KORAN PR - Masyarakat sekarang cukup menghidupkan televisi atau membaca berita di media tentang sidang isbat guna mengetahui kepastian awal puasa atau Lebaran. Namun, bagi masyarakat tempo dulu informasi tersebut tak mudah diperoleh. Pemandangan unik terlihat di Pasar Pacet, Cianjur terkait bulan puasa dan dituliskan A Hamid di koran Pemandangan pada Jumat 20 Oktober 1939.
A Hamid menuliskan pengalamannya saat berkunjung ke Sukabumi dan Cianjur. Kala tiba dan beristirahat di Sindalaya, ia mendengar suara beduk dipukul pada subuh. "Kepada telinga kita, sampai warta: bedoeg moenggah," tulisnya. Beduk itu menjadi penanda awal puasa dimulai.
Namun saat pagi sekira pukul 08.00 di Pasar Pacet, ia menyaksikan banyak pengunjung dan pedagang merokok dan nongkrong makan nasi. Beberapa yang tak berpuasa menyalahkan beduk penanda puasa yang berbunyinya subuh hari atau dinilai telat memberitahu warga.
Walau begitu terdapat pula mereka yang berpuasa. Yang menarik, terdapat pula mereka yang tak berpuasa justru terkejut mengetahui bahwa saum telah dimulai. "Apakah soedah moelai?" mereka balik bertanya.
Beberapa orang pun terdengar berbisik mengenai informasi awal puasa yang simpang siur tersebut. "Tadi malam kira2 djam setengah tiga ada diterima telefoon dari tjiandjoer jang menerangkan, bahwa hari besoek soedah moealai orang berpoeasa."
Hal tersebut menimbulkan rasa heran. Apalagi di Betawi 12 jam sebelumnya, pengumuman tentang awal puasan telah disampaikan. "Apakah kabar dari Betawi ke Tjiandjoer tidak diberikan pada seketika itoe djoega? Baik dari Betawi ke Tjiandjoer, maoepoen oempamanja dari Bandoeng ke Tjiandjoer, djika seandai kata Tjiandjoer haroes menerimanja dari Bandoeng, dan Bandoeng dari Betawi."
Adanya perbedaan penetapan puasa di Betawi dan Bandung bisa saja terjadi sehingga membuat simpang siurnya informasi yang diterima warga di di wilayah pegunungan tersebut. Hamid mengutip pernyataan warga Tatar Pasundan dalam bahasa Sunda mengenai sulitnya memperoleh informasi datangnya bulan suci, abong-abong djaooeh ka bedoeg (Mentang-mentang jauh dari beduk)."
Koran berbahasa Sunda, Sipatahoenan pada Sabtu 14 Oktober 1939 juga pernah mewartakan simpang siurnya penetapan awal puasa di Bandung. "Sanggeus ti heula Raad Agama Bandoeng netepkeun mimiti poeasa teh isoek, Minggoe 15 October, peuting tadi ngadadak robah, djadi ajeuna powe ieu, tjenah noeroetkeun roe'jatna Solo, Soemedang, Soekaboemi, djeung Batawi (Setelah sebelumnya pengadilan agama Bandung menetapkan awal puasa pada Minggu 15 Oktober, malam tadi mendadak berubah, jadi hari ini, katanya mengacu rukyat di Solo, Sumedang, Sukabumi dan Betawi)," tulis Sipatahoenan.
Informasi perubahan tersebut tak semuanya diketahui warga. Akibat informasinya terlambat dan mendadak sekali, sesuadah malam, banyak kaum Muslim yang berniat puasa besok tidak memperoleh kabar perubahan penetapan awal puasa tersebut.
Sipatahoenan mengutip pula Aneta pada Selasa 23 Agustus 1938 tentang salah satu organisasi yang menetapkan penentuan awal puasa dan Idulfitri. Organisasi tersebut adalah Perhimpoenan Penghoeloe Dan pegawainja (PPDP).