Waspadai Obesitas pada Anak, Buat Prioritas Gizi dalam Keluarga

- 14 Maret 2023, 09:38 WIB
Ilustrasi anak-anak sedang sarapan.
Ilustrasi anak-anak sedang sarapan. /Freepik

KORAN PR - Anak balita dengan postur yang gemuk dan berpipi tembam sering dianggap menggemaskan. Nyatanya, berat badan yang berlebihan pada anak berbahaya bagi kesehatannya.

Perubahan gaya hidup yang serba cepat dan pola konsumsi tinggi gula dan makanan cepat saji menjadi salah satu faktor penyebab anak kegemukan. Padahal, sejumlah penyakit kronis mengintai di balik berat badan berlebih, salah satunya diabetes.

Pada penelitian yang dilakukan Ikatan Dokter Anak Indonesia di Bali terhadap anak berusia 12-14 tahun, ditemukan setidaknya 3 persen anak dari 431 subyek mengalami diabetes melitus tipe 2 (DM tipe dua). Dari jumlah itu, sebanyak 76,9 persen mengalami obesitas.

Dokter spesialis gizi klinik, Diana F Suganda M.Kes, menyebutkan, makanan yang direkomendasikan untuk segala usia, terutama dalam hal ini anak-anak, tentu saja makanan dengan gizi seimbang.

“Prinsipnya makan dengan kebutuhan kalori sesuai kelompok usia. Orangtua harus paham hal ini untuk menghindari asupan kalori berlebih pada anak sehingga terhindar dari risiko obesitas,” kata dokter gizi dari RSPI Bintaro Jaya ini dalam keterangan pers, Selasa, 14 Maret 2023.

Diana kemudian mencontohkan kasus balita obesitas di Bekasi bernama Muhammad Kenzie Alfaro. Sebagaimana diketahui, balita tersebut memiliki berat badan mencapai kisaran 27 kilogram pada umurnya yang baru 16 bulan.

Berkaca pada kasus tersebut, Diana mengatakan, tidak faktor tunggal yang menyebabkan obesitas. Namun salah satu satu penyebab obesitas bisa berasal dari asupan makanan.

“Mungkin saat si bayi sudah mulai makan, asupannya berlebih, sudah dibiasakan dengan makanan dan minuman manis. Mungkin terbiasa teh manis, bukannya air putih atau dikenalkan dengan yang tinggi kalori, serba instan. Kalau setiap hari ya kalorinya pasti berlebih,” ujarnya.

Namun Diana menegaskan, obesitas pada dasarnya terjadi karena multi-faktor, baik karena ada kelainan genetik dan juga ketidakseimbangan antara asupan dengan yang dikeluarkan, sehingga makin lama berat badannya akan naik.

Pola makan yang baik bisa dimulai sejak bayi, dimulai dengan pemberian ASI eksklusif pada 6 bulan pertama. “Pada usia 6-12 bulan belum dianjurkan untuk menambahkan gula. Terkait dengan kental manis, untuk anak di atas 2 tahun baru boleh sebagai tambahan di makanan atau minuman,” katanya.

Literasi kesehatan masih rendah

Peneliti dari Indonesian Health Economist Indonesia (InaHea), Mutia A Sayekti MHEcon menyebutkan, rendahnya literasi kesehatan adalah akar permasalahan dari munculnya banyak kasus malnutrisi.

Masyarakat yang lebih percaya mitos, rendahnya literasi gizi, ditambah adanya kekeliruan tentang makanan yang menjadi prioritas, menurutnya, bisa menjadi penyebab terjadinya obesitas pada anak.

“Ketidakpahaman ini kemudian dilakukan secara terus menerus tanpa konsultasi, tanpa mencari tahu, lalu ditambah dengan mungkin kondisi ekonomi yang kurang mendukung sehingga jangka panjangnya memunculkan obesitas pada anak,” kata peneliti dari Indonesian Health Economist Indonesia (InaHea) ini.

Apalagi tak bisa dipungkiri masih ada persepsi bahwa makanan sehat itu mahal. Mutia menegaskan persepsi ini keliru. Ia lantas mencontohkan untuk level individu dengan uang Rp 20.000 sudah bisa mendapatkan makanan dengan komposisi gizi seimbang.

“Sudah bisa untuk membeli telur, sayuran hijau, nasi, tempe atau tahu, satu sachet susu, dan tentu ditambah asupan air putih. Artinya memang kalau sudah paham, lagi-lagi literasi, maka tidak ada lagi statement makanan sehat itu mahal,” tuturnya.


Biasakan baca label kemasan

Sementara itu dr Diana memberikan beberapa tips praktis literasi gizi yang harus dimiliki dalam keluarga sudah harus dipersiapkan sejak jauh hari, bahkan sebelum perencanaan kehamilan.

“Pastikan orang tua atau calon orang tua memiliki ilmu gizi yang cukup. Ilmu ini bisa didapat dari banyak cara. Bisa bertanya pada ahlinya,mencari informasi di internet bagaimana cara mempersiapkan dan menjalani kehamilan yang sehat, bagaimana nutrisi ibu hamil yang tepat,” ujarnya.

Kemudian setelah anak lahir dan masuk fase MPASI, pastikan orangtua memahami bahwa anak butuh makan dalam bentuk gizi seimbang.

“Makan sesuai kebutuhan bukan keinginan si anak atau keinginan orangtua. Terapkan pemahaman gizi yang kita miliki dalam bentuk mengatur asupan gizi anak sehari-hari,” ujarnya.

Untuk membatasi asupan gula dan garam, biasakan baca label kemasannya untuk mengetahui jumlah kalori yang tersedia.

“Pastikan juga kadar gulanya, misalnya per satu kali penyajian, 10 gram gula. Kalau dihabiskan satu botol ada dua kali saji, berarti 20 gram gulanya. Sedangkan kebutuhan gula pada anak-anak saja 30 gram perhari. Bedakan dengan orang dewasa yang kebutuhan gulanya 50 gram perhari,” katanya.

Demikian juga dengan garam. Misalnya dalam mie instan ada 1.500 mg garam, padahal kebutuhan garam atau natrium cuma 2.000 mg per hari.

Pendekatan lain yang bisa dilakukan untuk meningkatkan literasi nutrisi masyarakat khususnya di level keluarga, menurut Mutia, bisa dimulai dengan melengkapi Sertifikat Elektronik Siap Nikah (Elsimil) dengan memasukkan informasi spesifik tentang memilih bahan makanan, daftar bahan makanan penukar, kemampuan membaca label makanan yang merupakan pengetahuan standar terkait nutrisi.

“Tentunya informasi dan pengetahuan ini harus terus diberikan kepada masyarakat melalui beragam pertemuan, baik formal maupun informal agar terbentuk konsistensi informasi di benak setiap individu. Yang pada akhirnya semoga bisa memberikan perubahan di level masyarakat dalam menjalani pola hidup sehat dan memiliki literasi gizi yang baik,” kata Mutia. ***

Editor: Kismi Dwi Astuti


Tags

Terkini

x