Baheula, Pemakaian Bahasa Sunda Lebih Egaliter

- 17 Maret 2023, 22:59 WIB
SEORANG siswa saat menyelesaikan Pekerjaan Rumah (PR) Bahasa Sunda di Jalan Caringin, Kota Bandung, Kamis (16/3/2023).
SEORANG siswa saat menyelesaikan Pekerjaan Rumah (PR) Bahasa Sunda di Jalan Caringin, Kota Bandung, Kamis (16/3/2023). /KHOLID/KONTRIBUTOR


KORAN PR -  SALAH satu kata yang kerap dinilai kasar dalam bahasa Sunda itu adalah aing. Kata aing dalam bahasa Indonesia memiliki arti saya, aku. Meski begitu, hal tersebut tak seluruhnya berlaku di wilayah luar Jabar yang sejumlah warganya berbahasa Sunda.
Di wilayah Provinsi Banten misalnya, kata aing dipakai dalam bahasa pergaulan sesama anak mudanya. 

 

"(Pemakaian kata) aing itu hal lumrah untuk seumuran apalagi di kalangan mahasiswa di sini," kata Ahmad Khudori, 23 tahun, mahasiswa Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten saat dihubungi, Kamis 16 Maret 2023.

Khudori juga mencontohkan pemakaian bahasa Sunda di Kota Serang yang lebih egaliter atau cenderung tak mengenal undak-usuk basa. "Yang muda yang lebih tua menganggap bahasa (Sunda) lebih egaliter, hilang konteks kasar dan halusnya. Kata maneh atau kamu pun yang terkadang dianggap kasar atau tak pantas justru menjadi tanda kasih sayang dari orangtua ke anak, teman ke teman. "Biasanya maneh itu (dipakai) menegur," ujarnya.

Apabila ditelusuri dalam naskah atau teks Sunda kuno, kata-kata dalam bahasa Sunda yang kini dianggap kasar justru biasa saja dipakai orang-orang tempo dulu. Cerita/kisah Bujangga Manik umpamanya, bertabur kata-kata aing, sia (kamu). Teks Sunda kuno yang ditaksir dibuat abad ke-15 atau awal abad 16 tersebut tak memperlihatkan adanya tingkatan-tingkatan bahasa.

Kata aing contohnya, justru dipakai Bujangga Manik ketika berbicara dengan ibunya. Padahal, lokasi mereka bercakap itu berada di lingkungan Istana Pakuan, dan status Bujangga Manik adalah tohaan atau pangeran di istana tersebut. Apabila anak sekarang menyebut aing kala berpamitan dengan ibunya, ia pasti dicap tak sopan dan durhaka.

"Aing dek leu(m)pang ka wetan (Ananda kan pergi ke arah Timur)," Demikian ucapan Bujangga Manik berpamitan ke ibunya di Istana Pakuan saat akan melakukan perjalanan ke Timur dalam buku, Tiga Pesona Sunda Kuna karya J Noorduyn dan A Teeuw.

Saat berpamitan kedua kalinya selepas pulang dari perjalanan pertama, Bujangga Manik juga sempat menggunakan kata tersebut. Kali ini, perpisahan sang rahib Hindu-Sunda tersebut dengan ibunya cukup sentimental. Pasalnya, Bujangga Manik pergi dan tak akan kembali ke Pakuan.

Ia akan mengembara hingga menemui kematiannya. "Pigeusaneun aing paeh, pigeusaneun nu(n)da raga (Tempat untuk kematianku, tempat untuk meninggalkan bada)." Kata sia atau kamu yang juga dianggap kasar saat ini juga biasa saja diucapkan sang ibu kepada Bujangga Manik saat menerima lamaran dari Putri Ajung Larang, salah satu putri Pakuan.

"Anaking, haja lancanan, karunya ku na tohaan. Sugan sia hamo nyaho, tohaan geulis warangan (Ananda, layanilah dengan serius, kasihan terhadap putri, barangkali ananda tidak tahu, putri cantik pantas diperistri)," kata ibunda Bujangga Manik membujuk anakanya menerima pinangan Ajung Larang.

Pergeseran

Isi naskah kuno itu menunjukkan adanya pergeseran makna/arti beberapa kata atau istilah bahasan Sunda dulu dan kini. Wartawan senior Mochtar Lubis dalam bukunya berjudul Situasi Dan Kondisi Manusia Indonesia Kini kesal dengan sifat-sifat orang Indonesia yang gemar menghaluskan bahasa.

Ia mencontohkan penggantian istilah rumah penjara dengan lembaga permasyarakatan. Pergantian nama itu seakan menunjukkan adanya upaya mendidik para penghuninya agar menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna. Namun yang terjadi penjahat yang rampung menjalani hukuman justru menjadi ulung melakukan perbuatan serupa setelah dibui.

Mochtar pun mengkritik sapaan “bapak” untuk pembesar dan penguasan. Sebagai gantinya, istilah bapak diganti langsung dengan saudara. "Tidakkah sapaan saudara menteri, saudara presiden, saudara jenderal, saudara direktur jenderal, saudara rektor, lebih indah lebih tepat, tanpa menghilangkan hubungan mesra manusia yang hendak kita pertahankan?" ungkap Mochtar.

Respons Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil atas komentar seorang guru SMK di media sosialnya memantik sorotan. Alih-alih menjawab substansi pertanyaan terkait kapasitasnya sebagai gubernur atau kader partai dalam sebuah zoom, Ridwan justru menyematkan pertanyaan itu dan responsnya. Sang guru pun menjadi bulan-bulanan serangan di media sosialnya.

Untuk mengikis budaya feodal yang gandrung bahasa/kata-kata halus tanpa memperhatikan substansi kritik warganya, barangkali bisa dilakukan demi kehidupan yang egaliter dan demokratis oleh saudara gubernur. ***

Editor: Suhirlan Andriyanto


Tags

Terkini

x