Anak Perempuan dengan ADHD Sering Terlambat Didiagnosa

17 Maret 2023, 16:40 WIB
Anak Perempuan dengan ADHD Sering Terlambat Didiagnosa. /Verywell

LEBIH banyak anak laki-laki didiagnosa dengan ADHD daripada anak perempuan. Namun, lebih banyak anak perempuan yang memiliki kondisi ini daripada yang kita kira – dan perjuangan mereka untuk menerima diagnosis dapat mempengaruhi seluruh hidup mereka.

 

Pikiran Emily Johnson-Ferguson telah berpacu dengan hal yang dia ingat. Gangguan makan yang mulai dideritanya sejak remaja membuat kinerja otaknya menjadi lambat. Dokter mencoba menduga bahwa itu semua diakibatkan oleh masalah keluarga dan stres, tetapi Johnson-Ferguson tahu bukan itu penyebabnya. 

Pada tahun 2021, di usia 42 tahun, dia akhirnya menemukan akar masalahnya: ADHD.

 

Johnson-Ferguson tidak sendirian. Meskipun stereotip banyak orang tentang ADHD adalah anak laki-laki yang melompat-lompat di sekitar kelas, tetapi itu bukan gambaran keseluruhannya. Anak perempuan juga dapat menderita ADHD – dan banyak yang tidak terdiagnosa.

 

ADHD adalah gangguan perkembangan saraf yang ada dalam tiga jenis: tanpa hiperaktivitas, hiperaktif/impulsif, atau kombinasi keduanya. Orang dengan kurangnya perhatian mungkin melupakan banyak hal, berjuang untuk mengatur diri sendiri, dan mudah terganggu. Mereka yang hiperaktif dan impulsif mungkin kesulitan untuk tetap duduk diam, terus-menerus gelisah, dan menyela percakapan.

 

Seperti dilansir laman BBC, kondisi ini biasanya pertama kali didiagnosa pada masa kanak-kanak, tetapi kebanyakan orang tidak sembuh dari penyakit tersebut. Bagi mereka yang gejalanya diabaikan sebagai anak-anak, hidup dengan ADHD yang tidak terdiagnosis saat mereka beranjak dewasa akan menyebabkan masalah.

 

“Ketika saya dibiarkan sendiri saat kuliah, saya tidak bisa berkonsentrasi sama sekali,” kata Johnson-Ferguson. Dia beralih pada kursus, tetapi itu tidak membantu. 

Ketika pernikahannya gagal, dia mulai mengalami kehidupan yang lebih sulit. Di titik terendahnya, dia menghabiskan waktunya sampai berhari-hari di tempat tidur. “Saat itu saya tidak bisa fokus pada hal apapun,” katanya.

 

Kurangnya perhatian

 

Ada perbedaan nyata antara jumlah kasus penyakit ADHD pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Dalam satu penelitian terhadap 2.332 saudara kembar dan saudara kandung, Anne Arnett, seorang psikolog klinis anak di University of Washington, menemukan bahwa perbedaan jenis kelamin dalam diagnosa dapat dijelaskan oleh perbedaan tingkat keparahan gejala: anak laki-laki cenderung memiliki gejala yang lebih ekstrim, dan penyebaran gejala yang lebih luas dibandingkan anak perempuan.

 

Arnet menemukan bahwa hal ini adalah tentang perbedaan neurobiologis yang sebenarnya. Belum jelas mengapa hal ini terjadi, tetapi kemungkinan anak perempuan memiliki efek perlindungan pada tingkat genetik, katanya.

 

Akan tetapi, ukuran sebenarnya dari perbedaan tersebut tidak jelas.

 

Pada diagnosis sebenarnya, anak laki-laki jauh lebih banyak daripada anak perempuan. Namun, dalam riset yang meneliti siapa yang lebih memenuhi kriteria ADHD dalam populasi secara keseluruhan, rasionya masih pada anak laki-laki, tetapi kurang dari itu. Bergantung pada penelitian mana yang Anda lihat, rasio anak laki-laki dan perempuan dengan ADHD bisa berkisar antara 2:1 dan 10:1.

 

Florence Mowlem, konsultan kesehatan di Aquarius Population Health mengatakan bahwa sepertinya hal itu bisa menunjukkan sebenarnya ada lebih banyak perempuan yang terkena ADHD. Namun,  mereka tampaknya tidak mendapatkan diagnosa klinis sesering laki-laki.

 

Penelitian menunjukkan bahwa anak perempuan memiliki gejala yang lebih parah, dan lebih terlihat daripada anak laki-laki, sebelum ADHD mereka diketahui. Dalam satu penelitian terhadap 283 anak berusia antara 7 dan 12 tahun, Mowlem dan rekan melihat hal yang membedakan anak laki-laki dan perempuan yang memenuhi kriteria diagnostik untuk ADHD dari mereka yang memiliki banyak gejala ADHD, tetapi tidak cukup untuk didiagnosis.

 

Mowlem menemukan bahwa orangtua tampaknya menyepelekan gejala hiperaktif dan impulsif pada anak perempuan, sementara terlalu melebih-lebihkan gejala pada anak laki-laki. Mereka juga menemukan bahwa anak perempuan yang memenuhi kriteria cenderung memiliki lebih banyak masalah emosional atau perilaku daripada anak perempuan yang tidak memiliki ADHD. Ini tidak terjadi pada anak laki-laki.

 

Dalam penelitian serupa terhadap 19.804 anak kembar Swedia yang diterbitkan tahun lalu, Mowlem dan rekan-rekannya menemukan bahwa anak perempuan, bukan anak laki-laki, lebih mungkin didiagnosa menderita hiperaktif, impulsif, dan masalah perilaku.

 

Anak perempuan juga bisa lebih baik dalam mengatasi gejala ADHD mereka daripada anak laki-laki, mirip dengan bagaimana anak perempuan dengan autisme menyembunyikan gejala mereka.

 

Menurut Helen Read, konsultan psikiater dan pemimpin ADHD untuk NHS Trust London, anak perempuan jauh lebih kecil kemungkinannya untuk melompat-lompat di sekitar kelas, berkelahi dengan guru dan teman mereka. Seorang anak perempuan yang melakukan itu akan dikritik oleh teman sebaya dan orang lain sehingga jauh lebih sulit bagi anak perempuan untuk berperilaku seperti itu.

 

 

Kesamaan gejala

 

Jika anak perempuan sering terlambat didiagnosa mengidap ADHD karena mereka memiliki gejala stereotip yang lebih sedikit, mereka mungkin bukan satu-satunya: anak laki-laki dengan ADHD tanpa hiperaktivitas mungkin juga diabaikan.

 

Suatu kepercayaan umum bahwa anak perempuan lebih cenderung tanpa hiperaktivitas daripada anak laki-laki. Tapi, itu hanya mitos, kata Elizabeth Owens, asisten profesor klinis di departemen psikologi di University of California, Berkeley. Dia mengatakan, bukti terbaik saat ini menunjukkan bahwa tingkat kurangnya perhatian untuk anak laki-laki dan perempuan  adalah sama.

 

Jenis gejala ADHD tanpa hiperaktivitas sebenarnya lebih umum, tetapi cenderung kurang diketahui atau kurang terdiagnosa, karena anak-anak biasanya tidak menyebabkan masalah di kelas, tambahnya.

 

Faktanya, anak perempuan dan anak laki-laki dengan ADHD jauh lebih mirip, kata Owens. Ini menggarisbawahi fakta bahwa ADHD dan anak perempuan itu mengkhawatirkan. Untuk waktu yang sangat lama, itu diabaikan.

 

Namun, satu perbedaannya adalah bahwa anak perempuan dengan ADHD gabungan – yang memiliki gejala tanpa hiperaktivitas dan hiperaktif – memiliki risiko lebih tinggi untuk melakukan tindakan menyakiti diri sendiri saat mereka memasuki usia dewasa. Anak perempuan dengan ADHD juga lebih mungkin untuk terjadinya kecemasan dan depresi di kemudian hari.

 

Sebagai bagian dari penelitian yang dimulai pada tahun 90-an, Owens dan rekan-rekannya mengikuti 228 anak perempuan, 140 diantaranya menderita ADHD, selama dua puluh tahun. Pada tindak lanjut kedua dan ketiga, ketika mereka rata-rata berusia 19 dan 25 tahun, peneliti menemukan bahwa anak perempuan yang telah didiagnosa dengan ADHD gabungan di masa kanak-kanak berisiko lebih tinggi melukai diri sendiri dan mencoba bunuh diri.

 

Secara teori, mengenali dan mengobati ADHD sejak dini akan membantu mengurangi risiko tersebut – meskipun Owens mengatakan bahwa, belum ada bukti yang menunjukkan bahwa ini berhasil. “ADHD adalah kondisi kronis,” katanya. Menurut Owens, itu bukan sesuatu yang bisa diobati lalu hilang begitu saja. (FHP, Huminca/"PR")***

 

 

Editor: Huminca Sinaga

Tags

Terkini

Terpopuler