Riwayat Haji: Lampau dan Kini (1) Setelah ‘Amr bin Luhay Membawa Berhala

- 14 Februari 2023, 20:53 WIB
Lukisan yang memperlihatkan suasana di pelataran Kabah pada tahun 1840.*
Lukisan yang memperlihatkan suasana di pelataran Kabah pada tahun 1840.* /The New York Public Library

SAAT ini, umat Islam memahami haji sebagai rukun Islam kelima. Siapa nyana, rangkaian ibadah itu merupakan ritual yang telah dilakukan oleh rumpun bangsa Semit sejak lama, bahkan sebelum kalender Masehi diciptakan. Aqil Ibrahim Alqin, dalam disertasi berjudul The Hajj: Past, Present, and Future (The Communication Aspect) (1995), mengungkapkan bahwa bangsa Semit-lah yang menyebarluaskan gagasan awal haji. Mereka adalah bangsa Arab dan Yahudi yang bermukim di Semenanjung Arab dan sekitarnya. Pada masa lampau, bangsa ini mencakup orang-orang Babilonia dan Asyiria.

Informasi soal “haji” pada masa lampau dimuat di dalam Kitab Keluaran. Di sana, disebutkan bahwa “Tiga kali dalam setahun, kalian harus merayakan untuk-Ku sebuah hag...” dan “...tiga kali dalam setahun, semua laki-laki harus menghadap kepada Tuhan Yahwe...”. Atas dasar itulah, menurut Alqin, pada dasarnya, haji memiliki konsep “ziarah (pilgrimage)” dan merupakan praktik umum yang dikenal dalam banyak agama.

Tak heran jika kemudian Encyclopaedia of Religion and Ethics memuat lema “pilgrimage” sebagai ‘sebuah perjalanan mengunjungi tempat-tempat suci’. Di dalam agama Katolik, dikenal ibadah untuk menziarahi tempat Yesus menjalani episode awal masa kehidupannya di Palestina, makam para rasul (the threshold of the Apostles) di Roma, atau tempat suci para santa dan martir.

Alqin mengungkapkan, haji pun dapat dikatakan sebagai salah satu tradisi lama yang telah dipraktikkan oleh bangsa Arab setidaknya selama hampir dua setengah abad sebelum kedatangan Islam, tepatnya setelah Nabi Ibrahim diperintahkan Allah untuk mengunjungi Ka’bah. Alquran mengisahkan bagaimana Nabi Ibrahim membangun kembali Ka’bah dengan bantuan sang putra, Ismail, dan disertai dengan kewajiban berhaji. Hal itu sebagaimana termaktub di dalam Alquran Surah Alhajj ayat 26.

Merujuk sejarah Islam, Nabi Ibrahim membangun kembali Ka’bah sebagai tempat berlindung dan keamanan bagi orang-orang yang beriman kepada Tuhan. Akan tetapi, setelahnya, Ka’bah justru menjadi panteon yang penuh dengan patung untuk penyembahan berhala. Kalangan sejarawan bersepakat bahwa ‘Amr bin Luhay adalah orang Arab pertama yang membawa berhala ke Mekah. Terdapat banyak berhala di dalam dan di sekitar Ka’bah. Sungguhpun demikian, Hubal merupakan berhala utama karena ia ditempatkan di atas Ka’bah.

Sejumlah sumber sejarah mengungkapkan bahwa terdapat setidaknya 360 berhala di sekitar Ka’bah. Kemungkinan besar, menurut Alqin, jumlah itu berkaitan dengan jumlah hari dalam setahun. Semuanya memiliki nama.

Alquran menginformasikan tentang nama sebagian dari berhala itu, seperti Latta, ’Uzza, Manat, Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr. Informasi ini dapat dilihat di dalam Surah Nuh ayat 23. Dinyatakan bahwa kaum pagan Mekah bersembahyang pada pagi hari di depan Ka’bah. Semua orang mengambil sikap hormat dan membungkuk, tetapi sikap bersujud lebih disukai.

Menurut A.M. al-Azraqi, dalam buku Akhbar Makkah (1965), setelah Nabi Ibrahim membangun kembali fondasi Ka’bah, Malaikat Jibril memerintahkannya (bersama Ismail) untuk mengelilingi “rumah Allah” itu sebanyak tujuh kali. Setelah itu, Ibrahim dan putranya Ismail diminta berdoa di belakang maqam (tempat di sebelah Ka’bah). Arkian, Jibril juga menunjukkan kepada ayah dan anak itu semua tempat suci, seperti Mina, Muzdalifah, dan Arafah.

Selama berabad-abad berikutnya, orang-orang Arab mengikuti rute Ibrahim pada saat mengunjungi tempat-tempat suci. Terdapat banyak kuil yang mereka kunjungi, tetapi Mekah merupakan satu-satunya lokasi paling penting. Bahkan, dikatakan bahwa leluhur bangsa orang Arab secara rutin berziarah ke Mekah selama sekitar 25 abad sebelum kehadiran Islam.

Halaman:

Editor: Hazmirullah


Tags

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x