Priangan Dalam Lintasan Zaman (1): Sunda yang Sempat Hilang

- 15 Februari 2023, 18:22 WIB
Peta Wilayah Priangan
Peta Wilayah Priangan /Buku Priangan I, De Haan (1910)

Tak hanya itu, belakangan, ditemukan pula kenyataan bahwa orang Sunda disebut sebagai “orang Jawa Gunung” (Berg Javanen). Menurut S.I. Poeradisastra, dalam artikel berjudul “Changing Views of the Sundanese Aristocracy” (1979), orang Sunda tak suka dengan sebutan itu.

“Mereka mengaku bukan bagian dari orang-orang Jawa, tetapi hanya memiliki budaya khas yang, secara kebetulan, mirip dengan kebudayaan Jawa,” tulis Poeradisastra.

Meskipun demikian, Thomas Stamford Raffles --dalam karyanya yang masyhur, the History of Java-- menyatakan, apa pun pendapat mengenai asal usul leluhur penduduk Jawa dan pulau sekitarnya, yang jelas, memang ada kemiripan kuat dalam bentuk fisik, bahasa, dan kebiasaan para penduduk kepulauan (khususnya di wilayah Indonesia kini).

Hal itu membuktikan bahwa, pada masa lampau, mereka berasal dari tempat yang sama. Beberapa perbedaan budaya itu hanya sebagai akibat dari “pemisahan” yang terjadi pada zaman baheula, kondisi lokal, dan juga interaksi dengan pedagang asing, pendatang, atau penduduk lain.

Dapat dikatakan bahwa Sunda sempat “hilang” dari catatan kolonial. Tak hanya orangnya (karena disebut “Jawa”), tetapi juga bahasanya. Salah satu buktinya, ketika prasasti Batutulis ditemukan pada tahun 1690 (melalui ekspedisi lanjutan yang dilakukan oleh Adolf Winkler), tak seorang pun mengetahui aksara Sunda Kuno yang tertatah di sana, apalagi membaca dan memahami isinya.

Menurut Jacob Wouter de Klein, dalam karyanya Het Preangerstelsel (1677-1871) en Zijn Nawerking (1931), bahasa Jawa merupakan bahasa bahasa pengantar di seluruh wilayah Kesultanan Mataram, termasuk “Jawa Barat”, dan tetap bertahan hingga abad ke-19 Masehi.

**

PENYEBUTAN “Jawa” untuk penduduk yang berasal dari dua etnis berbeda itu bukanlah tanpa sebab. Jan Breman, dalam bukunya Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa: Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa, 1720-1870 (2014), menduga bahwa itu terjadi karena VOC menyatakan bahwa tanah Priangan, sampai jauh abad ke-19 Masehi, merupakan daerah yang masih berciri frontier. Kualifikasi itu terutama didasarkan kepada kenyataan akan jarangnya penduduk yang ditemui oleh VOC pada saat menduduki dataran tinggi Priangan.

Tim ekspedisi yang dikirim ke sana mengabarkan bahwa daerah itu merupakan daerah pegunungan dan lembah yang sulit ditembus. Hutan-hutan lebat dan rawa-rawanya dipenuhi oleh segala jenis binatang liar. Harimau dan badak merupakan jenis-jenis binatang yang selalu tercatat dalam daftar para penjelajah awal karena ancamannya terhadap manusia dan tanaman.

Langkanya permukiman yang ditemui di daerah pedalaman memberikan “kosong” dan “miskin”. Kondisi itu pun tercipta di kota atau pedukuhan utama, tempat kedudukan bupati, yang hanya berpenduduk beberapa ratus orang. Itu pun hampir semuanya merupakan bagian dari keluarga bupati.

Halaman:

Editor: Hazmirullah


Tags

Terkini