Persepsi dan Ekosistem Hak Cipta di Indonesia Belum Ideal

15 Maret 2023, 00:05 WIB
SEORANG pedagang di toko kaset, CD, dan piringan hitam memutar musik di Pasar Antik, Jalan Abc, Cikapundung, Kota Bandung, Selasa (14/3/2023). Beberapa waktu lalu Presiden telah menandatangani Peraturan Pemerintah PP 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu atau Musik. Salah satu ketentuan dalam peraturan tersebut yakni kewajiban pembayaran royalti bagi setiap orang yang menggunakan lagu atau musik secara komersial.* /KHOLID/KONTRIBUTOR "PR"


PENAMPILAN kejutan dari Raja Dangdut Rhoma Irama bersama Soneta sebagai pembuka konser Deep Purple, di Solo, Jumat 10 Maret 2023, mendadak viral. Pasalnya, salah seorang kru Deep Purple naik ke pentas setelah Rhoma dan Soneta memainkan intro "Smoke on The Water". Sang kru merasa penampilan Rhoma dan Soneta melanggar hak cipta, karena memainkan lagu itu tanpa izin.

 

Sebelum kasus Rhoma muncul, masalah hak cipta juga menerpa Once Mekel. Eks vokalis Dewa 19 ini disebut Ahmad Dhani telah melanggar hak cipta karena menyanyikan lagu gubahan Dhani di panggung tanpa izin.

Dhani, sang pentolan Dewa 19, bukan ingin berkonflik atau menagih hak royalti kepada Once. Hanya saja, dia menyayangkan karena pihak penyelenggara yang menampilkan Once tidak mengurus hak royalti milik Dhani.

Ia bahkan keluar dari Wahana Musik Indonesia (Wami), salah satu Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang mengurus royalti, karena tidak percaya. Dhani mengurus sendiri hak royalti karyanya. Alasannya, Wami tidak rinci dan transparan saat mendistribusikan hak royaltinya.

Pada Desember 2021, para musisi yang tergabung dalam Asosiasi Musisi Pencipta Lagu Indonesia (AMPLI) menuntut transparansi dan akuntabilitas tata kelola royalti. Hal ini berkaitan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 dan Permenkumham Nomor 20 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik yang menimbulkan pertanyaan dan gejolak di kalangan musisi dan pencipta lagu.

Peraturan ini dianggap berpotensi melanggengkan praktik pengambil alihan fungsi negara oleh korporasi yang ditunjuk tanpa proses yang transparan dan akuntabel.
Inisiator AMPLI Indra Lesmana mengatakan, ketentuan dalam PP 56/2021 dan Permenkumham 20/2021 telah menyerahkan kewenangan yang sangat besar kepada korporasi. Apalagi penunjukan dilakukan secara tertutup, tidak transparan, dan terindikasi mengandung konflik kepentingan. Pasalnya, proses penunjukan korporasi tidak melalui uji publik dan konsultasi dengan para para pemangku kepentingan, yaitu musisi dan pencipta lagu.

"Teman-teman di AMPLI adalah para pencipta lagu. Kami merasa kami adalah pemangku kepentingan yang utama, tapi kami tidak dilibatkan saat ada penunjukan korporasi. Kalau ini dibiarkan bisa terjadi juga di sektor industri yang lain," tutur Indra pada konfrensi pers dan diskusi "Revolusi Musik Indonesia Dimulai dari Royalti".

Indra menjelaskan, korporasi yang ditunjuk tersebut mematok potongan 20% dari hasil royalti musik yang sebelumnya telah dipotong 20% oleh LMK. Selain itu, korporasi yang bersangkutan juga menjalankan peran pelaksana harian dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti yang kebijakannya diputuskan tanpa melibatkan musisi dan pencipta lagu untuk persetujuan.

Langkah LMK itu, kata Indra, bertentangan dengan UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Pasalnya, UU Hak Cipta menyadari sepenuhnya bahwa masalah royalti sebagai amanah dari pencipta, haruslah diurus, dan ditangani secara transparan oleh lembaga-lembaga nonkomersial.

Mengutip dari kanal Youtube Musikalitas, Once Mekel menjelaskan, hak pembagian royalti sudah diatur UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Pendistribusian hak cipta dilakukan di Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) apabila ada karya yang dipakai secara komersial.

Besarannya juga sudah ditentukan, yaitu 2% dari tiket yang terjual atau 2% dari biaya produksi. Namun, hal ini belum tentu berlaku jika ada kompromi pribadi.
"Masalahnya banyak yang tidak tahu aturan ini, sehingga aturan ini harus disosialisasikan lagi. Royalti itu berbeda dengan bagi untung. Pihak penyelenggara yang harus membayar royalti ke pencipta lagu," kata Once.

Hak eksklusif

Pengamat hukum siber dan HAKI Universitas Padjadjaran Dr Tasya Safiranita Ramli, SH, MH. menjelaskan, kekayaan intelektual adalah karya kreatif yang dihasilkan seseorang. Ada hak eksklusif yang melekat ke diri pencipta. Ini, kata Tasya, bisa menjadi aset.

Tasya menyebutkan, dalam sebuah karya terdapat hak moral dan ekonomi. Hak moral melekat seumur hidup, sedangkan hak ekonomi dapat beralih selama sudah mendapat lisensi atau izin dari si empunya karya.

"Jika berbicara tentang kekayaan intelektual di ranah ekonomi kreatif, maka akan ada seniman di situ. Seniman menghasilkan karya seperti lagu," ucap Tasya kepada “PR” di Bandung, Selasa 14 Maret 2023.

Tasya menegaskan, sosialisasi perlu terus dilakukan, karena secara luas banyak yang masih tidak paham betul. Selain sosialisasi, proses penghimpunan royalti juga harus tepat, dan semua pihak terkait harus paham tentang lisensi atau izin. Semua pihak, kata Tasya, harus menyadari dan menghargai hak moral yang melekat di setiap karya, baik seni, sastra, dan ilmu pengetahuan.

Tasya menyebutkan, berdasarkan pasal 88 UU No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, ada dua LMKN yang mendapat izin operasional. Namun diperlukan kejelasan dan transparansi dari dua LMKN tersebut.

Belum ideal

Advokat sekaligus konsultan kekayaan intelektual (KI) dan Konsultan Manajemen KI dari Firma Hukum Adiwilaga & Co R. Rizky A. Adiwilaga berpendapat, secara umum, persoalan hak cipta dalam industri musik di Indonesia masih jauh dari kondisi ideal. Salah satu kesulitan terbesarnya adalah masih banyaknya persepsi masyarakat yang berpikir bahwa membawakan dan menyebarkan lagu milik orang lain merupakan hal yang sah-sah saja.

Berdasarkan pengamatan Rizky, banyak hal-hal terjadi di industri musik tanah air, dalam tataran hukum. Dia mengistilahkan, praktiknya agak anomali. Hal itu tak hanya terjadi di dunia musik, melainkan juga di dunia film dan industri kreatif lainnya.

Aturan tentang royalti musik tercantum dalam UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Pemerintah juga mengeluarkan peraturan yang khusus mengatur perihal royalti, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Akan tetapi, pengejawantahannya di lapangan masih belum optimal.

Di sisi lain, ekosistem musik di Indonesia tidak tumbuh dan berkembang secara ideal. Masih banyak hal-hal dalam bidang hukum yang tidak digarap, atau bahkan dipedulikan. Apalagi terkait hak cipta secara khusus, dan hak kekayaan intelektual secara umum.

Rizky mencontohkan praktik pendirian band di Amerika Serikat yang memiliki band agreement. “Misalnya Megadeth, ketika berdiri mereka memikirkan jauh ke depan dengan memiliki band agreement. Lalu ada juga dalam konteks badan hukum, dan perjanjian pendirian band itu juga dibuat PT untuk menjalankan bisnisnya,” kata Rizky.

Kondisi tersebut berbeda jauh dengan yang terjadi di Indonesia. Banyak band-band yang berdiri tanpa memperhatikan aspek hukum. Padahal, perjanjian mengikat para pihak yang mendirikan, dan pengaturan ketika terjadi perselisihan.

Ketika sebuah band berdiri tanpa band agreement dan terjadi perselisihan, maka tidak ada dasar penyelesaian karena kedua pihak tidak mampu menunjukkan bukti. “Itu seperti banyak di kita, akhirnya kayak orang gundul yang jambak-jambakan,” ujarnya.

Untuk itu, diperlukan pembenahan ekosistem, termasuk perilaku orang-orang yang terlibat di dalamnya. Misalnya saja, mengenai keterbukaan, kejujuran, hingga pembenahan penyelenggara atau promotor konser musik.

“Pembenahan ekosistem itu termasuk dari pelaku musiknya juga, dan pembayar royaltinya juga harus fair. Di kita kan tidak begitu,” ujarnya.

Di Indonesia, mutual benefit di dalam dunia musik masih belum terjadi secara optimal. Hal itu bisa dilihat dari semakin banyaknya musisi yang memutuskan untuk berkiprah secara indie. Hanya saja, Rizky menyarankan juga agar para musisi indie ini tidak bergerak secara kebablasan, dalam artian mengurus semua dari hulu ke hilir yang pada akhirnya menghambat kreativitas. ***

Editor: Suhirlan Andriyanto

Tags

Terkini

Terpopuler