Riwayat Haji: Lampau dan Kini (2) Bangsa Quraisy & Tiga Golongan Peziarah

- 15 Februari 2023, 03:00 WIB
SUASANA di Padang Arafah pada tahun 1925. Foto karya Abdou & Son, Singapura.*
SUASANA di Padang Arafah pada tahun 1925. Foto karya Abdou & Son, Singapura.* /KITLV

KORAN PR - “Bentuk asli Ka’bah sudah hilang seiring dengan perjalanan masa. Berdasarkan keyakinan umat Islam yang sudah baku, Ka’bah dibangun oleh Nabi Adam, hancur diterjang bandang, lalu dibangun lagi oleh Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail. Berabad kemudian, Ka’bah berubah menjadi tempat peribadatan kaum pagan penyembah berhala. Bangunan Ka’bah yang ada sekarang dibangun pada pertengahan abad ke-17. Ka’bah kembali dibangun karena rusak akibat terjangan air hujan”.

Pernyataan tersebut dapat kita baca di dalam buku berjudul Christians at Mecca karya Augustus Ralli (1909). Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Penerbit Serambi pada tahun 2011.

Sejarah mencatat, sejak awal, hak pemeliharaan Ka’bah berada di tangan bangsa Quraisy. Inilah yang kemudian membuat mereka berkesempatan untuk meninggikan kehormatan, status, dan prestise dengan menjunjung tinggi “tradisi haji”. Bahkan, menurut Aqil Ibrahim Alqin, dalam disertasi berjudul The Hajj: Past, Present, and Future (The Communication Aspect) (1995), bangsa Quraisy membagi para peziarah ke dalam tiga golongan, yakni Hames, Hila, dan Thalsh.

Hames merupakan orang-orang suci. Mereka ini adalah orang-orang Quraisy dan dua suku sekutu mereka, yakni Kinanah dan Khuza’ah. Orang Quraisy dianggap memiliki status paling tinggi di serata tanah Arab. Meski menjalankan “haji”, mereka tidak pergi ke Arafah, sebagaimana golongan peziarah lainnya, tetapi tetap tinggal di al-Haram (Mekah). Alasannya, mereka adalah “milik keluarga tuhan” dan penjaga “rumah-Nya” sehingga tidak setara dengan semua suku di serata Arab.

Perjalanan ziarah kelompok Hames berakhir di Muzdalifah. Soalnya, menurut mereka, ”Kita tidak boleh mengunjungi tempat-tempat suci di luar Mekah”. Saat “berhaji”, kelompok Hames juga tidak menghasilkan lemak dari susu atau mengeringkan susu (memadatkan susu untuk memperlama masa kedaluarsa). Mereka juga tidak pernah berteduh di bawah tenda yang terbuat dari bulu, tetapi menggunakan tenda dari kulit.

Ahmad Al-Sarif, dalam buku Makkah wa al-Madinah fi al-Jahiliyyah wa ‘Ahd al-Rasul (1965), berpendapat bahwa kebiasaan itu dilakukan karena mereka merupakan golongan pertapa (ascetic). Sungguhpun demikian, ditemukan fakta bahwa kelompok Hames mendirikan tenda berwarna merah dan berbentuk kubah (red domes) untuk menunjukkan status sosial selama “berhaji”.

Baca Juga: Riwayat Haji: Lampau dan Kini (1) Setelah ‘Amr bin Luhay Membawa Berhala

Selama “berhaji”, orang-orang Hames enggan memasuki rumah melalui pintu depan karena dianggap berdosa. Selama mengenakan “ihram”, mereka harus memasuki rumah melalui jendela ruangan besar atau memanjat dinding. Selain itu, mereka tetap mengenakan alas kaki tatkala “tawaf”, dengan berlandaskan kepercayaan bahwa kaki mereka tak boleh menyentuh tempat-tempat suci. Penduduk Quraisy juga tidak mengizinkan peziarah untuk membawa makanan sendiri atau menjual segala jenis barang selama berada di Mekah.

Halaman:

Editor: Hazmirullah


Tags

Terkini

x