Riwayat Haji: Lampau dan Kini (5) Abd al-Aziz dan Konferensi yang Gagal

- 15 Februari 2023, 19:00 WIB
JEMAAH tengah menjalankan salat di pelataran Ka'bah pada tahun 1889. Diambil dari buku berjudul
JEMAAH tengah menjalankan salat di pelataran Ka'bah pada tahun 1889. Diambil dari buku berjudul /THE NEW YORK PUBLIC LIBRARY

KORAN PR - ”Saya pergi ke Mekah bukan karena kekuasaan, tetapi untuk menghentikan ketidakadilan yang menimpa penduduk setempat. Saya akan pergi ke tempat di mana Jibril turun dan akan menegakkan hukum Islam (Syari’ah). Tidak akan lagi ada hukum di Mekah, kecuali al-Syari’ah. Setiap orang harus menerima bahwa Mekah diperuntukkan bagi semua Muslim. Dengan demikian, pengurusan dan pengaturan terhadap Kota Mekah harus diterima oleh semua Muslim di seluruh dunia. Kami akan mengumpulkan orang-orang Muslim di sana dan mempertimbangkan pendapat yang membuat Baitullah terhindar dari keserakahan politik”.

Pernyataan itu disampaikan oleh pendiri Kerajaan Arab Saudi, Raja ‘Abd al-’Aziz ibn ‘Abd al-Rahman al-Faishal Ali Sa’ud (1875-1953), pada tahun 1925. Kalakian, ia belumlah menjadi Raja Arab Saudi, tetapi baru sekadar Raja Hijaz, Najd, dan wilayah-wilayah taklukannya (King of Hijaz, Najd, and their annexes). Merujuk Hafiz Wahba, dalam buku Jazirat al-’Arab fi al-Qarn al-’Isyrin (1955), ucapan itu disampaikan kepada penduduk Riyadh (untuk kemudian disampaikan ke serata dunia Islam), menyikapi rumor tentang sepak terjang kaum Wahhabi.

Kita tinggalkan sejenak perbincangan soal ini.

Keberadaan tanah suci, Mekah dan Madinah, membuat Arab Saudi menjadi pusat dunia Islam, bahkan dipercaya pula sebagai poros dunia. Tak heran jika kemudian negeri itu menjadikan Alquran sebagai konstitusi. Selain itu, digunakan pula sunnah (hadits Nabi), ijma’ (konsensus ulama), dan qiyas dalam menentukan hukum tentang segala hal. Menurut Aqil Ibrahim Alqin, dalam disertasi berjudul The Hajj: Past, Present, and Future (The Communication Aspect) (1995), semua bermula dari komitmen para penguasa dari Keluarga Sa’ud (sejak awal abad ke-18 Masehi) untuk menjadikan sistem pemerintahan Khulafaurrasyidin sebagai model.

Baca Juga: Riwayat Haji: Lampau dan Kini (4) Ancaman di Sepanjang Jalan Menuju Mekah

Oleh karena itulah, Alqin menyatakan bahwa kalangan sejarawan bersepakat untuk membagi sejarah Arab Saudi ke dalam tiga fase, yakni periode 1744-1818 (fase pertama), periode 1824-1891 (fase kedua), dan 1902-sekarang (fase ketiga). “Meskipun demikian, hanya rezim pemerintahan saat inilah, terutama sejak Raja ‘Abd al-’Aziz, yang menaruh perhatian khusus terhadap tanah suci Mekkah dan Madinah,” tulisnya.

Periode ini dimulai ketika ‘Abd al-’Aziz, bersama pasukannya, berhasil merebut Kota Riyadh pada tahun 1902. Pada tahun-tahun berikutnya, terutama pada periode 1909-1926, ia berhasil memperluas pengaruh atas sebagian besar Tanah Arab. Walakin, baru pada bulan September 1932, setelah ‘Abd al-’Aziz berhasil mengonsolidasikan posisinya di sejumlah wilayah, Kerajaan Arab Saudi secara resmi memperoleh nama seperti kita kenal saat ini.

Salah satu periode penting Arab Saudi, terutama terkait dengan pelaksanaan ibadah haji, berlaku pada tahun 1925 dan 1926. Berdasarkan catatan Alqin, menjelang akhir tahun 1925, ‘Abd al-’Aziz menaklukkan Hijaz dan pengaruhnya mendominasi di sebagian besar Semenanjung Arab. Tak heran jika kemudian ia mendapat gelar Raja Hijaz, Najd, dan wilayah-wilayah taklukannya (King of Hijaz, Najd, and their annexes). Pada saat itu, keluarga Sa’ud dan keluarga Hasyim berebut pengaruh untuk menguasai Tanah Arab.

Halaman:

Editor: Hazmirullah


Tags

Terkini

x