Pajak Zaman Baheula Mencekik, Rakyat Berontak

- 27 Februari 2023, 22:58 WIB
Foto tiga pemberontak Banten tahun 1888.
Foto tiga pemberontak Banten tahun 1888. /Tangkapan layar KITLV

Sartono menuturkan, peraturan administratif lain yang memunculkan rasa tidak puas adalah penetapan pajak perdagangan. Di beberapa desa di distrik itu (Bojonegoro), seperti di Beji, Nyamuk, dan Bojonegoro, terdapat pengaduan bahwa pajak perdagangan yang dikenakan atas perahu telah dinaikkan secara berlebihan. Pada awal 1887, sebanyak 35 pemilik perahu mengirimkan petisi kepada Residen Banten, meminta agar pajak perdagangan itu diturunkan.

Sartono juga menelusurinya awal kenaikan pajak itu terjadi. Pajak perdagangan untuk perahu ditetapkan sonder memperhitungkan ruang kargo.

Lantaran dianggap tak wajar, pemerintah menginstruksikan peraturan tersebut ditinjau ulang pada 1887. Berdasarkan pertemuan para anggota pamong praja tercapai kesepakatan pajak senilai 10 gulden dikenakan bagi satu unit tonase perahu tanp memperhitungkan ukuran perahu.

Kondisi yang membuat keadaan lebih buruk lagi adalah kekeliruan yang dibuat dalam pengukuran perahu sehingga tonase yang dicatat dalam daftar melebihi tonase yang sebenarnya. Petisi rakyat Banten yang menginginkan penurunan pajak tidak dituruti pemerintah.Kondisi itu menjadi memunculkan rasa tidak puas di kalangan rakyat sebelum pemberontakan pecah.

Pemberontakan akhirnya pecah dengan sejumlah serangan hingga Cilegon sempat diduduki. Beberapa aparatur dan pejabat lokal juga menjadi korban dalam peristiw itu.

Pamer harta

Apabila masa pemerintahan kolonia, rasa tidak puas hingga kekecewaan rakyat muncul karena tingginya pajak yang diberlakukan, hal agak berbeda muncul saat ini. Kasus dugaan penganiayaan yang dilakukan oleh anak pejabat pajak beberapa waktu lain memunculkan adanya harta yang tak wajar.

Pamer gaya hidup mewah dengan motor-motor besar dan mobil yang harganya fantastis sang anak serta laporan harta kekayaan ayahnya memunculkan kecurigaan publik. Jika urusan pajak tempo dulu menyulut pemberontakan, permasalahan serupa saat ini barangkali bisa memicu pembangkangan sosial berupa keengganan atau bahkan menolak membayar pajak. Tanpa adanya transparansi harta kekayaan dan bagaimana itu diperoleh, publik memiliki legitimasi membangkang membayar pajak. ***

Halaman:

Editor: Suhirlan Andriyanto


Tags

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah