Priangan dalam Lintasan Zaman (3): Status Wilayah Tak Henti Berubah

- 16 Februari 2023, 17:47 WIB
GEROBAK kerbau di Cipadalarang, sebelah barat Bandung. Kemungkinan, foto diambil pada abad ke-19.*
GEROBAK kerbau di Cipadalarang, sebelah barat Bandung. Kemungkinan, foto diambil pada abad ke-19.* /KITLV

KORAN PR - Pada awal abad ke-18 Masehi, VOC telah menguasai wilayah yang begitu luas, terutama di bagian barat Pulau Jawa. Hal itu seiring dengan keberhasilan maskapai dagang Belanda itu menguasai hampir semua aspek kehidupan penduduk pribumi.

Sebenarnya, semua bermula dari keterpaksaan. Dalam catatan Jan Breman, VOC baru mau memasuki wilayah pedalaman Jawa pada paruh kedua abad ke-17 Masehi, itu pun karena keharusan untuk berpihak di medan konflik kekuatan politik pribumi, terutama di Kesultanan Mataram.

Meskipun data yang disajikan tidak begitu lengkap, Otto van Rees (1880) berhasil mencatat, setidaknya terdapat 17 kabupaten (regentschap) di bagian barat Pulau Jawa pada awal abad ke-18 itu. Ia mengecualikan Batavia, pusat kekuasaan VOC.

Ketujuh belas kabupaten itu adalah Limbangan, Sumedang, Parakanmuncang, Bandung, Sukapura, Galuh (terdiri atas tiga “kabupaten”, yakni Imbanagara, Kartabumi, Kawasen), Timbanganten (sejak tahun 1704, bersama Bandung, dipimpin oleh seorang bupati/regent).

Selanjutnya, Gebang (daerah yang dipisahkan lalu dipimpin oleh Panembahan Cirebon), Indramayu (yang dipertimbangkan oleh bupati Sumedang untuk diserahkan kepada Kompeni), Pamanukan dan Pagaden, Ciasem, Karawang, Cianjur (mendapat tambahan daerah Jampang pada tahun 1715, Ciblagong pada tahun 1748, dan Cikalong pada tahun 1752), Bojonglopang (dimasukkan ke Karawang pada tahun 1706), Bojongmalang, Utama (pada tahun 1706, menjadi bagian dari Bojonglopang), dan Pamotan (pada tahun 1706, menjadi bagian dari Imbanagara).

Baca Juga: Priangan dalam Lintasan Zaman (2): Daerah Taklukan dan Daerah Sumbangan untuk VOC

Berdasarkan catatan Jacob Wouter de Klein (1931), wilayah yang demikian luas itu kemudian dibagi menjadi dua kelompok besar, yakni wilayah Jakarta (Het Jacatrasche gebied) dan Priangan yang Sebenarnya (Het Eigenlijke Priangan).

Berikutnya, wilayah Jakarta dibagi lagi menjadi empat bagian, yakni Stad (Kota) Batavia, de Ommelanden (Daerah Sekitar), de Benedenlanden (Daerah Dataran Rendah), dan de Bovenlanden ( Daerah Dataran Tinggi).

Kecuali Stad Batavia, cakupan tiga daerah lainnya dapat dikatakan sumir. Wilayah Ommelanden, misalnya, berdasarkan Statuta Baru (Nieuwe Statuten) 1766, sebagaimana tercatat dalam Plakaatboek IX, mencakup bekas Kerajaan Jakarta.

Menurut Nicolaas Engelhard (kemungkinan, saat menjabat Komisaris untuk Urusan Pribumi 1791-1800), Ommelanden hanya mencakup Meester Cornelis (Jatinegara), Tangerang, dan Marunda. Sementara berdasarkan pembagian resmi, seperti dicatat oleh De Haan (1912), Ommelanden merupakan wilayah yang dibatasi oleh Sungai Citarum, Cisadane, Cikaniki, dan terbentang dari pantai hingga pegunungan.

Kondisi serupa berlaku untuk de Benedenlanden. Van Imhoff (Gubernur Jenderal VOC periode 1743–1750) menyatakan bahwa wilayah itu terbentang hingga ke “gunung agung” (het hooge gebergte: Gunung Gede?). Nicolaas Engelhard menyatakan, de Benedenlanden terbentang hingga ke paal 36. Anehnya, berdasarkan resolutie tanggal 8 Agustus 1806, Buitenzorg --yang berada di paal 50-- justru menjadi bagian dari wilayah ini. Sementara itu, pada masa pemerintahan Daendels (1808-1811), Buitenzorg malah dimasukkan ke Daerah Dataran Tinggi (de Bovenlanden).

Kalangan sarjana juga dibuat pusing untuk mencari batas de Bovenlanden. Resolutie tanggal 9 September 1766 hanya menyebut bahwa de Bovenlanden merupakan wilayah “di luar Jakarta, dengan waktu tempuh 3-4 jam” (3 à 4 uuren en verder buijten dese stad).

Pada tahun 1776, sebagaimana dicatat De Haan (1910), Jacob CM Radermacher (kala menjadi anggota luar biasa Raad van Indie) menyatakan bahwa de Bovenlanden malah mencakup Cianjur, Kampungbaru (Buitenzorg) dan Tangerang, serta beberapa daerah kecil. Akan tetapi, di dalam resolutie tanggal 26 Oktober 1802, dinyatakan bahwa de Bovenlanden merupakan wilayah yang terbentang mulai ”dari Weltevreede hingga ke Regentschappen”.

Tiga kelompok

LANTAS, bagaimana dengan wilayah Priangan? Pada periode 1705-1730, ketika berada di bawah kendali Pangeran Aria Cirebon, wilayah Priangan terdiri atas 9 kabupaten, yakni Limbangan, Sukapura, Galuh, Sumedang, Bandung dan Parakanmuncang, Ciasem, Pamanukan dan Pagaden.

Akan tetapi, pada tahun 1730, hanya terdapat tiga kabupaten yang di bawah perintah Residen Cirebon, yakni Limbangan, Sukapura, dan Galuh. Sementara Kabupaten Sumedang, Bandung, dan Parakanmuncang, per 12 Mei 1730, dimasukkan sebagai bagian dari wilayah Batavia.

Pada periode 12 Mei 1765-28 Mei 1758, sebagaimana dapat dibaca dalam Plakaatboek VII dan Plakaatboek VIII, ketiga daerah itu berada di bawah Cirebon untuk dijadikan “pundi-pundi uang bagi residen”. Setelah itu, ketiganya dikembalikan ke Batavia dan membentuk satu kabupaten bernama Bataviasche-Preanger atau Jacatrasche-Preanger. Soal nasib tiga kabupaten lain, yakni Ciasem, Pamanukan, dan Pagaden, de Klein (1931) mengaku tak menemukan informasi akurat.

Merujuk pada kisah perjalanan sejarah, kabupaten-kabupaten di Priangan dapat dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama adalah Limbangan, Sukapura, Galuh. Pada tahun 1705, ketiganya merupakan bagian dari Cirebon sehingga mengusung nama Kabupaten Cirebon Priangan (Cheribonsche Preanger Regentschappen).

Kelompok kedua dihuni oleh Sumedang, Bandung, dan Parakanmuncang. Pada periode 1730-1758, ketiganya menjadi bagian dari Kabupaten Batavia Priangan (Bataviasche Preanger Regentschappen). Setelah sempat menjadi bagian dari Cirebon, pada periode 1758-1765, ketiganya dikembalikan ke Batavia.

Sementara kelompok ketiga dihuni oleh Cianjur, Kampungbaru (Buitenzorg), Tangerang, Karawang, Ciasem, dan Pagaden. Semua wilayah itu menjadi bagian dari daerah Dataran Tinggi dan Dataran Rendah Jakarta (Jacatrasche Boven- en Benedenlanden).

Reorganisasi wilayah

MERUJUK informasi yang terdapat di dalam Plakaatboek XII, XV, dan XVI, Kabupaten Pagaden dihapuskan pada 1798, diikuti oleh Karawang pada tahun 1809, serta Limbangan dan Sukapura pada 1811. Akan tetapi, pada tahun 1811 pula, Karawang dikembalikan lagi menjadi kabupaten; tetapi itu tak terjadi pada Limbangan dan Sukapura.

Selanjutnya, pada tanggal 16 Februari 1813, Thomas Stamford Raffles memutuskan untuk mereorganisasi kabupaten. Hasilnya, Keresidenan Buitenzorg memiliki lima kabupaten, yakni Cianjur, Bandung, Sumedang, Limbangan, dan Sukapura.

Sementara itu, menurut van Rees (1880), Karawang merupakan bagian yang terpisah dari keresidenan, jabatan bupati dihilangkan, karena hampir seluruh lahan dijual kepada pihak partikelir. Pada saat hampir bersamaan, Kabupaten Parakanmuncang dihapuskan dan lahannya diagih-agih ke sejumlah kabupaten tetangga sekaligus menyelesaikan persoalan perbatasan antardaerah.

Baca Juga: Priangan Dalam Lintasan Zaman (1): Sunda yang Sempat Hilang

Pada masa Hindia-Belanda, dibentuklah Keresidenan Priangan. Berdasarkan Staatsblad Nomor 75 Tahun 1818, keresidenan ini terdiri atas lima kabupaten yang dulu dibentuk Raffles. Setelah itu, melalui Staatsblad Nomor 22 Tahun 1821, Kabupaten Sukapura dihapuskan dan wilayahnya diagih ke Cianjur, Sumedang, dan Limbangan.

Namun, melalui resolutie Nomor 1 18 Oktober 1831, sebagian wilayah Sukapura dikembalikan dan membentuk satu kabupaten. Dengan demikian, menurut de Klein (1930), ketika sistem Priangan (Het Preanger-stelsel) diterapkan, Priangan memiliki lima kabupaten, yaitu Bandung, Cianjur, Sumedang, Limbangan, dan Sukapura.

Selanjutnya, kita bicarakan Galuh. Merujuk Plakaatboek XVI, pada masa pemerintahan Daendels, Galuh dimasukkan sebagai bagian dari Yogyakarta. Akan tetapi, van Rees (1880) menduga, kebijakan itu tak pernah terlaksana. Pasalnya, Raffles --penerus Daendels-- memperlakukan Galuh sebagai daerah yang dapat dikelola secara langsung (rechtstreeksch gebied) sehingga tidak perlu membayar sewa. Lagi pun, kontrak dengan Sultan Yogyakarta sama sekali tidak menyinggung soal pengembalian uang dari pengelolaan wilayah tersebut.

Pada tahun 1813, Galuh dimasukkan sebagai bagian dari wilayah Cirebon. Status Galuh baru berubah pada tahun 1915 (seiring dengan reklasifikasi wilayah Priangan) dan bersalin nama menjadi Ciamis.

Dua tahun sebelumnya, Pemerintah Hindia-Belanda mengubah nama Sukapura (menjadi Tasikmalaya) dan Limbangan (menjadi Garut). Arkian, pada tahun 1921, wilayah Kabupaten Cianjur yang begitu luas dibagi menjadi dua bagian, yakni Kabupaten Cianjur dan Sukabumi.***

Editor: Hazmirullah


Tags

Terkini