan seperti berapa banyak lahan dan air yang digunakan untuk memproduksi makanan tersebut. Chrzan mengatakan bahwa informasi tersebut harus ada di bungkus makanan agar masyarakat bisa tahu makanan tersebut termasuk makanan yang berkelanjutan atau tidak.

Langkah lain yang bisa dilakukan adalah memberlakukan pajak dan subsidi agar harga makanan yang berkelanjutan menjadi jauh lebih terjangkau. Cara yang lain untuk membuat konsumen tertarik adalah mengubah atau memodifikasi sedikit bungkus makanan yang digunakan seperti dihias semenarik dan seunik mungkin agar pembeli tergiur untuk membeli dan memakan produk tersebut.

Chrzan menjelaskan masyarakat juga bisa mengadopsi pola makan yang lebih sehat dengan melakukan “penilaian kritis” terhadap makanan yang akan dibeli. Contohnya mereka memilih makanan berdasarkan nilai gizi yang ada dalam makanan tersebut agar tubuh mereka menjadi lebih sehat dan lingkungan pun bisa membaik. (FFB, Huminca/"PR")***

 

 

 

Editor: Huminca Sinaga

Sumber: DW.com


Tags

Terkini

x