Pajak Alkes dan Obat Beban Operasional Layanan Kesehatan di Indonesia

- 8 Maret 2023, 15:53 WIB
SEORANG perawat mengoperasikan alat CT Scan di Mayapada Hospital, Jalan Terusan Buahbatu, Kota Bandung, Senin (6/3/2023). Mayapada Hospital Bandung yang diresmikan oleh Presiden Joko Widodo diharapkan dengan adanya rumah sakit tersebut bisa mengurangi jumlah masyarakat yang berobat ke luar negeri.*
SEORANG perawat mengoperasikan alat CT Scan di Mayapada Hospital, Jalan Terusan Buahbatu, Kota Bandung, Senin (6/3/2023). Mayapada Hospital Bandung yang diresmikan oleh Presiden Joko Widodo diharapkan dengan adanya rumah sakit tersebut bisa mengurangi jumlah masyarakat yang berobat ke luar negeri.* /DENI ARMANSYAH/KONTRIBUTOR "PR"

 

KORAN PR - BERDASARKAN laporan Medical Tourism Index 2020-2021, ada beberapa negara Asia Tenggara yang masuk dalam peringkat wisata medis unggulan yakni Singapura (nomor 2), Thailand (nomor 17), dan Filipina (nomor 24). Untuk wisata medis, Indonesia belum berhasil masuk 46 besar. Ironisnya, warga Indonesia sangat gemar berobat ke luar negeri berdasarkan riset Patients Beyond Borders.

 

Pada tahun 2006, sebanyak 350.000 warga Indonesia berobat ke luar negeri. Sembilan tahun kemudian, jumlah warga Indonesia yang berobar ke luar negeri meningkat hampir dua kali lipat yakni 600.000 orang.

"Peningkatannya cukup tajam. Total pengeluaran per tahun yang dikeluarkan warga Indonesia untuk berobat ke luar negeri bisa mencapai 11,5 miliar dolar AS. dari jumlah itu, 80 persennya dihabiskan di Malaysia," ujar Ketua MPR RI Bambang Soesatyo, belum lama ini.

Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI ini menilai, selain karena biayanya yang lebih murah dan pelayanannya lebih nyaman, warga Indonesia memilih berobat ke luar negeri karena alat kesehatannya yang sangat lengkap. Padahal, dengan sumber daya manusia dan sumber daya rumah sakit yang dimiliki, Indonesia sebetulnya bisa menjadi tuan rumah bagi warganya dalam berobat.

Menurut Bambang, seharusnya pemerintah bisa mengkaji agar pajak terhadap alat kesehatan tidak masuk dalam kategori pajak barang mewah, khususnya terhadap alat kesehatan yang belum bisa diproduksi di dalam negeri. Dengan demikian, opsi itu bisa meringankan beban operasional rumah sakit yang pada akhirnya meringankan rakyat jika ingin berobat.

“Begitupun terhadap pajak bahan baku obat, dan beban pembiayaan lainnya yang membuat biaya pengobatan menjadi mahal. “Sebagai gambaran, di Malaysia saja, pajak untuk beberapa alat kesehatan sudah hampir nol persen, sehingga biaya berobat di sana jauh lebih murah dibandingkan dengan Indonesia," kata Bambang.

Merujuk catatan Kementerian Kesehatan, Bambang mengatakan, setidaknya sudah ada 358 jenis alat kesehatan (alkes) yang diproduksi di dalam negeri, dan 79 jenis alkes yang menjadi substitusi/pengganti produk impor. Laporan Gabungan Alat Kesehatan Indonesia (Gakeslab) yang merujuk data Kementerian Keuangan mencatat bahwa dalam APBN 2019, pengadaan alat kesehatan di rumah sakit pemerintah mencapai Rp 9 triliun. Pada tahun 2020 meningkat menjadi Rp 18 triliun karena adanya pandemi Covid-19.

“Jika digabungkan dengan anggaran APBD, BUMN, dan swasta, total belanja alat kesehatan di Indonesia berkisar Rp 50 triliun per tahun. Sangat disayangkan jika anggaran sebesar itu lebih banyak dinikmati oleh produsen alat kesehatan dari luar negeri," kata Bambang.

Tak optimal

Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ari Fahrial Syam menyebutkan beberapa faktor yang menyebabkan adanya warga Indonesia memilih berobat ke luar negeri yaitu harga obat-obatan yang lebih murah di luar negeri dan pilihan geografis. Alasan lain mereka memilih berobat ke luar negeri karrena tidak optimalnya pelayanan kesehatan dan biaya peralatan yang mahal.

“Harga obat-obatan yang relatif lebih murah di luar negerimenjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi pemerintah. Berarti ada masalah dalam hal regulasi terkait obat yang lebih mahal di kita,” kata Ari di Jakarta, Selasa 7 Maret 2023.

Ari melihat pekerjaan rumah bidang kesehatan RI masih banyak. Ia memaparkan, biaya peralatan kesehatan yang lebih mahal akan berdampak kepada harga pelayanan yang lebih tinggi.

“Jadi masih pekerjaan rumah pemerintah bagaimana menyediakan sarana prasarana kesehatan di lembaga pendidikan kesehatan,” tuturnya.

Adapun jumlah pasien yang relatif banyak, menurut Ari, dapat berdampak kepada pelayanan yang tidak optimal. Pasien ada yang merasa waktu berobat sangat pendek sehingga lebih memilih berobat ke luar negeri.

Ia menambahkan, ada juga pasien yang lebih memilih berobat ke luar negeri, seperti Malaysia, lebih karena pertimbangan jarak yang dekat dengan tempat tinggalnya. “Seperti warga yang tinggal di Medan, Pekanbaru, lebih mudah menyeberang ke Malaysia” katanya.

Menurut Ari, berobat ke luar negeri adalah hak setiap warga. Meskipun demikian, seseorang yang berobat ke luar negeri itu perlu tahu juga tujuan dan kualitas rumah sakit yang menjadi tujuan.

Ia mencontohkan, RS di Singapura yang belum tentu semuanya berkualitas. Hal yang patut dicatat adalah bahwa RS di Singapura ada yang swasta dan mencari profit setinggi-tingginya.
“Jangan sampai pasien diberlakukan berbagai macam pemeriksaan yang tidak perlu sehingga biayanya bengkak,” katanya.

BPJS

Guru Besar Fakultas Kedokteran UI Zubairi Djoerban menilai, sebenarnya adanya BPJS Kesehatan cukup memberikan dampak yang menarik minat pasien untuk tetap berobat di dalam negeri. Hal ini berkaca kepada pengalamannya menangani penyakit dalam, khususnya kanker.

Ia mengatakan, pasien kanker dahulu pernah lebih banyak memilih berobat ke luar negeri. Di sisi laini, pengobatan kanker sangat mahal dan bisa menguras dana pasien. “Pasien kanker itu merasakan, sebagian besarnya akan jatuh miskin (karena biaya pengobatan). Memang menghabiskan sumber dana yang luar biasa,” katanya.

Setelah ada BPJS Kesehatan meliputi juga pengobatan kanker, kata Zubairi, pasien juga ada yang lebih memilih banyak berobat di Indonesia. “Berobat ke luar negeri itu bisa habis ratusan juta rupiah. (Berobat) di Indonesia habisnya sama, tapi dapat jaminan dari BPJS. Jadi sekarang banyak sekali pasien yang diagnosisnya ke luar negeri, tapi berobatnya di Indonesia dengan fasilitas BPJS,” katanya.***

 

Editor: Suhirlan Andriyanto


Tags

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x