Sistem Penilaian Publikasi Ilmiah Perlu Diperbaiki

- 29 Maret 2023, 00:05 WIB
MAHASISWA mempelajari terbitan artikel jurnal di Perpustakaan UIN Bandung di Jalan A.H Nasution, Kota Bandung, Selasa (28/3/2023). Beberapa tahun ke belakang, pemerintah menggenjot mutu perguruan tinggi agar setara dengan kampus terkemuka dunia. Salah satunya adalah memperbanyak publikasi di jurnal internasional bereputasi, yang dimaknai sebagai jurnal terindeks Scopus.*
MAHASISWA mempelajari terbitan artikel jurnal di Perpustakaan UIN Bandung di Jalan A.H Nasution, Kota Bandung, Selasa (28/3/2023). Beberapa tahun ke belakang, pemerintah menggenjot mutu perguruan tinggi agar setara dengan kampus terkemuka dunia. Salah satunya adalah memperbanyak publikasi di jurnal internasional bereputasi, yang dimaknai sebagai jurnal terindeks Scopus.* /KHOLID/KONTRIBUTOR "PR"


KORAN PR - Pemerintah harus memperbaiki sistem penilaian publikasi ilmiah di tanah air. Pada saat yang sama, kebijakan yang mewajibkan mahasiswa S3 untuk memiliki publikasi ilmiah di jurnal bereputasi harus segera ditinjau ulang. Demikian dikatakan Ketua Forum Dewan Guru Besar Indonesia (FDGBI) Prof. Arief Anshory Yusuf saat dihubungi "PR" di Bandung, Selasa 28 Maret 2023.

Carut marut persoalan jurnal ilmiah bereputasi internasional di kalangan akademisi dan juga mahasiswa S3, ungkap Arief, harus segera dicarikan jalan keluarnya. Kondisi yang terjadi saat ini tidak bisa dibiarkan terus berlarut.

Menurut Arief, secara umum tidak ada yang salah dengan pemahaman jurnal bereputasi internasional itu “disederhanakan” menjadi jurnal yang ter-indeks oleh Scopus. Alasannya, Scopus meng-cover semua jurnal yang ada di dunia. Dengan kata lain tidak ada jurnal internasional yang bagus dan sangat baik yang tidak terindeks Scopus.

Hanya memang, ia mengakui, sistem yang dimiliki Scopus tidak sempurna. Sehingga, masih ditemukan adanya jurnal abal-abal yang masuk di Scopus. Namun, Arief memaparkan, jumlahnya sebetulnya sangat sedikit. Dari 43.000 jurnal yang terindeks Scopus hingga Januari 2023, baru ada 772 judul jurnal yang dianggap jelek atau discontinue.

“Artinya 0,2% yang bermasalah. Tapi, seperti kata pepatah gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga,” katanya.

Celah

Kembali ke persoalan yang tengah ramai diperbincangkan, Arief mengatakan, masalahnya bukan pada Scopus tetapi ada di masing-masing individu. Apalagi harus diakui, bahwa di Indonesia terdapat sejumlah orang yang berupaya mencari celah dan berniat jelek.
Pada saat yang sama, sistem publikasi di negara ini masih kurang baik. Dengan kata lain, jurnal penyuplai kejahatan, demand-nya juga ada. Mereka saling bertemu dalam waktu yang sangat singkat.

Arief mengatakan, persoalan publikasi ilmiah ini harus dilihat dari faktor eksternal dan internal. Dari sisi internal, tidak sedikit individu yang berniat tidak baik atau secara etika moral tidak baik. Persoalan jurnal ilmiah yang dipublikasi di jurnal yang tidak berkualitas merupakan bagian dari etika moral yang tidak baik tersebut.

“Itu persoalan kejujuran. Bikin artikel yang jelek kok bisa masuk hanya dengan bayar sedikit. Orang kok tidak jujur, padahalkan sebagai edukator kejujuran itu penting. Mahasiswa nyontek saja kita marahin, yang joki kita hukum. Ini kan double standar,” katanya.

Arief menyadari, untuk menyelesaikan persoalan ini tidak bisa mengandalkan moralitas seseorang. Maka yang perlu dilakukan adalah membuat sistem yang bisa mencegah hal tersebut. Namun sayangnya sistem di negara ini belum bisa melakukan hal tersebut.

“Harusnya diperketat. Satu-satunya sistem diktir yang sistem insentif. Tapi ini pun masih belum merefleksikan kualitas, masih ditataran kuantitas. ini yang diperbaiki. Harus gercep. Berbahaya jadinya, ketika malah digunakan orang yang tidak jujur, kemudian mendapatkan credential, insentif, malah mendapatkan jabatan kemudian membuat policy,” katanya.

Unpad, ungkap Arief, secara bertahap mulai memperbaiki sistem yang dimiliki. Misalnya, saat ini perguruan tinggi tersebut mulai beranjak dari Scopus menuju ke Web of Science. Artikel yang masuk ke jurnal yang terindeks WOS mendapatkan insentif yang sangat besar.

“Bertahap tidak bisa sekaligus. Memang harus lebih cepat lagi. Tapi problemnya di Indonesia, masalah publikasi ini masih belajar,” katanya.

Lebih lanjut, Arief mengatakan, kebijakan lain yang harus segera ditinjau ulang adalah syarat publikasi bagi S3. Kebijakan tersebut adalah salah satu biang kerok persoalan yang terjadi saat ini. Mahasiswa mestinya bukan diwajibkan melainkan didorong untuk publikasi.

Ia menuturkan dari penelitian yang ia lakukan dengan mengguakan data FEB Unpad, dari 175 artikel abal-abal yang pernah dipublikasi FEB Unpad selama periode 2010-2021, sebanyak 125 artikel merupakan mahasiswa sebagai penulis pertama.
“Ini terjadi karena ada kebutuhan mahasiswa. India sudah menghapus kebijakan ini. Inggris, Australia, AS pun tidak memiliki kebijakan ini,” katanya,

Arief mengatakan, kebijakan publikasi tersebut tidak terlepas dari masih rendahnya publikasi yang dihasilkan negara ini. Dengan kata lain kebijakan tersebuy bertujuan untuk meningkatkan publikasi yang diproduksi akademisi tanah air di kancah internasional.

“Tapi ini kan rendah karena salah dosennya bukan mahasiswa. Kenapa jadi seolah anak yang menanggung kesalahan orangtua. Kebijakan publikasi mahasiswa S3 ini perlu ditinjau ulang,” katanya.

Skema publikasi

Pelaksana tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Nizam mengatakan, publikasi ilmiah merupakan salah satu tolok ukur produktivitas perguruan tinggi kelas dunia. Pasalnya, berbagai lembaga pemeringkatan perguruan tinggi menggunakan data publikasi ilmiah sebagai salah satu indikator pemeringkatan.

Menurut dia, jumlah publikasi ilmiah Indonesia menunjukkan peningkatan dalam tujuh tahun terakhir. Pada 2021, jumlah publikasi ilmiah Indonesia tercatat mencapai 50.000 publikasi per tahun. Hal ini mendongkrak peringkat publikasi ilmiah Indonesia dari peringkat 56 dunia naik ke peringkat 21 dunia.

“Dari sisi kuantitas, produktivitas publikasi di Indonesia tumbuh secara eksponensial. Tugas kita saat ini adalah meningkatkan kualitasnya," tutur Nizam belum lama ini.

Nizam menambahkan, saat ini tercatat ada 15.000 jurnal ilmiah di Indonesia. Sekitar 7.600 jurnal sudah terakreditasi SINTA. Namun dari 7.600 jurnal tersebut hanya 118 jurnal yang bereputasi internasional, masuk dalam Quartile (Q) 1-3. Nizam berharap dalam waktu yang tidak lama lagi 500 jurnal ilmiah Indonesia mampu terakreditasi dan bereputasi internasional dan masuk dalam Q1-Q3.

“Harapan kita, 500 jurnal domestik mampu terindeks dan bereputasi internasional," ujar Nizam.

Sekretaris Ditjen Diktiristek Tjitjik Srie Tjahjandarie mengatakan, pihaknya telah merancang skema untuk memancing jumlah publikasi ilmiah di jurnal bereputasi kelas dunia. Ia mencontohkan insentif dana dari APBN untuk dosen atau peneliti di PTN-BH yang berhasil masuk ke jurnal bereputasi internasional.

Tjitjik menjelaskan, besaran insentif per artikel ilmiah disesuaikan dengan standar biaya pada masing-masing Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH). Satu orang dosen atau tenaga kependidikan dapat menerima insentif lebih dari satu artikel ilmiah.

“Tentunya harus memenuhi persyaratan dan kriteria penerima manfaat yang telah ditentukan. Selain itu untuk pencairannya perlu melengkapi dokumen antara lain proposal usulan, dokumen kontrak, dokumen perubahan RKAT yang memuat dana insentif, dan dokumen pancairan dana,” ujar Tjitjik. ***

Editor: Suhirlan Andriyanto


Tags

Terkini

x