Penanganan Epilepsi Lewat Bedah Saraf

25 Maret 2023, 09:18 WIB
Epilepsi merupakan kumpulan gejala bangkitan atau kejang berulang, yang dipengaruhi sistem saraf pusat. /Santosa
 

MENGINGAT penyakit epilepsi, memori kita mungkin akan berkelana ke Iklan Layanan Masyarakat (ILM) di dekade 1990-an yang menampilkan latar belakang permainan sepak bola diikuti oleh anak penderita epilepsi bersama kawannya, didampingi seorang ibu. Paradigma iklan tersebut berupa “epilepsi bukan penyakit menular, bukan penyakit keturunan; dengan pengobatan yang teratur dapat hidup normal”, rupanya membuat penyandang epilepsi sempat dikucilkan. Bagaimana dengan epilepsi di masa kini?

 

Epilepsi merupakan kumpulan gejala bangkitan atau kejang berulang, yang dipengaruhi sistem saraf pusat. Kejang epilepsi disebabkan karena perubahan renjatan (kejutan) kelistrikan yang tidak normal pada dinding sel-sel saraf.

 

Dokter Spesialis Bedah Saraf dari Santosa Hospital Bandung Kopo (RS Santosa Kopo Bandung) Arief Setia Handoko mengatakan, penyebab timbulnya kejang epilepsi terutama adalah perubahan renjatan  kelistrikan yang tidak normal pada dinding sel-sel saraf, terutama sel-sel saraf di permukaan otak (kortikal). Beberapa penyebab kelainan yang memberikan gejala kejang epilepsi antara lain cedera otak traumatika, infeksi atau peradangan otak (selaput otak), tumor, perdarahan spontan (stroke), hidrosefalus, serta kelainan otak primer lainnya. 

 

Gejala yang ditunjukkan penderita epilepsi adalah bentuk kejang yang dibagi menjadi kejang generalisata (lebih sering dikatakan sebagai “kelojotan” semua sisi tubuh), kejang parsial (tampak hanya bagian-bagian tubuh tertentu), dan kejang bentuk lainnya. 

 

Kejang tersebut dapat terpicu pada kondisi-kondisi seperti hipoksia (kurangnya asupan oksigen ke otak), hipoglikemia (kurangnya kadar glukosa dalam darah), stres berlebihan, dehidrasi dengan ketidakseimbangan kadar elektrolit tubuh, dan perubahan suhu tubuh yang drastis.

 

 

“Sebagian besar kejang epilepsi tidak diketahui pemicunya. Namun, terdapat beberapa kondisi pada penderita epilepsi merasakan atau mengalami keluhan somatik beberapa jam sebelum serangan, seperti nyeri kepala berdenyut yang memberat, kilat-kilat cahaya pada penglihatan, mual disertai nyeri perut di daerah sekitar pusar yang meluas, atau keluhan-keluhan sensoris seperti sensasi rasa baal, rasa panas, atau ditusuk-tusuk pada satu sisi tubuh. Hal-hal tersebut bisa disebut sebagai aura,” kata Arief, Jumat (24/3/2023). 

 

Bedah saraf

Pada penderita epilepsi yang sudah terdiagnosis, dilanjutkan Arief, akan memperoleh pengobatan baik berupa medikamentosa atau pilihan tindakan pembedahan. Penderita epilepsi yang memperoleh pengobatan medikamentosa dianjurkan mengkonsumsi teratur obat-obatan antiepilepsi sesuai anjuran dokter, untuk mencegah kejang berlanjut. 

 

Pemilihan terapi pembedahan pada kasus kejang epilepsi disesuaikan dengan penyebab kejang, tipe kejang, dan riwayat penyakit lainnya atau pengobatan epilepsi sebelumnya. Pertimbangan tindakan pembedahan yang dianjurkan untuk dipilih adalah bila dengan pengobatan medikamentosa gagal mengatasi kejang. 

 

 

Penderita kejang epilepsi yang memiliki gangguan metabolik berat atau kelainan jantung-paru dan organ lain yang bersifat menambah risiko tindakan pembedahan, tidak boleh dilakukan tindakan pembedahan. 

 

 

Minimal invasif

Saat ini, tindakan pembedahan minimal invasif masih sedang dalam tahap pengembangan. Beberapa kandidat tindakan pembedahan diseleksi dengan sangat detail untuk pemetaan lesi pada kortikal otak letak fokus kejangnya.

 

Pada tindakan ini, pembedahan dapat dilakukan dengan bantuan endoskopi, sehingga luka operasi lebih kecil dan terarah pada lesi kortikal-otak yang dituju. Pilihan lain tindakan adalah radiosurgery dengan menggunakan sinar gamma. Keuntungannya, tidak ada luka sayatan. Akan tetapi, persiapan seleksi pasien dan persiapan tindakan lebih lama. Selain itu, biayanya disebutkan Arief masih sangat mahal.

 

Setelah dilakukan tindakan, angka kesembuhan pasien epilepsi akan bervariasi. Hal itu tergantung dari penyebab epilepsi, riwayat pengobatannya, serta keterlibatan kelainan lain secara organik atau nonorganik. (Endah Asih/“PR”)***

Editor: Huminca Sinaga

Tags

Terkini

Terpopuler