Gugatan dan Perlindungan Hukum Terhadap Hak Cipta di Indonesia

- 14 Maret 2023, 22:32 WIB
SEORANG pedagang di toko kaset, CD, dan piringan hitam memutar musik di Pasar Antik, Jalan Abc, Cikapundung, Kota Bandung, Selasa (14/3/2023). Beberapa waktu lalu Presiden telah menandatangani Peraturan Pemerintah PP 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu atau Musik. Salah satu ketentuan dalam peraturan tersebut yakni kewajiban pembayaran royalti bagi setiap orang yang menggunakan lagu atau musik secara komersial.*
SEORANG pedagang di toko kaset, CD, dan piringan hitam memutar musik di Pasar Antik, Jalan Abc, Cikapundung, Kota Bandung, Selasa (14/3/2023). Beberapa waktu lalu Presiden telah menandatangani Peraturan Pemerintah PP 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu atau Musik. Salah satu ketentuan dalam peraturan tersebut yakni kewajiban pembayaran royalti bagi setiap orang yang menggunakan lagu atau musik secara komersial.* /KHOLID/KONTRIBUTOR "PR"

KORAN PR - MERUJUK pada Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC), terdapat tiga subjek yang menjadi penentu unsur hak cipta antara lain pencipta, pemegang hak cipta, dan hak terkait. Pelaksanaan teknis UUHC ini, kemudian diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Faktanya, perlindungan hukum untuk musik dan lagu dalam UUHC tidak sepenuhnya mampu melakukan perannya. Karena kenyataannya, musik dan lagu mulai banyak digugat oleh para pihak yang terlibat di dalam industri musik di era digital.

 

 Hak terkait (neighbouring rights) yang dimaksud hadir dikarenakan kemajuan teknologi akan berdampak pada penyebaran yang lebih luas dari karya seni. World Intellectual Property Organization (WIPO) mengatur hak terkait dalam tiga kategori antara lain hak seorang pencipta atas penampilannya, hak produser rekaman atau fiksasi suara atas rekaman suara sang pencipta, dan hak lembaga penyiaran atas karya siarannya lewat radio dan televisi.

Gugatan ini terutama disebabkan oleh berkembangnya media pemuatan ciptaan, termasuk musik yang sudah banyak mengalami kemajuan. Saat digital mulai berkembang, musik atau lagu dimanfaatkan dalam bentuk ringtone (nada dering) dan ringback tone (nada dering pribadi) di telefon seluler.

Kemudian muncul YouTube yang memberikan akses musik dan lagu lebih banyak disebarkan dengan berbagai rupa, seperti cover lagu, video lirik, hingga kumpulan lagu yang bisa diunggah oleh publik. Cover lagu juga termasuk dalam adaptasi lagu oleh disjoki (DJ) untuk keperluan komersial.

Kehadiran aplikasi musik seperti Spotify, Joox, Apple Music, hingga Resso pun mengakibatkan semakin terbukanya peluang untuk melanggar dan mengambil hak eksklusif suatu lagu atau musik untuk melakukan komersialisasi.

Hak cipta ini pada dasarnya hal fundamental bagi perlindungan karya intelektual seseorang baik dalam bidang seni maupun teknologi. Hak Kekayaan Intelektual (HKI) menurut Black Law Dictionary diartikan sebagai kata benda dan diambil dalam arti abstrak berarti keadilan, kebenaran etis, atau kesesuaian dengan aturan hukum atau prinsip moral. HKI ini memiliki hak eksklusif, artinya hak untuk mengecualikan orang lain dalam waktu tertentu dan pertimbangkan batasannya.

Terjadinya pelanggaran hak cipta, disebabkan minimnya dan terbatasnya pengetahuan dan kesadaran akan hukum kekayaan intelektual. Selain itu, kurangnya apresiasi dan dukungan masyarakat atas hak-hak atau kewenangan suatu pencipta atau pemegang hak cipta yang telah mendapatkan perlindungan hukum.

Mudahnya mengakses musik melalui kemajuan teknologi, tidak hanya sebatas menyanyikan kembali lagu di pertunjukkan, mengurangi hak ekonomi dari pemilik hak cipta. Kondisi ini tentunya, akan memengaruhi gairah dan kreativitas seseorang untuk menciptakan lagu atau musik.

Misalnya, kemudahan bagi Youtuber mendulang uang yang bisa jadi jauh dari pendapatan pemilik hak cipta dari royalti. Seseorang yang memiliki akun YouTube dapat memperoleh keuntungan ekonomis yaitu mendapatkan bayaran yang disebut 'monetizing' dari jumlah iklan yang dimasukkan ke dalam konten video YouTube-nya, yang juga ditentukan oleh jumlah viewers. YouTube sendiri mendapatkan izin untuk menyisipkan iklan di video yang diupload dan pengguna akan mendapatkan bagian 45% dari iklan, sementara sisanya untuk YouTube.

"Apabila konten video yang di-upload merupakan hasil ciptaan dari pemilik akun sendiri maka hal ini tidak menjadi permasalahan. Yang menjadi masalah apabila konten itu hasil ciptaan orang lain," kata Anak Agung Gede Mahardhika dari Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana dikutip kontributor “PR” Dewiyatini.

Pelanggaran

Mahardhika mengemukakan penelitiannya di Jurnal Ilmiah Living Lawa Vo. 13 No. 2 Tahun 2021 dengan judul: 'Pelanggaran dan Kebijakan Perlindungan Hak Cipta di YouTube'.
Ia menyebutkan bentuk pelanggaran hak cipta yang biasa terjadi di YouTube antara lain cover lagu dengan tujuan komersial tanpa persetujuan pemilik hak, live streaming di YouTube tanpa persetujuan pemilik hak, speech composing yang dikomersialkan, dan pembajakan film yang dikomersialkan.

Dalam Jurnal Ilmu Hukum Wacana Paramarta Vol. 21 No. 3 Tahun 2022, Jeremy Martin Nugroho, Mardi Handono, dan Ikarini Dani Widiyanti, menuliskan tentang studi kasus hak cipta dengan judul : 'Perlindungan Hak Cipta Lagu pada Platform Musik Digital: Studi Kasus Tina Toon Menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta.' Tina Toon terseret dalam gugatan hak cipta lagu yang berjudul "Bintang". Gugatan dilayangkan oleh Engkan Herikan. Lagu "Bintang" dibawakan oleh Anima Band. Engkan mengaku tidak mengetahui lagunya dinyanyikan ulang oleh Tina Toon.

"Terlebih lagi, lagu Bintang yang diaransemen ulang oleh Tina Toon diubah nama pencipta lagunya. Engkan merasa dirugikan dan menggugat Tina Toon sebesar RP10,7 miliar," tulis ketiga penulis dari Universitas Jember tersebut.

Tina Toon merilis lagu tersebut pada 2015 di bawah naungan Universal Music Indonesia dengan mencantumkan nama pencipta lagu Basia Saritha Kabam dan Baros Roulette. Di Spotify, kredit lagu tersebut ditulis oleh Andri Aprianto. Namun kemudian Tina Toon membantah sebagai pihak tergugat. Tina Toon menyebut hanya penyanyi yang terikat kontrak label dan menyanyikan lagu tersebut.

Jeremy, Mardi, dan Ikarini melakukan analisis terhadap kasus Tina Toon, dengan menyimpulkan bahwa Tina Toon tidak dapat dimintai pertanggungjawaban. Pihak yang wajib bertanggung jawab, berdasarkan Pasal 1367 KUHPerdata, adalah pihak label musik. Alasannya, Tina Toon berada di bawah perintah kontrak sebagai penyanyi.

Pihak label dinilai melanggar hak cipta karena telah mengambil dan mengubah lagu ciptaan Engkan. Kemudian menyiarkan dan mengedarkan lagu itu melalui internet tanpa izin. Dengan demikian, Engkan dirugikan. Bahkan label musik bisa dijerat hukuman pidana sesuai dengan Pasal 112, 113, 114, dan 115 UUHC.***

 

 

Editor: Suhirlan Andriyanto


Tags

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x