Gurandil dan Benang Kusut Tambang Emas di Ciemas Kabupaten Sukabumi

- 7 Maret 2023, 00:05 WIB
Salah seorang penambang emas di Kampung Pamoyanan, Desa Mekarsakti, Kecamatan Ciemas, Kabupaten Sukabumi saat beraktivitas di tambang rakyat alias tambang ilegal, Kamis 2 Maret 2023.
Salah seorang penambang emas di Kampung Pamoyanan, Desa Mekarsakti, Kecamatan Ciemas, Kabupaten Sukabumi saat beraktivitas di tambang rakyat alias tambang ilegal, Kamis 2 Maret 2023. /Herlan Heryadie/Kontributor "PR"

KORAN PR - Seperti namanya, Ciemas yang berarti air penuh dengan emas. Kecamatan tersebut merupakan kawasan yang menyimpan potensi tambang emas di Kabupaten Sukabumi. Namun potensi tersebut nyatanya memicu permasalahan tatkala terjadi perebutan pengelolaan antara penambang tanpa izin (Peti) atau biasa disebut gurandil dan perusahaan yang memiliki izin penambangan emas, yakni PT Wilton Wahana Indonesia.

 

Salah satu persoalan mendasar yakni para gurandil ini ingin mendapatkan legalitas untuk menambang. Para penambang rakyat itu berharap PT Wilton yang sebentar lagi akan beroperasi menjadi bapak asuh bagi para penambang.

Hampir 90% warga Desa Mekarsakti Kecamatan Ciemas hidup bercocok tanam dan juga menjadi penambang emas untuk menyambung hidup. Salah seorang penambang rakyat, Taopik Guntur mengatakan, warga Mekarsakti Kecamatan Ciemas diibaratkan seperti pencuri di rumah sendiri. Pasalnya, yang membedakan tambang rakyat dengan tambang perusahaan hanyalah izin.

"Masyarakat yang menambang di area tanah miliknya itu punya hak sebetulnya. Cuma izin doang yang dipermasalahkan. Penambang rakyat tidak punya izin. Terus terang saja, kita ilegal. Bukan tidak mau berupaya. Saya terus berupaya agar melakukan kegiatan pertambangan itu punya izin," kata Taopik di Sukabumi, Kamis 2 Maret 2023.

Taopik mengaku sudah mengupayakan izin baik melalui asosiasi penambang rakyat maupun koperasi penambang rakyat. Namun itu belum cukup. Ia justru menyayangkan pihak perusahaan pemegang IUP yang tidak mengajak warga untuk mengobrol atau bermusyawarah.

Ia melanjutkan, satu-satunya alasan masyarakat memperjuangkan izin akhirnya harus mengulas lagi sejarah perjalanan PT Wilton hadir di Kecamatan Ciemas tahun 2008 lalu. Pada waktu itu, kata Taopik, konsekuensi ketika muncul rekomendasi dari masyarakat tentang hadirnya PT Wilton, ada komitmen lisan bahwa perusahaan sanggup dan mau untuk menjadi bapak asuh dari para penambang rakyat di Kecamatan Ciemas.

"Kenapa komitmen itu tidak direalisasikan? Kenapa masyarakat penambang tidak dibina? Kalau saya perhatikan, dan saya teliti kini seolah-olah penambang rakyat itu akan dibinasakan. Adapun permasalahan-permasalahan yang muncul di masyarakat hari ini solusinya gampang, kita duduk bareng. Karena tidak ada masalah yang tidak terselesaikan kalau kita mau duduk bareng," katanya.

PAD

Taopik juga meminta agar pemerintah mau turun tangan menjadi penengah antara penambang rakyat dengan perusahaan. Ia bahkan menyebut warga penambang bisa menyumbang pendapatan daerah.

Ia membeberkan, hasil tambang rakyat ini jika sedang hasilnya kurang bagus saja bisa menghasilkan Rp 40 juta sampai Rp 50 juta dalam sepekan. Lain lagi jika sedang bagus hasilnya bisa mendapat ratusan juta rupiah sepekan. Selain itu, hasil galiannya juga tidak dibiarkan begitu saja. Lubang bekas galian tambang pun ditutup jika sudah selesai.

"Kami berharap pemerintah juga tampil dong di garis terdepan. Kalau dibina, penambang rakyat ini bisa menjadi aset, bisa menyumbang pendapatan buat Kabupaten Sukabumi. Bahkan saya sempat tanya kok masyarakat penambang di sini, ketika mereka menambang di tanahnya sendiri mereka sanggup bayar. Siap menyumbang pajak. Asal syaratnya ada jaminan dari pemerintah, ada bimbingan," katanya.

Pihak PT Wilton Wahana Indonesia tidak menampik adanya aktivitas pertambangan tanpa izin di area Izin Usaha Pertambangan (IUP) mereka. Saat ditemui, Kepala Teknis Tambang (KTT) PT Wilton Wahana Indonesia, Caca Cahyaman mengungkap bapak asuh sudah pernah dilaksanakan pihak mereka di tahun-tahun awal perusahaannya mulai beraktivitas. Namun muncul sejumlah persoalan yang membuat perusahaan dan warga penambang tidak sejalan, bahkan sebelum PT Wilton secara resmi beroperasi.

"Soal bapak asuh sudah pernah kita laksanakan, tahun awal. Hanya untuk melanjutkan hal itu pun tindakan-tindakan illegal mining itu harus mengikuti aturan pertambangan. Dimana akhirnya kita harus bertanggung jawab, dampaknya perusahaan bukan mereka, sementara mereka diberikan arahan pun, tetap kita kan tidak bisa yakin mereka melaksanakan ini," kata Caca.

Caca juga menyebut, ketika PT Wilton menjadi bapak asuh, para penambang tidak mau terang-terangan soal area mereka menambang. Hal ini yang kemudian membuat pihak perusahaan kesulitan mengendalikan aktivitas para penambang tersebut.

"Sekecil-kecilnya mereka, mereka itu tidak hanya menjarah ke lahan mereka, disaat bisa lihat kehutanan dan perkebunan cek sendiri, itu yang saya bilang bagaimana kita bisa mengendalikan sedangkan kita sebagai bapak asuh. Mereka tidak terang terangan dari sini, lubangnya berapa, beloknya kemana kita tidak tahu," ujarnya.

Caca tidak menampik adanya pencemaran lingkungan akibat aktivitas pertambangan ilegal, penggunaan bahan kimia serta lubang-lubang yang dibuat penambang, berpotensi kepada kerusakan alam di masa yang akan datang. Dampak terbesar penambangan ilegal itu terutama pengolahan yang memakai pakai sianida.

Merusak lingkungan

Caca pun menyoroti lubang penambangan para gurandil yang memiliki kedalaman hingga puluhan meter. Kegiatan itu berpotensi merusak lingkungan, mulai dari rusaknya tata guna air, hingga keseimbangan tanah.

"Dampak lingkungan tata guna air hancur, keseimbangan tanah juga hancur, itu lah yang paling bahaya. Makanya kalau musim kering atau tidak hujan, kita sudah tidak punya cadangan air sudah rusak, oleh siapa, tanya ke siapa? " katanya.

Namun di satu sisi, Caca menyebut PT Wilton sudah beberapa kali memenuhi keinginan warga terkait pembangunan masjid, infrastruktur jalan, sarana olahraga, maupun bantuan lainnya.

Caca menyebut PT Wilton hanya sebatas operator, karena negara yang memberikan izin untuk perusahaan bergerak. “Perusahaan itu bukan pemiliknya, negara pemiliknya, perusahaan ini hanya operator," imbuhnya.

Sebagai perusahaan yang berizin, Caca mengaku akan berupaya memberikan kesejahteraan kepada masyarakat. Soal penyerapan tenaga kerja, Caca menyebut hampir 90 persen pekerja di PT Wilton adalah warga lokal.

"Kalau warga lokal sebetulnya sudah hampir 90% warga lokal, kelas-kelas menengahnya kami harapkan bisa kita didik menjadi operator yang bisa mengendalikan prosesing-nya," katanya.

Kepala Desa Mekarjaya Bambang Sujana mengaku tidak bisa berbuat apa-apa dengan aktivitas tambang liar yang dilakukan warga. Sebab, masalah tersebut sudah ada sejak bertahun-tahun lamanya.

“Kita selaku pemerintahan desa tidak bisa berbuat banyak, karena pada intinya mereka melakukan kegiatan itu untuk menyambung hidup. Sehingga walaupun kita tahu itu pelanggaran terhadap aturan yang ada, tapi karena ini berbenturan dengan perut," ujarnya.

Dia menjelaskan, perusahaan tidak mengintervensi penambang liar. Sehingga penambang liar masih tetap dengan aktivitas penambangannya. "Pada intinya para penambang yang ada di Mekarjaya sampai hari ini mereka melakukan kegiatan tambang itu di IUP PT Wilton Wahana Indonesia," ucapnya.***

Editor: Suhirlan Andriyanto


Tags

Terkini