Transformasi Media Massa yang (Harus) Saling Menghidupkan Bukan Mematikan

- 23 Maret 2023, 23:14 WIB
Halaman muka koran Pikiran Rakyat edisi Kamis 6 januari 2022.
Halaman muka koran Pikiran Rakyat edisi Kamis 6 januari 2022. /Pikiran Rakyat/

KORAN PR - MEMBACA koran artinya membentangkan lembar demi lembar kertas yang tercetak dengan tinta hitam. Seraya mata menelusuri deretan kalimat berisi artikel bernas yang tersusun rapi, aroma kertas menguar menyesapi indera penciuman. Sebuah aktivitas yang barangkali sudah ditinggalkan -atau dilupakan banyak orang. Kemajuan teknologi dan informasi yang kian pesat dan melahirkan kebiasaan baru, seringkali digadang-gadang sebagai penyebabnya.

 

Pada era digital seperti sekarang ini, manusia secara umum memiliki gaya hidup baru yang tidak bisa dilepaskan dari perangkat elektronik. Mungkinkah koran -yang sering dijuluki sebagai kebiasaan "lama", bisa dan akan bertahan?

Senjakala media cetak sudah sering digaungkan. Koran-koran bereputasi dunia dan nasional sudah lebih awal menelan pil pahit tersebut. Ada yang bertransformasi tanpa melahirkan edisi digitalnya, ada pula yang terlihat mulus menjalankan transformasi menuju bentuk digital yang sesuai dengan perkembangan zaman.

Dalam buku karya Agus Sudibyo yang berjudul Media Massa Nasional Menghadapi Disrupsi Digital, terlihat jelas dua pertaruhan penting yang tengah dihadapi. Pertama, pertaruhan yang sedang dihadapi media massa beserta produk pokok jurnalistiknya, yang selama dua dekade terakhir mengalami disrupsi digital. Kedua, pertaruhan pertama itu memunculkan pertaruhan berikutnya, bahwa nasib buruk yang dihadapi media masa akan membawa dampak buruk bagi demikrasi di Indonesia.

Agus menyebutkan, disrupsi digital memunculkan problem eksistensial pada bisnis media massa. Model lama bisnis yang mengandalkan iklan dan pelanggan sebagai sumber pendapatan utama tergerus drastis dengan kehadiran platform digital.

Singkatnya, model baru bisnis yang dibawa teknologi digital membawa dampak ikutan yang tidak kalah gawat, yakni menurunnya kualitas pemberitaan. Penurunan pendapatan yang diperoleh perusahaan media massa memaksa mereka memangkas pengeluaran untuk produksi berita.

Sebagaimana kita tahu, berita yang berkualitas bertumpu pada proses verifikasi. Proses ini melibatkan banyak teknik untuk penggalian fakta, pengujian kebenaran faktual, pengutamaan orisinalitas, dan sejumlah segi lain lagi. Proses kerja jurnalistik itu memerlukan biaya.
Tantangan lain, penurunan kualitas pemberitaan juga terjadi melalui jalur adaptasi yang dilakukan oleh para pengelola media massa terhadap mekanik dan logika baru yang dibawa platform digital. Praktiknya, bots dan algoritma platform digital mampu menciptakan engagement dengan audiens sekaligus menentukan proses diseminasi serta distribusi pemberitaan dari media. Pada akhirnya, banyak yang cenderung mengedepankan volume traffic atau klik agar bisa menangguk iklan programatik yang digawangi platform digital.

Eksistensi

Dewan Pers bersama Tim Peneliti dari Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) pernah mempublikasikan hasil penelitian tentang kepercayaan khalayak terhadap media arus utama pada tahun 2019. Salah satu bagian dari penelitian itu meneropong juga soal eksistensi surat kabar cetak dan kepercayaan publik terhadapnya.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian tersebut dilakukan melalui sistematik random sampling di 34 provinsi di Indonesia. Adapun total sampel kajian sebesar 1.020 responden.

Untuk konsumsi surat kabar harian, mayoritas responden sudah tidak pernah membaca koran. Sebanyak 34 persen responden menyatakan hampir tidak pernah membaca surat kabar harian.

Namun demikian, 24,9 persen responden menyatakan masih membaca Surat Kabar Harian setiap hari. Sebanyak 30,1 persen responden membaca surat kabar harian dengan frekuensi 1-2 kali seminggu dan 10,5 persen responden menyebutkan membaca surat kabar harian kurang dari 5 kali sebulan.

Ini artinya, walaupun tiras surat kabar menurun karena jumlah pembaca surat kabar harian berkurang, namun pembaca surat kabar harian di Indonesia masih ada, dengan keberadaan versi daringnya.

Selain itu, sebanyak 44,71 persen responden hampir tidak pernah membaca media cetak jenis mingguan, tabloid atau pun majalah berita. Di sisi lain, sebanyak 29,31 persen responden membaca surat kabar mingguan/tabloid/majalah berita sebanyak 1-2 kali seminggu.

Berdasarkan penelitian itu, tingginya penggunaan internet bisa jadi berdampak pada beralihnya konsumsi media pada masyarakat, sehingga penggunaan media cetak tidak terlalu tinggi. Ini sama seperti halnya media surat kabar harian. Untuk surat kabar mingguan/tabloid/majalah berita juga masih mampu mendapatkan kepercayaan publik.

Hasil penelitian pun menunjukkan tingkat kepercayaan tertinggi pun sebenarnya hanya pada tingkat ‘cukup percaya’ (48,43%) dan ‘percaya' (30,70%) terhadap surat kabar harian. Adapun responden yang menjawab sangat percaya sebesar 4,31%. Kemudian yang memiliki kurang percaya 14,31% dan tidak percaya 2,25%.

Terdapat beberapa alasan responden percaya terhadap suatu media. Alasan terbesar adalah data dan fakta yang disajikan (65,88%). Mengikuti kemudian alasan nama media yang terpercaya menjadi salah satu sebab responden percaya terhadap suatu media (20,49%). Selain itu, terdapat faktor narasumber berita juga yang menjadi alasan responden percaya terhadap suatu media. Namun alasan narasumber berita ini relatif lebih kecil dibandingkan dua alasan sebelumnya, yakni 13,63%.

Roh jurnalisme

Pengamat media Dr Septiawan Santana Kurnia berpendapat, realita berupa tantangan koran yang semakin tinggi akibat perubahan zaman memang nyata adanya. Akan tetapi, masih ada hal yang menggembirakan.

Di beberapa daerah, media massa konvensional masih menunjukkan tajinya. Televisi disebutkan masih mendominasi porsi belanja iklan di paruh pertama tahun 2022. Laporan Nielsen Ad Intel menyebutkan, total belanja iklan televisi mencapai Rp 107,5 triliun di semester I 2022. Sedangkan di industri media massa cetak, banyak pula produk yang masih mampu menopang bisnis perusahaan secara keseluruhan.

“Dari asumsi itu, saya melihat bahwa media cetak masih belum punah oleh digital. Di beberapa daerah, surat kabar masih dibutuhkan. Saya tidak tahu persis karena belum melakukan riset, tapi media cetak masih dibaca oleh komunitas-komunitas, tokoh penting dan pembuat keputusan, yang melihat koran sebagai alat komunikasi untuk mencegah hoaks,” tutur Septiawan, Kamis 23 Maret 2023.

Dia berasumsi, perangkat, model, dan terpaan komunikasi yang dihadirkan media cetak -terutama di daerah yang memang belum secanggih kota-kota besar untuk penetrasi digital dan online, ternyata masih dibutuhkan. Di daerah, perangkat pemerintahan juga kuat, sehingga masih banyak pula yang berlangganan baik secara individual maupun organisasi.

“Sebagai promosi kebijakan? Tidak juga. Karena mereka sudah aware terhadap kecepatan digital dan medsos juga. Jadi, koran bukan sekadar alat promosi, melainkan juga alat penyampai informasi,” katanya.

Sejarah komunikasi mencatat berbagai ramalan yang disebutkan akan terjadi terkait suatu medium media massa, seiring perkembangan zaman dan kehadiran media massa baru. Namun pada kenyataannya, tak banyak yang terbukti.

“Artinya, prediksi-prediksi bahwa adanya kematian media, saya masih meragukannya. Saya belum bisa memastikannya. Dulu disebutkan radio dan televisi akan mati, tapi nyatanya sekarang masih hidup dan dibutuhkan. Justru sejarah media mengatakan bahwa sesama media bisa saling menghidupkan, bukan mematikan,” tutur Septiawan.

Terhadap tantangan media cetak yang diperkirakan semakin terjal di masa mendatang, Septiawan berpendapat untuk tetap menggunakan asas jurnalisme yang sehat dan baik, yang juga menjaga marwah perjuangan pers Indonesia sebagai alat kecerdasan bangsa.

Septiawan menyebutkan, media massa cetak seperti Pikiran Rakyat adalah sejarah hidup Jawa Barat. Pikiran Rakyat merekam dan melaporkan perkembangan Jawa Barat dalam segala seginya. Baik pemerintahan, masyarakat, sampai kehidupan sehari-hari yang dinamis.

Bahkan ketika media sosial tengah mewabah, kualitas informasi, kredibilitas, dan kebertanggungjawaban kepada publik tetap diperlukan. Sehingga, keandalan dan validitasnya bisa dipercaya. Dengan begitu, media cetak memiliki kebertanggungjawaban lebih dibandingkan media massa lain, termasuk media sosial. ***

 

Editor: Suhirlan Andriyanto


Tags

Terkini