Cegah Difteri agar Tak (Lag)i Menyebar!

- 26 Februari 2023, 16:21 WIB
Petugas kesehatan menyuntikkan vaksin Diphteria Tetanus (DT) saat imunisasi anak sekolah di Madrasah Ibtidaiyah Negeri 2 Kediri, Jawa Timur Senin 2 Januari 2023.
Petugas kesehatan menyuntikkan vaksin Diphteria Tetanus (DT) saat imunisasi anak sekolah di Madrasah Ibtidaiyah Negeri 2 Kediri, Jawa Timur Senin 2 Januari 2023. /Prasetia Fauzani/ANTARA FOTO

“Bahkan jika orang yang terinfeksi tidak menunjukkan tanda atau gejala difteri, mereka masih dapat menularkan bakteri sampai enam minggu setelah infeksi awal,” ujar Ariantana.

Untuk mencegah difteri, ungkap Ariantana, langkah paling efektif yang bisa dilakukan adalah dengan mendapatkan vaksinasi difteri. Di Indonesia, vaksin difteri adalah salah satu vaksinasi yang wajib diberikan untuk balita.

Vaksinasi difteri umumnya dikombinasikan dengan vaksin tetanus dan batuk rejan (pertusis). Vaksin tersebut lebih dikenal sebagai imunisasi DPT (difteri, tetanus, pertusis). Untuk mencegah penyebaran ke wilayah lain, Ariantana menyebutkan bahwa anak-anak dapat diberikan imunisasi tambahan DPT.

Imunitas

Ariantana menyebutkan, sekitar 5 hingga 10 persen kasus difteri berakibat fatal pada penderitanya. Sejauh ini, tingkat kematiannya lebih tinggi terjadi pada anak-anak di bawah usia lima tahun atau lansia.

“Hal itu karena daya tahan tubuh atau imunitas yang belum terbentuk, mungkin juga daya tahan tubuhnya sudah ada tapi berkurang antibodinya terhadap penyakit ini,” katanya.
Tak hanya anak-anak, orang dewasa juga bisa terkena difteri. Terutama, lansia yang antibodi terhadap difterinya semakin menurun seiring usia.

Bahaya dan komplikasi penyakit difteri terutama bisa terjadi pada organ pernafasan, jantung, dan saraf. Pada sistem pernafasan, bakteri penyebab difteri dapat menghasilkan toksin atau racun. Racun ini mampu merusak jaringan di area infeksi, biasanya di hidung dan tenggorokan.

“Di area tersebut, infeksi menghasilkan lapisan abu-abu yang terdiri dari sel-sel mati, bakteri, dan zat lainnya. Jika dibiarkan, selaput ini dapat menghambat pernapasan,” kata Ariantana.

Sedangkan kerusakan jantung terjadi karena racun yang dihasilkan oleh bakteri berisiko menyebar melalui aliran darah, sehingga bisa merusak jaringan lain di dalam tubuh. Misalnya, dapat merusak otot jantung sehingga menimbulkan komplikasi seperti radang otot jantung (miokarditis).

Kerusakan jantung akibat miokarditis bisa terjadi secara ringan atau berat. Dalam kasus yang paling parah, miokarditis dapat menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak.

Difteri juga bisa menyebabkan kerusakan saraf pada tenggorokan. Saraf yang mengalami masalah ini bisa menyebabkan kesulitan menelan. Ketika racun merusak saraf yang mengontrol otot pernapasan, otot-otot ini dapat menjadi lumpuh dan pengidapnya berisiko mengalami gagal napas.***

Halaman:

Editor: Suhirlan Andriyanto


Tags

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x