“Mereka ini biasanya wakil kepala daerah yang sadar betul bahwa ia memiliki kontribusi yang besar atas kemenangan mereka. Misalnya, dia adalah vote getter atau berkontribusi dalam dana pemilihan sehingga menuntut kekuasaan yang sepadan,” ucap Firman.
Pragmatis
Hal senada diungkapkan peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Giri Ahmad Taufik bahwa perjodohan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah di awal pemilihan sering kali hanya didasarkan pada kepentingan pragmatis dibandingkan strategis, seperti kesamaan visi misi, kesamaan program yang akan dijalankan.
“Jadi, perkawinan mereka lebih pada pembagian kekuasaan belaka sehingga jika terjadi ketidakcocokan atau salah satu pihak melangkahi perjanjian, pembagian kekuasaan ini menyebabkan perpecahan,” katanya.
Konflik itu, kata Giri, memang dampaknya relatif minimum dari segi tata kelola pemerintahan. Soalnya, peran wakil itu secara normatif hanya membantu peran kepala daerahnya. Peran wakil bupati biasanya hanya sebagai ban serep.
Namun, Giri mengatakan, secara politik, ini tentu akan menimbulkan kondisi tidak kondusif dalam menjalankan program-program kepala daerah. Apalagi, perpecahan politik ditunjukkan secara terbuka, misal di dalam implementasi program.
“Contoh adalah interpelasi DPRD Indramayu ke Bupati Indramayu. Hal ini tentu menimbulkan ketidakkondusifan jalannya roda pemerintahan di Indramayu,” kata Giri.
Giri menyebutkan, peran dari partai politik penting menyelesaikan konflik tersebut. Bahkan, seharusnya, dari awal, parpol harus mampu mengurangi risiko terjadinya konflik itu. Parpol yang mengusulkan pasangan kepala daerah di pilkada.
Baik calon kepala daerah dan wakil kepala daerah sejak awal pemilihan harus memiliki pemahaman yang sama tentang tugas mereka ketika terpilih nanti. Demikian juga parpol yang harus terus menjaga keharmonisan pasangan yang mereka kawinkan.
Pertama, parpol dan pasangan harus memahami bahwa pemilihan paket pasangan pilkada harus didasarkan pada kesamaan yang prinsipil, bukan hitung-hitungan kemenangan semata, dan pembagian kekuasaan. Kedua, semua yang menjadi wakil kepala daerah sudah seharusnya paham, peran mereka hanya sebagai pembantu kepala daerah.
“Ekspektasi apa yang bisa dilakukan pun menjadi terbatas dan sangat bergantung pada bupatinya. Sehingga, jika memang tidak bisa menerima realitas tersebut dari awal, sebaiknya tidak usah mau dipasangkan dengan posisi wakil,” ujarnya.