LHKPN, Pembalikan Logika, dan Kebiasaan Pamer

- 14 Maret 2023, 22:00 WIB
INSPEKTUR Jenderal Kementerian Keuangan Awan Nurmawan (kedua kiri)  memberikan keterangan pers terkait dengan kasus kepegawaian di Jakarta, Rabu (8/3/2023). *
INSPEKTUR Jenderal Kementerian Keuangan Awan Nurmawan (kedua kiri) memberikan keterangan pers terkait dengan kasus kepegawaian di Jakarta, Rabu (8/3/2023). * /ANTARA/

KORAN PR - PAKAR sosiologi hukum Universitas Padjadjaran Yesmil Anwar mengatakan, selama ini, ada yang keliru dalam pelaporan harta kekayaan pejabat publik. Demikian pula cara institusi mengawasi bawahannya. ”Ini yang ada pimpinan malah berkoar-koar agar pejabat menampilkan kebiasaan hidup sederhana,” ujar Yesmil ketika dihubungi, Minggu (12/3/2023).

Padahal, sudah sejatinya, kata Yesmil, adanya pengawasan yang melekat bagi para pejabat publik. Kenyataannya, pejabat hanya diminta ”kesukarelaan” melaporkan harta kekayaan. Pemeriksa tidak mempersoalkan isi dari laporan kekayaan tersebut. ”Kemudian, menjadi hal yang dianggap enteng untuk melaporkan harta kekayaan pejabat. Bahkan, tidak sungkan ada yang merekayasa isinya,” ujarnya.

Yesmil menyebutkan, logikanya harus dibalik. Caranya, dilihat gaya hidup sehari-harinya, lalu cek ulang dengan pendapatannya. Wajar atau tidak? Soalnya, saat ini, terbukti, para pejabat publik ini cukup pandai menyembunyikan harta kekayaannya. Misalnya dengan membuka rekening atas nama keluarga, membeli barang atas nama orang lain, investasi di luar negeri, hingga menggunakan kotak deposit (deposit box). ”Seharusnya diklarifikasi, bagaimana cara dia mendapatkan kekayaan? Karena ada ukurannya bagi para pejabat sehingga menampilkan harta yang wajar sesuai jabatannya,” ucapnya.

Baca Juga: Menakar Pentingnya Pembuktian Terbalik

Persoalan pamer harta sebetulnya dapat dijadikan sebagai titik awal klarifikasi harta kekayaan pejabat publik. Di situlah pejabat publik dapat membuktikan bahwa kekayaannya benar-benar diperoleh dengan cara yang legal.

Yesmil menyebutkan, isu pembuktian terbalik telah jadi wacana sejak lama. Terutama untuk kasus-kasus korupsi, diminta terdakwa yang membuktikan dakwaannya salah. Ini juga bisa diterapkan dalam pembuktian laporan kekayaan pejabat.

Yesmil mengatakan, momentum ini harus dimanfaatkan dengan benar untuk menerapkan pengawasan yang sesungguhnya. Ini momentum yang tepat untuk melakukan perubahan. Memang titik awalnya dari Kementerian Keuangan, kemudian dilanjutkan dengan lembaga-lembaga yang lain. ”Jangan sampai ngekeyeuk satu instansi saja, lalu kembali lupa,” ujarnya.

Yesmil mengatakan, pengawasan harus dilaksanakan secara adil terhadap semua kementerian/lembaga. Selain itu, DPR juga seharusnya turut serta untuk mengawasi eksekutif. ”Namun, sayangnya, DPR malah cenderung diam di beberapa kasus yang menjadi sorotan, mulai dari Sambo hingga kasus Dirjen Pajak,” ucapnya.

Adiksi

Psikolog dari Universitas Kristen Maranatha Efnie Indrianie menyebutkan, gaya hidup hedon dan pamer harta pada dasarnya merupakan salah satu ekses dari kebutuhan dasar manusia berupa aktualisasi diri. Dari sudut pandang biopsikologi, Efnie menyebutkan bahwa perilaku tersebut berbahaya karena berpotensi menimbulkan adiksi.

Berawal dari aktualisasi diri yang kebetulan memiliki wadah untuk memfasilitasi, serta sumber daya dalam bentuk pundi-pundi rupiah, akan memberikan kepuasan tersendiri. Hal itu bisa menstimulasi terbentuknya hormon dopamin.

Hormon dopamin adalah senyawa kimia di otak yang berperan untuk menyampaikan rangsangan ke seluruh tubuh. Hormon ini disebut juga hormon pengendali emosi. Ketika diproduksi dalam jumlah yang tepat, hormon ini akan meningkatkan suasana hati sehingga orang akan merasa lebih senang dan bahagia.

“Bayangkan, perilaku itu menimbulkan perasaan joy. Semakin lama, kebutuhannya akan semakin meningkat dan itu cikal bakal adiksi. Efeknya sama seperti drugs. Bedanya, kalau rehabilitasi drugs sudah ada, kalau rehabilitasi flexing kan belum ada,” tutur dosen sekaligus Kepala Bidang Kajian Psikologi Sosial Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha ini.

Dalam kondisi normal, aktualisasi diri ditunjukkan dalam bentuk karya ataupun potensi-potensi yang digali dari diri seseorang. Lewat karya dan potensi tersebut, seseorang bisa dikenal masyarakat.

“Tapi kita lihat, tidak semua orang mengaktualisasikan diri dengan menggali potensi dirinya sehingga menggunakan cara lain. Yang paling mudah adalah memamerkan apa yang dia miliki, termasuk harta benda dan atribut-atribut tersier,” ucapnya.

Hal tersebut diperparah oleh kecenderungan orang yang memamerkan gaya hidup mewah tersebut tidak merasakan bahwa apa yang dilakukan sebagai gangguan psikologis. Apalagi, ketika berada di dalam komunitas yang sama-sama senang menggunakan barang mewah, perilaku tersebut seakan dinormalkan.

Usia juga tidak membatasi seseorang untuk melakukan pamer ataupun flexing. Usia yang semakin bertambah, bukan berarti mengurangi keinginan seseorang untuk melakukan aktualisasi diri. “Mau remaja atau bahkan pejabat yang sudah berumur, banyak yang menganggap bahwa kebutuhan aktualisasi diri harus diwujudkan meski dalam bentuk yang berbeda,” ujarnya.

Perkembangan media sosial yang semakin masif, juga disebutkan Efnie, sangat berpengaruh signifikan terhadap perilaku ini. Tak perlu memiliki prestasi maupun potensi yang bermanfaat, seseorang bisa begitu dikenal dan diperhatikan oleh masyarakat secara luas.
Apalagi, ketika dorongan untuk mengaktualisasikan diri tersebut memperoleh dukungan dari support system di sekitarnya. Alhasil, orang tersebut seakan memiliki achievement ketika melakukannya.

Ketika pejabat publik atau ASN yang notabene merupakan pelayan publik berada dalam komunitas “pamer” benda mewah tersebut, hal tersebut akan semakin disayangkan. “Seharusnya, pelayan publik itu mengedepankan sikap empati. Itu yang penting,” ujar Efnie.

Seperti diketahui, sebagian besar masyarakat baru beranjak untuk memulihkan diri pascapandemi. Orang-orang dari berbagai bidang pun ikut merasakan dampaknya. Banyak orang mulai bangkit perlahan.

“Meskipun kita berada di atas, sebaiknya biasa-biasa saja lah. Lebih baik banyak membantu dan menolong orang lain, misalnya dalam bentuk bansos. Jangan lupa juga untuk mengajarkan anak agar selalu menghargai integritas,” kata Efnie.***

Editor: Hazmirullah


Tags

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x