Menakar Pentingnya Pembuktian Terbalik

- 14 Maret 2023, 18:54 WIB
Aktivis Aliansi Elemen Sipil berunjuk rasa di depan Kantor Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Jumat (3/3/2023).*
Aktivis Aliansi Elemen Sipil berunjuk rasa di depan Kantor Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Jumat (3/3/2023).* /ANTARA/

Secara ringkas, pembuktian terbalik bermakna bila jaksa penuntut umum tidak melakukan upaya pembuktian ada atau tidaknya tindakan pidana. Meskipun demikian, upaya pembuktian tersebut dipindahkan ke terdakwa. Dengan kata lain, terdakwa melakukan upaya pembuktian di persidangan bahwa dirinya tidak bersalah.

Akil Mochtar, dalam bukunya Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi (2009), menyinggung bahwa istilah “pembuktian terbalik” kurang tepat. Akan tetapi, istilah yang tepat adalah “pembalikan beban pembuktian”.

Meski dorongan UU Pembuktian Terbalik mencuat, tidak semuanya sepakat mengenai hal tersebut. Pasalnya, persoalan pembuktian terbalik sudah ada produk hukumnya meski dalam bentuk pasal yang menginduk ke UU, seperti UU Tipikor. Jadi, bukan menjadi UU tersendiri.

Sebenarnya, hal yang lebih esensial adalah kinerja penegak hukum itu sendiri dalam membasmi korupsi. Namun, persoalannya lagi, pandangan ketidakpercayaan atas kinerja penegak hukum terkait kasus korupsi, seperti KPK, kejaksaan, dan kepolisian, masih meliputi sebagian besar masyarakat saat ini. Ketidakpercayaan yang tentunya bukan tanpa dasar, terutama bila melihat peristiwa-peristiwa tidak sedap yang menimpa ketiga institusi itu, akhir-akhir ini.

Keberanian

Mengenai urgensi penerbitan UU Pembuktian Terbalik, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan, pada dasarnya, pembuktian terbalik itu membalikkan beban pembuktian kepada terdakwa. “Bahwa harta yang disita dalam status sitaan perkara pidana itu bukan berasal dari kejahatan,” tuturnya.

Menurut dia, sistem ini sudah dianut oleh UU Tindak Pidana Korupsi. Dalam UU Tipikor, metode pembuktian terbalik tercantum dalam Pasal 37. Dalam pasal tersebut, terdapat empat ayat yang mengatur tentang metode pembuktian terbalik.

Abdul Fickar mengatakan, pada dasarnya, untuk mengungkap kasus korupsi, utamanya yang berangkat dari kekayaan tidak wajar para pejabat negara, yang diperlukan adalah keberanian KPK untuk menelusuri LHKPN. Persoalannya, menurut dia, KPK saat ini masih lebih banyak tergantung kepada temuan kasus, bukan berdasar dari LHKPN. “Padahal, dengan dasar LHKPN, seharusnya sudah bisa dituntut tipikor,” katanya.

Abdul Fickar mengatakan, KPK perlu bertindak lebih aktif lagi mengungkap kasus korupsi. Utamanya dengan berangkat dari LHKPN. “KPK harus lebih progresif lagi memanfaatkan LHKPN untuk pemberantasan korupsi,” ujarnya.

Meskipun demikian, pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas Feri Amsari memiliki pandangan skeptis mengenai kinerja KPK akhir-akhir ini. Ia menilai, KPK saat ini sudah dirasuki oleh kepentingan politis. Penggunaan metode pembuktian terbalik oleh institusi tersebut dipandangnya riskan untuk dimanfaatkan sebagai alat kepentingan segelintir pihak tak bertanggung jawab.

Padahal, jika metode pembuktian terbalik diterapkan menjadi UU tersendiri, ia memandangnya penting juga dalam memberantas korupsi. “Tapi, jika aparat seperti KPK rusak seperti saat ini, aturan pembuktian terbalik hanya akan digunakan untuk kepentingan politik dan aparat hukum yang sesat. Akhirnya menjadi alat korupsi baru pula,” tuturnya.

Halaman:

Editor: Hazmirullah


Tags

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x