KORAN PR - Ketimpangan sosial ekonomi di Indonesia semakin tegas tatkala sejumlah kasus rekening gendut para pejabat negara terkuak. Masyarakat menengah ke bawah mengalami kesulitan ekonomi akibat sejumlah hal, seperti gelombang pemutusan hubungan kerja yang melanda perusahaan rintisan, ketidakpastian hubungan kerja yang juga dipengaruhi keinginan pemerintah menarik kapital sebanyak-banyaknya dengan menerapkan UU Cipta Kerja, sampai persoalan harga kebutuhan pokok yang fluktuatif. Ironisnya, di sisi lain, terdapat segelintir birokrat yang mengalami kelebihan pendapatan secara tidak wajar.
Seakan tak pernah habis, kasus demi kasus menyangkut rekening gendut pejabat bermunculan di negeri ini. Dalam sejarah Orde Baru, misalnya, kasus rekening gendut pejabat yang cukup besar muncul dari Pertamina ketika dipimpin oleh Ibnu Sutowo pada era 1970-an. Richard Robinson, dalam bukunya yang berjudul Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Negara (2012), mencatat bahwa sejumlah pejabat Pertamina pada era 1970-an dapat membangun bisnis pribadi mereka masing-masing. Bersamaan dengan itu, mereka memperkaya diri beserta lingkaran keluarganya berkat kelimpahan dana di perusahaan minyak milik negara, kala itu.
Kritik terhadap perilaku koruptif di Pertamina berlangsung marak pada masa itu. Presiden Soeharto sampai turun langsung dengan membentuk Komisi 4 pada tahun 1974 untuk “menertibkan” berbagai ketidakwajaran di Pertamina. Direktur Utama Pertamina Ibnu Sutowo dipecat sebagai imbas dari penyelidikan internal tersrebut. Meski demikian, tidak pernah ada seorang pun pejabat Pertamina yang dituduh korupsi kala itu mendapatkan penindakan hukum.
Contoh kasus rekening gendut pejabat negara lainnya adalah seperti yang menimpa pegawai Ditjen Pajak Gayus Halomoan Partahanan Tambunan pada dekade 2010. Sebagai pegawai pajak golongan IIIA yang berusia 31 tahun, harta kekayaan Gayus kala itu mencapai kisaran Rp 74 miliar. Kekayaan yang mencapai puluhan miliar itu dinilai tidak wajar. Apalagi, Gayus saat itu belum genap 10 tahun bekerja di Ditjen Pajak.
Akhir-akhir ini, kasus rekening pejabat negara yang tidak wajar juga mencuat dari institusi yang sama. Pejabat Ditjen Pajak, Rafael Alun Trisambodo, kini tengah diperiksa oleh KPK lantaran kepemilikan kekayaan yang tidak wajar. Selain itu, Kepala Bea Cukai Makassar Andhi Pramono juga menjadi sorotan KPK ketika memiliki kekayaan tidak wajar yang mencapai Rp 13,7 miliar.
Tidak seperti era Orde Baru dulu, sekarang, kasus demi kasus harta yang tidak wajar kerap diiringi juga dengan penindakan hukum. KPK dan Kejaksaan Agung masih terlihat melakukan penindakan hukum terhadap para terduga korupsi. Akan tetapi, tampaknya persoalan mendasar ada di dalam sistem yang masih mengandung banyak celah dan belum tertutupi sehingga perilaku koruptif tetap saja terjadi.
Tidak percaya
Maraknya kasus kekayaan tidak wajar pejabat negara itu juga memunculkan dorongan dari beberapa pihak supaya pemerintah menerbitkan UU Pembuktian Terbalik. Tercatat, aktivitas antikorupsi Ibnu Syamsu, kemudian Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah mendorong dibentuknya UU Pembuktian Terbalik.
Dorongan penerbitan UU Pembuktian Terbalik itu berangkat dari penilaian LHKPN yang seakan-akan formalitas belaka. Melalui UU Pembuktian Terbalik, diharapkan pejabat negara dapat membuktikan asal kekayaannya, tidak sekadar melapor lewat LHKPN.