Permenaker No 5 Tahun 2023 Diterbitkan Pemerintah untuk Cegah PHK di Industri Padat Karya Berbasis Ekspor

18 Maret 2023, 08:47 WIB
Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI dan Jamsos) Kemnaker, Indah Anggoro Putri.*** /Kemnaker

KORAN PR - Kementerian Ketenagakerjaan menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) untuk mencegah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di industri padat karya berbasis ekspor di tengah kondisi ekonomi global yang tidak menentu.

“Permenaker ini bertujuan untuk memberikan pelindungan dan mempertahankan kelangsungan bekerja pekerja/buruh, serta menjaga kelangsungan usaha perusahaan industri padat karya tertentu berorientasi ekspor dari dampak perubahan ekonomi global yang mengakibatkan penurunan permintaan pasar,” kata Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemnaker, Indah Anggoro Putri, melalui Siaran Pers Biro Humas Kemnaker, di Jakarta, Jumat 17 Maret 2023.

Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI yang dimaksud itu adalah Permenaker Nomor 5 Tahun 2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan Pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor Yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global.

Baca Juga: Pengamat Bilang Permenaker Nomor 5 Tahun 2023 Malah Berpotensi Memotong Upah Pekerja sehingga Harus Dicabut

Putri menjelaskan, kriteria perusahaan industri padat karya tertentu berorientasi ekspor tersebut adalah memiliki pekerja/buruh paling sedikit 200 orang; persentase biaya tenaga kerja dalam biaya produksi paling sedikit sebesar 15 persen.

Selaim itu, industri juga bergantung pada permintaan pesanan dari negara Amerika Serikat dan negara-negara di benua Eropa.

Sedangkan cakupan perusahaan industri padat karya tertentu berorientasi ekspor adalah industri tekstil dan pakaian jadi; industri alas kaki; industri kulit dan barang kulit; industri furnitur; dan industri mainan anak.

“Agar tidak terjadi dampak yang tidak kita inginkan seperti Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), maka industri padat karya sesuai kriteria-kriteria tersebut dapat melakukan pembatasan kegiatan usaha dengan menyesuaikan waktu kerja dan pembayaran upah,” katanya.

Ia menjelaskan, perusahaan industri padat karya tertentu berorientasi ekspor yang terdampak perubahan ekonomi global dapat melakukan penyesuaian waktu kerja, yakni waktu kerja dapat kurang dari 7 jam perhari dan 40 jam perminggu untuk waktu kerja 6 hari kerja dalam seminggu.

Sedangkan untuk waktu kerja 5 hari dalam seminggu, maka waktu kerja dapat kurang dari 8 jam perhari dan 40 jam perminggu.

Baca Juga: Dorong Percepatan Pemulihan Ekonomi, Menaker Tekankan Sinergitas

Pengurangan waktu kerja tersebut, lanjut Indah, tidak dapat diperhitungkan sebagai kekurangan untuk waktu kerja yang akan diterapkan setelah berakhirnya penyesuaian waktu kerja.

“Penyesuaian waktu bekerja tersebut hanya berlaku 6 bulan sejak Permenaker Nomor 5 Tahun 2023 berlaku, serta harus dilakukan berdasarkan kesepaktan antara pengusaha dan pekerja/buruh,” ucapnya.

Sementara terkait penyesuaian upah, Indah Putri menjelaskan bahwa ketentuan Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh paling sedikit 75 persen dari upah yang biasa diterima.

Penyesuaian upah tersebut hanya berlaku selama 6 bulan sejak Permenaker Nomor 5 Tahun 2023 berlaku, serta harus dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama antara pengusaha dan pekerja/buruh.

“Pada dasarnya, pemerintah menetapkan kebijakan penyesuaian upah ini dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional serta, untuk menjaga kelangsungan bekerja dan kelangsungan berusaha,” ujarnya.

Minta dicabut

Sebelumnya, pengamat ketenagakerjaan Timboel Siregar dalam keterangan pers di Jakarta Kamis 16 Maret 2023 meminta agar permenaker ini dicabut.

Dalam pandangannya, Permenaker No. 5 tahun 2023 ini akan menyebabkan upah pekerja di sektor padat karya Industri berorientasi ekspor akan dibayar di bawah ketentuan UMK yang berlaku.

Dikatakan Timboel, kondisi global kembali menjadi tameng alasan untuk memotong upah pekerja. Keinginan pengusaha melakukan No Work No Pay sudah lama dimintakan ke Menteri Ketenagakerjaan.

Lahirnya Permenaker No. 5 ini merupakan legalisasi persetujuan No Work No Pay tersebut.

Menurut Timboel, isi Permenaker No. 5 tahun 2023 ini sangat rawan dimanfaatkan oleh perusahaan lain yang tidak sesuai ketentuan, mengingat peran dan tugas pengawas ketenagakerjaan sangat lemah selama ini.

"Saya yakin Pengawas Ketenagakerjaan tidak akan mampu mengidentifikasi perusahaan yang terdampak perubahan ekonomi global atau tidak," ucapnya.

Baca Juga: Perekonomian Global Kurang Baik, Indonesia Harus Ciptakan Kelangsungan Berusaha dan Bekerja

Bila pemerintah mau peduli terhadap perusahaan padat karya yang berorientasi ekspor yang terdampak pada ekonomi global, maka seharusnya pemerintah memberikan insentif.

Insentif diberikan sehingga bisa menurunkan beban biaya perusahaan. Hal itu seperti pemberian insentif pajak (penurunan nilai pajak badan, pajak ekspor, pajak penghasilan, dsb) dan bantuan lainnya yang memang bisa mendukung kegiatan operasional perusahaan.

Dia mencontohkan, insentif yang bisa diberikan misalnya penjadwalan ulang pembayaran utang, dsb, bukan malah menurunkan upah pekerja yang akan mempersulit pekerja/buruh mencapai penghidupan yang layak. ***

Editor: Kismi Dwi Astuti

Sumber: Rilis

Tags

Terkini

Terpopuler