Problema Timnas Sepak bola Indonesia, Hulu Tak (Pernah) Digarap Serius

- 16 Februari 2023, 22:28 WIB
Ketua Umum PSSI terpilih Erick Thohir (tengah) memberikan keterangan pers dalam Kongres Luar Biasa Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (KLB PSSI) 2023 di Jakarta, Kamis 162023. Dalam kongres tersebut Erick Thohir resmi terpilih sebagai Ketua Umum PSSI periode 2023-2027 setelah meraih 64 suara.
Ketua Umum PSSI terpilih Erick Thohir (tengah) memberikan keterangan pers dalam Kongres Luar Biasa Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (KLB PSSI) 2023 di Jakarta, Kamis 162023. Dalam kongres tersebut Erick Thohir resmi terpilih sebagai Ketua Umum PSSI periode 2023-2027 setelah meraih 64 suara. /Aprillio Akbar/ANTARA FOTO

TIM Nasional (Timnas) Sepak bola Indonesia pernah berjaya pada era-1990an. Selama empat dekade tersebut, skuad Garuda menjadi yang terkuat di level Asia Tenggara dengan meraih medali emas SEA Games pada 1987 dan 1991. Bahkan jauh sebelumnya pada 1966, Indonesia pernah berjaya di Asia dengan meraih medali perak Asian Games.

Pembinaan usia muda yang terstruktur dinilai menjadi kunci keberhasilan timnas. Saat itu, ada pola pembinaan sepak bola nasional yang menyusun rapi pola-pola permainan yang dasar sepak bola Indonesia dari tingkat muda hingga senior.

Hampir mirip dengan Filanesia yang kini menjadi dasar pembinaan sepak bola muda Indonesia. Filosofi itu yang dianggap paling cocok menjadi fondasi dan karakter sepak bola Indonesia, baik untuk pembinaan usia dini sampai profesional dari segi individu maupun tim.

Namun, selepas meraih emas SEA Games 1991, pola pembinaan itu tidak digunakan lagi. Pembinaan para pemain diganti dengan metode pemusatan latihan di luar negeri seperti Primavera dan SAD pada era 2000-an.

Program-program ini kemudian menjadi andalan. Hanya saja, prestasi Indonesia justru tidak pernah mentereng lagi, bahkan di Asia Tenggara. Talenta mereka layu sebelum berkembang ke kancah lebih luas lagi.

Dari program itu, lahir pemain-pemain berkualitas seperti Bima Sakti, Kurnia Sandy, Kurniawan Dwi Yulianto, Yeyen Tumewa dan lain-lain. Namun secara prestasi tidak ada perubahan. Tidak ada sukses yang langsung seperti menjadi juara.

Pemain yang menonjol secara individu nyaris minim. Hasilnya pun baru terlihat sepuluh tahun kemudian. Sejumlah jebolan Primavera ada yang memang merumput di luar negeri. Sebut saja, Kurniawan bermain di Sampdoria dan FC Luzern.

Begitu juga Kurnia Sandy menjadi kiper ketiga di Sampdoria, dan Bima Sakti di klub Swedia, Helssingborg. Sisanya sekarang bermain di liga nasional dan kini kebanyakan menjadi pelatih di klub-klub nasional.

Banyak program yang telah dilakukan untuk meningkatkan prestasi sepakbola Indonesia. Sayangnya, program-program pembinaan tersebut tidak berhasil karena sistemnya tidak berjalan konsisten.

Halaman:

Editor: Suhirlan Andriyanto


Tags

Terkini

x