Priangan dalam Lintasan Zaman (2): Daerah Taklukan dan Daerah Sumbangan untuk VOC

- 15 Februari 2023, 21:30 WIB
Lukisan berjudul
Lukisan berjudul /KITLV

Dinyatakan bahwa, ”Setelah pelantikan sultan, sang patih, Raden Adipati Sindureja, meminta bantuan kepada Kompeni dan uangnya. -- Namun, Trunajaya, sudah mengada-ada. --Masih ada (utang sebesar) 600.000 (rijkdaalder) yang belum dibayar kepada Kompeni. Sesuai dengan perjanjian, wilayah barat Priangan pun diserahkan kepada Kompeni pada masa Jenderal Johannis Kamphuijs, yang atasannya adalah Laksamana de Wilde. Selain itu, Sunan juga menyerahkan 12 penduduk (ajeg) kepada Kompeni…dan 12 penduduk dari jantung Mataram dan sekitarnya diserahkan kepada Kompeni.”

Berdasarkan babad tersebut, menurut de Klein, pada tahun 1677 itu, wilayah Priangan baru “dijanjikan” untuk diserahkan kepada Kompeni. Akan tetapi, informasi ini sangat layak untuk diragukan. Pasalnya, penulis babad sama sekali tidak membedakan antara wilayah yang “direbut” (afgestane) oleh Kompeni dan wilayah-wilayah yang “disumbangkan” (geschonken) kepada Kompeni. Padahal, sejak awal, pejabat VOC sudah membedakan dua kategori tersebut. Gubernur Jenderal Hendrick Zwaardecroon (memerintah pada periode 1718-1725), misalnya, menyebut ”Kerajaan Jakarta Milik Kompeni” ('s Compagnies eygen Coningrijk Jacatra) sebagai lawan dari ”wilayah Priangan yang disumbangkan” (gedonateerde Preangerlanden).

Dengan demikian, dalam pandangan Kompeni, Jakarta merupakan daerah yang ”ditaklukkan dengan pedang” (met den zwaarde geconquesteerd) sehingga tidak harus mengakui apa pun hukum publik dan privat di sana, sebagaimana dikonfirmasi melalui resolusi tahun 1686.

Namun, di daerah-daerah yang “disumbangkan”, Kompeni harus menghormati lembaga-lembaga hukum rakyat, sebagaimana termaktub di dalam dalam resolusi 1708. Meskipun demikian, dalam praktiknya, sebagaian dicatat de Klein, Kompeni memperlakukan kedua jenis wilayah itu dengan cara yang sama.

**

LIMA puluh tahun pertama setelah “proklamasi” Coen, Kompeni dapat dikatakan tidak peduli terhadap daerah pedalaman. Setelah ditandatanganinya perjanjian pada tahun 1677, barulah sikap itu berubah.

Pada 1678, Kompeni membangun sebuah benteng di Tanjungpura, Karawang. Pada tahun 1681, anggota Raad van Justitie di Batavia, van Dijk, menempuh perjalanan darat dari Batavia ke Cirebon.

Sebagaimana dicatat van Rees, dia menyatakan bahwa, ”Banyak pemimpin Jawa, seperti dari Sumedang, Galuh, Parakanmuncang, Sukapura, Bandung, dan yang lainnya, menyatakan sumpah setia kepada Sunan dan Kompeni.”

De Klein tetap bertahan pada pendapat bahwa Galuh dan Sukapura tidak diserahkan oleh Mataram kepada Kompeni hingga tahun 1705. Oleh karena itu, pernyataan van Dijk tentang “menyatakan sumpah setia” tidak ada hubungannya dengan konsekuensi hukum. Pernyataan setia itu harus dikaitkan dengan kenyataan bahwa isi perjanjian pada 1677 itu.

Pada tahun 1684, Raad van Indie menugaskan Joan van Hoorn dan Jacob Couper untuk membuka hubungan dengan Indramayu dan Karawang. Belakangan, hanya Jacob Couper yang menjalankan tugas itu. Sebagaimana dicatat de Jonge, Couper juga bermaksud menjadikan sebagian besar wilayah di dataran tinggi Priangan dan Galuh berada di bawah perintah dan tanggung jawab Kompeni.

Halaman:

Editor: Hazmirullah


Tags

Terkini