Dari Timur ke Bekasi demi Belajar Mengaji

- 27 Maret 2023, 23:18 WIB
SEJUMLAH santri membaca Alquran di POndok Pesantren Al-Fatih Kaaffah Nusantara, Setu, Kabupaten Bekasi.
SEJUMLAH santri membaca Alquran di POndok Pesantren Al-Fatih Kaaffah Nusantara, Setu, Kabupaten Bekasi. /TOMMI ANDRYANDY/"PR"

KORAN PR - RIUH namun tetap merdu, begitu kesan pertama memasuki Pondok Pesantren Nuu Waar Yayasan Al-Fatih Kaaffah Nusantara (AFKN) Desa Tamansari Kecamatan Setu Kabupaten Bekasi. Nyaris sepanjang waktu, para santriawan dan santriwati menghabiskan waktunya di masjid. Mereka menamatkan membaca Alquran, bahkan hingga ratusan kali dalam sehari.

 

Mencetak para penghafal Alquran memang menjadi spesialisasi Pondok Pesantren Nuu Waar Yayasan Al-Fatih Kaaffah Nusantara (AFKN) . Namun, sisi spesial tidak hanya dari getolnya menghatamkan Alquran, melainkan asal muasal pesantren ini berdiri dan siapa saja yang menjadi santri.

Ya, keunikan dari Nuu Waar yakni para santrinya yang mayoritas berasal dari berbagai daerah di Indonesia bagian timur. Sebut saja, Maluku, NTT, NTB hingga Papua dan Papua Barat merupakan daerah pemasok santri terbanyak di pesantren ini. Selain itu, ada pula santri yang berasal dari Sulawesi, Jawa dan Sumatera.

Banyaknya santri dari Indonesia bagian timur tidak lepas dari perjalanan sang pendiri pesantren, KH Muhammad Zaaf Fadzlan Robbani Garamatan. Beliau merupakan ulama asal Kabupaten Fakfak, Papua Barat yang telah menyiarkan agama Islam ke berbagai pelosok di Papua.

“Dari perjalanan menyiarkan dakwah, beliau melihat banyak masyarakat miskin dan pendidikannya tertinggal. Karena mungkin sangat di pelosok jadi tidak tersentuh program pemerintah. Dari situ, dia memberanikan diri datang ke Jakarta membuka pesantren dan membawa putra-putri Papua,” kata Kepala Divisi Umum Pesantren Nuu Waar Ustaz Muhammad Jufri kepada “PR”, belum lama ini.

Jufri mengatakan, pertama kali pesantren ini berdiri pada 2002 lalu. Ketika itu KH Fadzlan menyewa sejumlah rumah di Kota Bekasi untuk menampung para santri yang didatangkan dari Papua. “Saat itu karena tempatnya masih ngontrak, belum pindah ke sini. Baru sebatas penampungan, bukan pesantren seperti sekarang,” ucap pengajar yang juga berasa dari Papua ini.

Selanjutnya, pada 2015, upaya KH Fadzlan untuk membangun pesantren akhirnya benar-benar terealisasi. Jufri mengatakan, KH Fadzlan berhasil membeli lahan yang kini ditempati. Lahan itu kemudian diberi nama Pesantren Nuu Waar.
“Nuu Waar juga asalnya dari bahasa Irian. Nuu berarti cahaya, Waar artinya menyimpan rahasia alam,” ucap Jufri.

Buka wawasan

Jufri mengatakan, KH Fadzlan sengaja membangun pesantren jauh dari kampung halamannya di Papua agar para santri bisa membuka diri dan terbuka wawasannya. Kelak putra-putri asal Indonesia timur bisa mengembangkan diri, lalu kembali untuk memajukan kampung halamannya.

“Kenapa kami buat pesantren di Jawa Barat? Bukan di Papua saja? Malahan kami rekrut santri dari Papua agar kami bawa ke sini. Pertama alasannya karena lebih dekat dengan ibu kota. Kedua agar membuka pola pikir mereka, kalau di sana pola pikir anak-anak akan begitu saja. Kalau di sini ada banyak hal baru yang bisa mereka lihat," ungkapnya.

Setelah puluhan tahun berdiri, Pesantren Nuu Waar telah mencetak lebih dari 7.000 orang lulusan yang tak hanya sebagai penghafal Alquran, melainkan ahli di bidang kesehatan dan pendidikan. Para santri pun setelah lulus diminta kembali ke tanah kelahiran untuk mengabdi.

“Lulusan alumni kami setelah lulus ada pengabdian dulu selama setahun, kami bekali peralatan medis, kemudian kami pulangkan ke daerah masing-masing untuk membangun daerahnya sendiri dengan bekal ilmu yang mereka pelajari di sini," kata Jufri.

Jufri menjelaskan, sistem perekrutan calon santri berawal dari jaringan alumni yang telah selesai mengenyam pendidikan di Ponpes Nuu Waar hingga lulus kuliah. Para alumnus ini yang kemudian merekomendasikan putra-putri di kampungnya untuk belajar di Nuu Waar.

"Di tiap daerah kan kami ada alumni, mereka nanti jadi perwakilan kami di sana. Ada yang dari Kaimana, Raja Ampat, Jayapura, Fakfak, Ambon dan Indonesia Timur lainnya. Mereka lah yang mengajukan anak-anak di daerahnya untuk disekolahkan di sini," ungkap Jufri.

Sebanyak 80 persen kuota santri sengaja diperuntukkan bagi anak-anak dari Indonesia Timur yang tidak mampu untuk bersekolah. Biaya perjalanan, sekolah, kuliah, makan dan lainnya, dibayarkan oleh pihak yayasan.

“Kami biayai mereka, semua free, mulai tiket datang ke sini, sekolah sampai SMA, lalu lanjut kuliah, biaya makan dan lainnya. Mereka nanti kalau pulang minimal harus S1. Setelah lulus SMA di sini, ada pengabdian 1 tahun, biar mereka enggak kaget kalau berkuliah di luar pondok. Kemudian kuliah, setelah lulus ada pengabdian lagi setahun di sini. Lalu mereka baru boleh pulang ke daerahnya,” katanya.

5.500 kali

Setiap memasuki bulan puasa, aktivitas di pesantren makin meningkat dengan digelarnya Kampung Halaman Ramadan. Ada 750 santri yang saban hari menghabiskan waktu membaca alquran di masjid. Dari hari pertama puasa hingga Idulfitri nanti, mereka tinggal di pesantren.

Tidak pulang kampung lantaran jaraknya yang jauh. Hanya saja, ada beberapa santri yang dijenguk oleh keluarga yang tinggalnya tidak terlampau jauh.
Karena fokus pada menghafal Alquran, sepanjang hari pun digunakan untuk mengaji. Tidak tanggung-tanggung, pesantren menargetkan 5.500 kali khatam alquran dalam sebulan ini.

“Kegiatan kami isi dengan khataman Alquran. Awalnya dari 100 kali, naik jadi 200 kali, 500 kali, sampai sekarang target kami jadi 5.500 kali khataman selama sebulan ful di bulan Ramadan,” kata Jufri.

Keunggulan pesantren ini pada mencetak penghafal Alquran. Untuk itu, anak-anak yang mengenyam pendidikan setara SD juga diajarkan untuk bisa membaca Alquran sedari kecil, sejak duduk di bangku kelas I SD.

“Bahkan belum seminggu ini, kami sudah khatam 1.800 kali. Itulah kegiatannya, menghabiskan waktu seharian di masjid. Jadi mereka sudah terbiasa, baik anak-anak SD yang masih kecil, sampai yang dewasa. Kami targetkan memang masuk SD harus sudah bisa baca Alquran. Karena salah satu keunggulan pesantren kami ini adalah mencetak tahfidz quran dan hadist," kata Jufri.

Ismed (15), salah satu santri yang berasal dari Ambon sudah empat tahun nyantri di Nuu Waar. Bocah yang duduk di kelas X SMP ini mengaku menempuh perjalanan berhari-hari menggunakan kapal laut dari kampung halamannya menuju Bekasi.

Kendati sedih harus berpisah dengan keluarga, Ismed tetap teguh menggapai cita-citanya menjadi ustaz. “Dulu naik kapal laut ke sini. Ya saya sedih harus pisah sama orangtua. Tapi karena memang kemauan sendiri untuk memperdalam ilmu agama, jadi saya berangkat mondok di Bekasi," kata Ismed.

Tahun ini, Ismed beserta santri lainnya terpaksa tidak bisa merayakan Lebaran bersama keluarga. Mereka hanya bisa melepas rasa rindu melalui video call dari telefon genggam yang dipinjamkan pihak yayasan seminggu sekali.

Kendati demikian, para santri ini tidak gentar meski jauh dari keluarha. Bahkan mereka bertekad, hanya akan pulang ketika sudah berhasil nanti. “Mungkin saya baru akan pulang setelah lulus kuliah dan kalau sudah layak jadi ustaz. Ibu dan Bapak, saya mohon doanya," ucapnya. ***

 

Editor: Suhirlan Andriyanto


Tags

Terkini

x