Soal Larangan Thrifting, Pedagang Pakaian Bekas Pasar Cimol Gedebage Bandung Minta Solusi

- 20 Maret 2023, 20:11 WIB
PEDAGANG merapikan barang dagangannya di Pasar Cimol Gedebage, Kota Bandung, Senin (20/3/2023). Pedagang meminta solusi pemerintah atas larangan impor pakaian bekas.*
PEDAGANG merapikan barang dagangannya di Pasar Cimol Gedebage, Kota Bandung, Senin (20/3/2023). Pedagang meminta solusi pemerintah atas larangan impor pakaian bekas.* /Satira Yudatama

KORAN PR - Pedagang pakaian bekas impor di Pusat Grosir atau Pasar Cimol Gedebage, Kota Bandung meminta solusi kepada pemerintah atas penerbitan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor.

Menurut sejumlah pedagang, kebijakan tanpa beriringan dengan solusi hanya mematikan penghidupannya.

Salah seorang pedagang, Rian Priatna mengaku, dagangannya sepi pembeli semenjak pandemi Covid-19. "Kerap nihil pembeli, beberapa waktu belakangan ini. Membandingan dengan periode 2010 sampai sebelum 2020, sangat turun. Pada periode itu, dagangan bisa terjual sampai 1.000 pis dalam satu hari," tutur Rian ditemui di tempatnya berjualan, Senin 20 Maret 2023.

Dagangannya juga makin sepi sejak ada aturan larangan thrifting tersebut. Bahkan, beberapa hari terakhir juga terlihat sepi karena ramainya pemberitaan soal larangan penjualan pakaian bekas impor.

Baca Juga: Kemendag Musnahkan 730 Bal Pakaian, Sepatu, dan Tas Bekas Impor Senilai Rp 10 Miliar

Sepengetahuannya, tidak kurang dari 1.000 pedagang yang berjualan di Pasar Cimol Gedebage. Untuk cakupan seluruh Kota Bandung, bahkan Jawa Barat, jumlah pedagang pakaian bekas impor jauh lebih banyak.

Rian mengatakan, sebelum ada pelarangan pakaian bekas impor pun, jumlah pengangguran terbilang banyak. "Seumpama tetap tanpa solusi, jumlah pengangguran makin banyak. Berjualan pakaian bekas impor merupakan usaha yang bisa berjalan dengan modal minim," tutur dia.

Sampai saat ini, Rian mengaku belum terpikir cara lain mencari nafkah seumpama berjualan pakaian bekas betul-betul mati. Sebagai lulusan SMA, dia skeptis, perusahaan-perusahaan bersedia menerimanya sebagai pegawai.

Sementara itu, menjalankan bentuk usaha lain memerlukan modal lebih besar daripada berjualan pakaian bekas impor.

Beda sasaran pasar

Rian beserta sejumlah pedagang lainnya berpandangan, sasaran pasar pakaian bekas impor berbeda dengan produk lokal sejenis. Sasaran pasar Pasar Cimol Gedebage, ucap Rian, masyarakat berkemampuan ekonomi menengah ke bawah.

"Saya menjual produk dengan harga Rp 10.000 sampai Rp 100.000 per pis. Sementara itu, produk lokal sejenis, misal t-shirt, jarang yang harganya di bawah Rp 100.000. Dari sisi harga saja, itu berbeda dengan sasaran pasar produk lokal sejenis," kata dia menuturkan.

Dari faktor kesehatan pun, menurut Rian, juga kurang tepat. Berdasarkan pengalamannya berjualan selama 12 tahun, dia mengaku tak pernah terkena penyakit, misal yang menyerang kulit maupun semacamnya.

Baca Juga: Kata Ibas, Pemerintah Jangan Hanya Larang Thrifting Pakaian Impor Tapi Juga Harus Bantu Industri Pakaian Lokal

"Andai kata, pakaian membawa penyakit, kami yang kena duluan. Sejauh ini, alhamdulillah tidak ada (tertular penyakit). Lagi pula, ada orang yang justru alergi dengan pakaian baru. Penyebab penyakit bukan melulu pakaian bekas," ujar dia.

Seorang pedagang lainnya, Fariz menggunakan media sosial untuk berjualan. Semenjak beberapa hari ke belakang, dia berhenti posting foto produk di media sosial. "Khawatir akun media sosial untuk jualannya kena blokir," ucap dia

Pemerintah Indonesia melarang impor barang bekas -termasuk pakaian-, tapi tidak dengan penjualnnya. Wali Kota Bandung Yana Mulyana mengatakan, Pemkot Bandung berprinsip mengikuti regulasi dari pemerintah pusat. ***

Editor: Kismi Dwi Astuti


Tags

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x