Parkir di Kota Bandung, Potensi yang Belum Dioptimalkan

19 Februari 2023, 20:45 WIB
DERETAN sepeda motor terparkir di kawasan Jalan Asia Afrika, Kota Bandung, Minggu (19/2/2023). Adanya parkir liar dengan tarif yang tidak sesuai aturan di sejumlah titik keramaian dinilai sangat memberatkan masyarakat, dan berdampak terhadap citra buruk Kota Bandung.* /DENI ARMANSYAH/KONTRIBUTOR "PR" /

KORAN PR - Sebagai destinasi wisata, Kota Bandung selalu menarik untuk dikunjungi. Bila akhir pekan tiba, tingkat kunjungan ke kota kembang cenderung meningkat. Bagi perekonomian masyarakat, fakta ini menunjukkan dukungan positif. Hanya, di akar rumput, kadang kala muncul masalah, salah satunya ”getok tarif parkir”.

Pekan lalu, kasus getok tarif parkir di Bandung mencuat. Sebanyak 4 bus wisata yang parkir di pusat kunjungan Jalan Kebon Kawung digetok tarif parkir Rp 600.000 alias Rp 150.000 per bus.

Menindaklanjuti hal ini, Dinas Perhubungan --melalui Humas UPT Pengelolaan Perparkiran-- menjelaskan bahwa pelaku getok tarif parkir tersebut adalah juru parkir ilegal. Hingga kini, tarif parkir di badan jalan Kota Bandung masih mengacu kepada Peraturan Wali Kota Nomor 66 Tahun 2021.

Terdapat tiga zona pembagian tarif parkir kendaraan di Kota Bandung, yakni zona pusat kota, zona penyangga, dan zona pinggiran. Tarif parkir bus dan truk di zona pusat kota adalah Rp 7.000 per jam, zona Penyangga Rp 6.000 per jam, dan zona pinggiran Rp 6.000 per jam.

Guru besar kebijakan publik Unpad sekaligus Rektor Universitas Al Ghifari Bandung Didin Muhafidin mengatakan, kasus getok tarif parkir sangat bisa terjadi bila kurang pengawasan. Terlebih di tempat kunjungan wisata yang jadi tempat suburnya kemunculan oknum juru parkir ilegal dan nakal.

Menurut dia, kasus seperti ini sedikit banyak mencoreng citra tempat tersebut. Bukan tidak mungkin, pemilik usaha sedikit dirugikan oleh praktik liar tersebut. Oleh karena itu, pengawasan pemberlakuan aturan tarif parkir menjadi diperlukan. Terlebih di tempat-tempat yang tingkat kunjungannya tinggi. Masyarakat yang menjadi korban pun dapat menolak aksi juru parkir ilegal tersebut atau bahkan melaporkannya.

Tempat yang kini juga sedang ramai dikunjungi adalah Masjid Al Jabbar. Kedatangan pengunjung dari berbagai daerah menyebabkan kepadatan lalu lintas di akses yang mengarah ke tempat ibadah yang berlokasi di Gedebage tersebut.

Dengan tingginya kunjungan ini, tak heran jika potensi parkirnya mencapai kisaran Rp 100 juta per hari. Hal ini diungkapkan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang turut senang dengan potensi peningkatan ekonomi bagi masyarakat sekitar masjid.

Menanggapi hal ini, Didin berharap agar segera ditunjuk petugas pengurus perparkiran yang profesional. Melihat potensinya yang luar biasa besar bagi pendapatan daerah, urusan parkir di Al Jabbar bisa dikatakan harus jadi prioritas. ”Mengambil kerja sama dengan pihak ketiga juga tidak masalah asal profesional dan tepercaya. Jangan sampai ada yang main mata dengan pihak lain yang merugikan pemerintah,” katanya.

Sebagai usulan, ia menyarankan untuk melibatkan forum RW setempat untuk mengelola perparkiran. Dikatakan, ini bisa menjadi win-win solution bagi pengelolaan tempat wisata dan juga masyarakat setempat.

Pelayanan publik

Dia menuturkan, pengelolaan parkir merupakan bagian dari pelayanan publik, di mana kunci pelayanan publik ada lima hal. Pertama, harus tangible (nyata) alias harus ada bukti fisiknya. Bahwa sebuah tempat parkir harus memadai, minimal tertata rapi jika ingin dikenakan tarif.

Kedua, memunculkan empati. Bahwa pengunjung yang diharuskan membayar parkir merasa ringan hati saat menitipkan kendaraannya di lokasi parkir. Oleh karena itu, tidak boleh sembarangan menetapkan tarif parkir di luar aturan.

PAPAN informasi tarif parkir terpasang di kawasan Kebon Kawung, Kota Bandung, Minggu (19/2/2023).*

Ketiga, reliable. Artinya, aturan yang berkenaan dengan pembebanan tarif parkir harus bisa dipahami pemilik kendaraan. Ada tolok ukur dan standar tarif yang masuk akal. ”Jadi, tidak boleh ada kasus getok tarif parkir,” ujar Didin.

Keempat, adanya jaminan keamanan kendaraan dari pengelola parkir bagi kendaraan yang dititipkan. Jadi, seharusnya tidak ada klausul yang menyebutkan setiap kehilangan bukan tanggung jawab pengelola parkir.

Kelima, pelayanan publik harus dinamis, harus bisa menyesuaikan dengan situasi dan kondisi. ”Misal, untuk parkir di Al Jabbar, akses ekonominya luar biasa, pedagang dan masyarakat banyak diuntungkan. Dengan demikian, pemerintah yang bertugas mengelola destinasi seperti ini harus lebih profesional lagi dan memberikan kenyamanan bagi pengunjung,” tuturnya.

Tambal kebocoran

Didin termasuk yang percaya bahwa hingga kini, potensi pendapatan dari parkir di Kota Bandung belum dimaksimalkan. Sejak beberapa tahun terakhir, dia menyebutkan bahwa pemberlakuan terminal parkir elektronik (TPE) berpotensi besar terhadap pemasukan daerah. Akan tetapi, sosialisasi yang masih lemah membuat “kinerja” TPE masih belum optimal.

Menurut dia, sebuah kebijakan akan berhasil jika memberlakukan empat faktor. Keempat faktor itu adalah komunikasi, kesiapan sumber daya, aspek disposisi aparatur, dan struktur birokrasi.

Ia mengatakan, dari 445 lokasi yang ada mesin parkir, terdapat sekitar 603 juru parkir yang dipekerjakan oleh Dinas Perhubungan. Kesiapan mereka sebagai ujung tombak kelancaran pemakaian TPE harus diperhatikan.

Didin --yang pernah melakukan riset mengenai retribusi dan pajak parkir Kota Bandung pada tahun 2007-- mengatakan bahwa potensinya bisa mencapai tiga kali lipat. ”Hanya, sering kali pemerintah membuat targetnya di bawah potensi. Misal, targetnya Rp 3 miliar, tapi ternyata potensinya Rp 10 miliar. Saya coba tahun depannya membuat target Rp 12 miliar, ternyata tercapai juga,” ujarnya.

Dia mengakui, adanya TPE bisa menambal kebocoran pendapatan daerah dari sisi retribusi dan pajak parkir. Bahkan, beberapa waktu lalu, kebocorannya bisa mencapai Rp 16 miliar dalam satu tahun.

Meski pendapatannya masih kecil, masih di bawah 10%, tetapi jika dioptimalkan, kata Didin, tentu akan membuat perbedaan. ”Selain diberi bimbingan tekinis, para operator atau petugas parkir juga perlu dibimbing secara spiritualitas, seperti nilai kejujuran. Setahu saya, saat ini, gaji mereka masih di bawah UMR. Jika saja sudah bisa ditingkatkan menjadi UMR, potensi TPE bisa jadi lebih optimal,” kata Didin.

Belum terealisasi

Realisasi atas retribusi parkir dengan 445 terminal parkir elektronik (TPE) di Kota Bandung pada 2022 jauh daripada target. Kepala BLUD UPT Perpakiran pada Dinas Perhubungan Kota Bandung Yogi Mamesa menyampaikan, retribusi parkir 2022 yang terealisasi sebesar Rp 9,73 miliar atau sekitar 39% dari target Rp 25 miliar. ”Belum terealisasi sesuai target,” ucapnya, Minggu (19/2/2023).

Ia mengemukakan sejumlah kendala dalam upaya merealisasikan target capaian retribusi parkir pada 2022. Beberapa di antaranya dampak Covid-19 yang masih terjadi pada 2022, penggunaan terminal parkir elektronik (TPE) atau mesin parkir belum optimal, serta juru parkir ilegal yang mengisi banyak titik parkir di tepi jalan umum (on street).

Menurut dia, Covid-19 turut menimbulkan dampak terhadap kelangsungan beberapa pusat perbelanjaan ataupun tempat makan. Pusat perbelanjaan ataupun tempat makan itu berhenti beroperasi. Alhasil, kawasan tersebut menjadi potential loss retribusi parkir.

Perihal penggunaan TPE yang belum optimal, Yogi pernah menyebutkan, beberapa waktu lalu, bahwa banyak pengendara masih malas membayar di mesin parkir dan memilih menitipkan ke juru parkir. Akan tetapi, juru parkir resmi tetap menyetorkan pembayaran parkir yang masih konvensional dari pengendara.

Ia mengungkapkan bahwa TPE yang ada di Kota Bandung merupakan buatan Swedia. Kendala lainnya, ucap Yogi, terjadi kerusakan dari perangkat keras dan sistem pada sebagian TPE.

Yogi mengatakan, suku cadang TPE itu tidak tersedia di pasar Indonesia. Untuk mengganti suku cadang TPE ke buatan lokal, perlu lebih dulu ada pengembangan. ”Sementara itu, pengembangan atas suku cadang buat lokal untuk TPE memerlukan biaya cukup besar,” ucap dia.

Untuk mengoptimalkan pendapatan asli daerah dari retribusi parkir, mengemuka rencana relokasi TPE sejak lama. Perihal itu, Yogi mengatakan, masih berproses survei atas titik yang menjadi tujuan relokasi.

Berdasarkan laporan ”PR”, pengadaan 445 mesin parkir terjadi pada akhir Desember 2016 dengan nilai Rp 55 miliar. Semula, TPE beroperasi dengan peladen (server) yang berada di luar negeri. Kini, Pemkot Bandung tak lagi menggunakan peladen tersebut.

Berkenaan juru parkir ilegal, pada kesempatan sebelumnya, Humas BLUD UPT Perparkiran Rizky Maulana Yusuf mengatakan, pihak yang menjadi pelaku getok tarif parkir merupakan juru parkir ilegal. Hal itu berdasarkan hasil klarifikasi di lapangan. ”Kami sudah menelusuri di lapangan bahwa pelaku merupakan jukir preman. Jukir preman itu berada di lokasi setelah jam kerja jukir resmi selesai,” tutur Rizky, Senin (13/2/2023).

Perihal itu, pihaknya terus mengadakan operasi bersama polisi dan TNI untuk menindak juru parkir ilegal. Namun, saat ada penindakan, juru parkir ilegal kerap kucing-kucingan dengan petugas.

Rizky mengajak kepada masyarakat agar parkir di tempat dengan jukir berseragam resmi. Dalam hal karcis parkir, masyarakat perlu melihat nomor seri, cap Pemkot Bandung, nominal tarif satu jam pertama dan berikutnya. Terdapat sejumlah warna karcis parkir berdasarkan pembagian zona: hijau untuk pusat kota, merah muda untuk zona penyangga, dan kuning untuk zona pinggiran.

Ketika menjumpai pelanggaran dan kejanggalan berkenaan dengan parkir, dia mengimbau masyarakat menghubungi hotline 081818620165 (aplikasi Whatsapp), alamat email parkirbdg.aduan@gmail.com, atau ke akun Instagram @uptparkirkotabandung maupun layanan Lapor (lapor.go.id).***

Editor: Hazmirullah

Tags

Terkini

Terpopuler