Pajak Zaman Baheula Mencekik, Rakyat Berontak

- 27 Februari 2023, 22:58 WIB
Foto tiga pemberontak Banten tahun 1888.
Foto tiga pemberontak Banten tahun 1888. /Tangkapan layar KITLV


KORAN PR - KASUS penganiayaan oleh anak petinggi pajak Kementerian Keuangan membuka mata publik terkait ketidakwajaran harta kekayaan sang pejabat dan keluarganya. Di masa lalu, pungutan pajak oleh pemerintah juga kerap menyulut pemberontakan rakyat.

BULAN November 1885, sekira 100 pemilik tanah di Desa Patik, Kawedanan Pulung, Kabupaten Ponorogo, Keresidenan Madiun mengangkat carik desa sebagai ratu baru bergelar Pangeran Lelono. Sang pangeran memiliki tugas menghapus pajak-pajak.

 

Gerakan tersebut juga bertujuan menghabisi semua pejabat Belanda yang telah membebani rakyat dengan pajak-pajak tinggi. "Pemberontakan ini dapat dipadamkan dalam satu hari tanpa meminta korban manusia. Hanya rumah kontrolir Belanda di Pulun dirusak," tulis Sejarawan Onghokham dalam bukunya, Rakyat dan Negara.

Meskipun pajak menjadi persoalan yang melatarbelakangi pemberontakan, pejabat kolonial yang meneliti permasalahan itu ternyata mengabaikannya. Alih-alih menelisik persoalan pajak, para petinggi Belanda justru mencurigai adanya intrik-intrik keluarga bupati sebagai penyebab pemberontakan. Padahal sejak 1883, pajak wilayah Patik setiap tahun naik serta pada 1886 bakal lebih tinggi lagi.

"Lebih-lebih karena persenan pajak yang dipungut dari para pemilik tanah ini tidak sesuai dengan statistik resmi penghasilan seorang petani," kata Ong.

Pemberontakan lain yang ditengarai terjadi akibat pajak juga muncul di Banten. Pada 1882, kewajiban melakukan kerja wajib dihapuskan pemerintah kolonial. Penghapusan tersebut malah diikuti munculnya pajak kepala.

"Dalam pelaksanaan peraturan itu, Residen Spaan dari Banten memerintahkan agar semua laki-laki sehat yang berusia antara 15 sampai 50 tahun dikenakan pajak," tulis Sartono Kartodirdjo dalam bukunya, Pemberontakan Petani Banten 1888.

Ketidakpuasan muncul di afdeling Anyer. Sebagian warganya harus membayar pajak kepala kendati ada janji mereka bakal dibebaskan dari pungutan tersebut.

Sartono menuturkan, peraturan administratif lain yang memunculkan rasa tidak puas adalah penetapan pajak perdagangan. Di beberapa desa di distrik itu (Bojonegoro), seperti di Beji, Nyamuk, dan Bojonegoro, terdapat pengaduan bahwa pajak perdagangan yang dikenakan atas perahu telah dinaikkan secara berlebihan. Pada awal 1887, sebanyak 35 pemilik perahu mengirimkan petisi kepada Residen Banten, meminta agar pajak perdagangan itu diturunkan.

Sartono juga menelusurinya awal kenaikan pajak itu terjadi. Pajak perdagangan untuk perahu ditetapkan sonder memperhitungkan ruang kargo.

Lantaran dianggap tak wajar, pemerintah menginstruksikan peraturan tersebut ditinjau ulang pada 1887. Berdasarkan pertemuan para anggota pamong praja tercapai kesepakatan pajak senilai 10 gulden dikenakan bagi satu unit tonase perahu tanp memperhitungkan ukuran perahu.

Kondisi yang membuat keadaan lebih buruk lagi adalah kekeliruan yang dibuat dalam pengukuran perahu sehingga tonase yang dicatat dalam daftar melebihi tonase yang sebenarnya. Petisi rakyat Banten yang menginginkan penurunan pajak tidak dituruti pemerintah.Kondisi itu menjadi memunculkan rasa tidak puas di kalangan rakyat sebelum pemberontakan pecah.

Pemberontakan akhirnya pecah dengan sejumlah serangan hingga Cilegon sempat diduduki. Beberapa aparatur dan pejabat lokal juga menjadi korban dalam peristiw itu.

Pamer harta

Apabila masa pemerintahan kolonia, rasa tidak puas hingga kekecewaan rakyat muncul karena tingginya pajak yang diberlakukan, hal agak berbeda muncul saat ini. Kasus dugaan penganiayaan yang dilakukan oleh anak pejabat pajak beberapa waktu lain memunculkan adanya harta yang tak wajar.

Pamer gaya hidup mewah dengan motor-motor besar dan mobil yang harganya fantastis sang anak serta laporan harta kekayaan ayahnya memunculkan kecurigaan publik. Jika urusan pajak tempo dulu menyulut pemberontakan, permasalahan serupa saat ini barangkali bisa memicu pembangkangan sosial berupa keengganan atau bahkan menolak membayar pajak. Tanpa adanya transparansi harta kekayaan dan bagaimana itu diperoleh, publik memiliki legitimasi membangkang membayar pajak. ***

Editor: Suhirlan Andriyanto


Tags

Terkini